Sidang Kebakaran dan Kejanggalannya

Kebakaran yang melahap gedung utama Kejaksaan Agung RI/Koran Suluh Indonesia

Koran Sulindo – Saya mengikuti sidang enam terdakwa kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung selama dua pekan berturut-turut pada pertengahan Maret 2021. Ada banyak hal baru yang muncul dalam fakta persidangan. Dan fakta itu membuat kita tersentak dan terperangah. Mengapa?

Meski baru mengikuti lebih dari dua kali sidang, saya merasa ada kejanggalan dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung. Bahkan saya meyakini keenam terdakwa ini sama sekali tidak terlibat dalam perkara itu. Di samping mereka tidak berada di lokasi kejadian, keenamnya pun mendapat kabar kebakaran gedung itu dari seorang karyawan pesuruh (office boy) bernama Hendri Kiswoyo.

Lalu apa peran dari keenam orang tersebut? Berdasarkan fakta persidangan peran keenam orang tersebut alpa atau tidak sengaja menyebabkan kebakaran gedung. Penyebabnya karena lima dari enam orang tersebut merokok dan puntung rokoknya dinilai menjadi penyebab utama terbakarnya gedung Kejaksaan Agung.

Keenam orang itu adalah Imam Sudrajat; Tarno; Sahrul Karim; Halim; Karta; dan Uti Abdul Munir. Dari keenam orang ini, Imam Sudrajat merupakan pemasang dekorasi dinding (wallpaper), sementara empat orang yakni Tarno, Sahrul Karim, Karta dan Halim adalah tukang bangunan dan Uti Abdul Munir merupakan selaku mandor dan pemilik CV Central Interior.

Tetapi selama persidangan itu, jaksa penuntut umum (JPU) gagal menunjukkan bukti bahwa puntung rokok yang menjadi penyebab kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Mengapa? Pasalnya, puntung rokok yang dinilai menjadi penyebab kebakaran tidak bisa dihadirkan JPU. Rokok yang dihadirkan sebagai barang bukti justru rokok baru. Menurut kuasa hukum terdakwa rokok yang dijadikan sebagai bukti itu merupakan rokok para terdakwa setelah dua bulan dari peristiwa kebakara gedung.

Itu sebabnya, kuasa hukum terdakwa menyebutnya sebagai sesat fakta. Apalagi rokok milik para terdakwa itu dibeli pada malam hari sebelum diperiksa penyidik Mabes Bareskrim Polri. Argumentasi kuasa hukum terdakwa itu mendapat pembenaran dari ahli pidana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Beniharmoni Harefa bahwa pembuktian merupakan kunci dari hukum pidana.

Karena itu, menurut Beni, jika perkara pidana tersebut dalam hal ini kebakaran Gedung Kejaksaan Agung tidak bisa dibuktikan, maka para terdakwa harus dibebaskan. Sebab, dalam hukum pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya. Apalagi barang bukti itu sebenarnya benda mati walau menyatakan suatu fakta. Tetapi hubungannya (barang bukti) harus jelas dengan terdakwa.

Karena itu, dalam perkara kebakaran Gedung Kejaksaan Agung ini jangan sampai ada kesesatan fakta. Barangkali ada kemungkinan lain dengan alat bukti tentunya. Jika terjebak dalam sesat fakta bisa jadi menghukum orang yang tidak bersalah. Apalagi adagium dalam hukum pidana itu menyebutkan, lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Kejanggalan yang lainnya yang saya dapatkan dari persidangan tersebut, ada kesan terdakwa dan kuasa hukumnya tidak berkeinginan mengungkap kebenaran sejati dari peristiwa ini. Terkesan menyimpan sesuatu. Semisal, keengganan kuasa hukum untuk mengkonfrontasi terdakwa dengan saksi Hendri Kiswoyo, karyawan pesuruh yang mengetahui betul tentang peristiwa itu. Apalagi terdakwa mengetahui kabar peristiwa itu karena mendapat telepon dari Hendri.

Kemudian, kuasa hukum terdakwa yang awalnya getol meminta berita acara penyitaan barang bukti, malah melempem ketika JPU hanya memberikan dalam bentuk foto dari telepon pintar mereka. Tidak ada suara keras seperti dalam sidang sebelumnya di mana kuasa hukum terdakwa meminta majelis hakim agar JPU segera memberikan salinan berita acara penyitaan barang bukti. Juga para terdakwa tidak ada yang ditahan. Padahal kebakaran itu diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Setelah semua ini, akankah para terdakwa yang kita ketahui tidak terlibat dalam peristiwa itu akan divonis bersalah oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Masyarakat tentu saja menunggu ujung dari semua ini, walau sebenarnya untuk mendapati titik terang kasus ini ibarat menelusuri labirin yang berliku dan gelap. JPU yang mewakili negara (masyarakat) juga tidak berupaya mengungkap kebenaran sejati itu.

Lalu ke mana lagi kita harus bertanya? Mungkin seperti lirik dalam lagu Ebiet G. Ade mari kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang. [Kristian Ginting]