Ilustrasi: Cak AT

Catatan Cak AT:

Konon, di sebuah negeri kepulauan yang gemah ripah loh jinawi ini, ada satu benda yang kekuatannya mengalahkan palu sidang, mengalahkan UU, bahkan mengalahkan semesta drama Korea: selembar ijazah. Hanya selembar kertas tipis, tetapi bisa membuat ratusan juta warga ikut terombang-ambing seperti naik perahu di tengah ombak muson.

Negara lain sibuk mengurus ekonomi, perang dagang, dan perubahan iklim. Lha, kita? Kita masih berkutat dengan pertanyaan sederhana yang sudah berumur dua periode pemerintahan: “Ijazah itu asli apa tidak?” Seakan-akan republik ini sedang menjalani ujian nasional, dan kertas yang hilang itu menjadi syarat kelulusan seluruh bangsa.

Mari ke Solo, drama ini memasuki babak baru. Pengadilan Negeri Solo, setelah majelis hakimnya diganti —konon seperti ganti oli agar mesin tak gampang panas— menolak eksepsi pihak Jokowi. Padahal sebelumnya, eksepsi serupa pernah sukses menghentikan sidang yang sama, di gedung yang sama, hanya berbeda pemain cadangan di kursi penuntut.

Kini, dengan putusan sela yang menegaskan bahwa pengadilan berwenang memeriksa kasus ini, bola akhirnya tidak lagi dipentalkan ke tribun, tetapi disuruh terus bergulir sampai peluit panjang dibunyikan. Artinya, kubu Jokowi kalah, tak bisa lagi menahan pelanjutan sidang. Mereka terpaksa menyiapkan skenario dan trik baru mematahkan argumen pihak lawan.

Ya, sidang pun harus lanjut. Kuasa hukum Jokowi tepaksa mengangguk manis, “Kami hormati putusan pengadilan.” Dalam bahasa politik, itu semacam salam diplomatis sambil menggenggam rem tangan erat-erat. Sementara pihak penggugat, yang adalah mahasiswa UGM yang merasa jengah dengan sikap kampus, diminta mengunggah bukti.

Di titik ini, publik menahan napas seperti menonton final Piala Dunia yang masuk babak adu penalti. Semua bertanya-tanya: kalau pada akhirnya kubu Jokowi kalah di salah satu forum —entah di PN Solo, di KIP, atau di pengadilan lain— apa konsekuensinya? Apakah perkara ini bisa menjalar menjadi tuntutan pidana, misalnya pemalsuan dokumen, penyalahgunaan identitas, atau obstruction of justice?

Ataukah semuanya akan berhenti di tengah jalan seperti lampu merah yang bolak-balik padam? Publik belum tentu mengerti rumitnya hukum acara, tapi mereka paham satu hal: kalau pejabat publik bisa tersandung soal ijazah, maka efeknya akan memantul ke mana-mana, dari legitimasi masa lalu sampai stabilitas politik hari esok.