Siapa Pelindung Kuat Setya Novanto?

Kendati disebut sebagai dalang di balik kasus mega-korupsi e-ktp, Setya Novanto nampaknya sulit untuk disentuh [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – BANGSA Indonesia tentu tak akan rela jika kasus e-KTP yang merugikan negara sampai triliunan rupiah tak tuntas ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga tak akan pernah ikhlas sampai kapan pun jika hanya “kelas teri” yang dijebloskan ke dalam penjara.

Sungguh terkutuk bila aparat hukum tega-teganya melakukan kongkalikong dan tak menjadikan hukum sebagai panglima. Banyak warga negara ini sangat berharap, praktik keji itu tidak terjadi.

Sejauh ini, dalam kasus ini baru ditetapkan dua orang terdakwa dan satu orang tersangka. Yang telah menjadi terdakwa dan kasusnya sedang disidangkan adalah mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman. Akan halnya yang kemudian ditetapkan menjadi tersangka adalah seorang pengusaha yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri, Andi Saptinus atau Andi Agustinus atau Andi Naragong. yang pengusaha.

Sidang perdana untuk Sugiharto dan Irman digelar pada 9 Maret 2017 lalu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam kasus ini, diperkirakan negara dirugikan lebih dari Rp 2 triliun. Nilai proyeknya sendiri hampir Rp 6 triliun.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo pun mengungkapkan, akan ada banyak nama yang akan menyembul dalam persidangan. “Mudah-mudahan tidak ada guncangan politik yang besar ya, karena nama yang akan disebutkan memang banyak sekali,” tutur Agus di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, 3 Maret 2017.

Bukan hanya itu, Agus juga mengatakan, publik kemungkinan akan terkejut dengan nama-nama yang akan muncul itu. Kalau Anda mendengarkan dakwaan dibacakan, Anda akan sangat terkejut. Banyak orang yang namanya disebut di sana. Anda akan terkejut,” tutur Agus. Penyebutan nama-nama besar itu, tambahnya, sebagai tanda dibukanya kembali penyelidikan baru atas perkara tersebut. “Nanti secara periodik, secara berjenjang. Ini dulu, habis ini siapa, itu ada ya,” katanya.

Kenyataannya, apa yang dikatakan Agus itu tak sepenuhnya terbukti. Apalagi, kemudian, ada sejumlah penerima uang haram dalam kasus ini yang mengembalikan uangnya ke KPK. Namun, KPK sampai sekarang hanya menyebutkan nama Sugiharto dan Irman sebagai orang yang telah mengembalikan uang itu. Yang selebihnya tak mau diungkapkan KPK. “Karena sudah membantu KPK, punya iktikad baik. Bahaya juga kalau disebutin namanya. Siapa yang akan menjamin keselamatannya?” ujar Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 Maret 2017.

Terasa janggal pernyataan Syarif itu. Bukankah negara memiliki Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban? Apakah negara sebegitu lemahnya?

Laode dalam kesempatan itu juga memang menegaskan, pengembalian uang tidak menghilangkan tanggung jawab pidananya. Namun, tidak menyebutkan nama-nama orang yang telah mengembalikan uang itu justru dapat menimbulkan berbagai macam spekulasi yang menguarkan bau tak sedap bagi jajaran petinggi KPK.

Dalam persidangan yang telah berlangsung Maret 2017 lalu telah hadirkan sejumlah saksi dari kalangan Komisi II DPR. Mereka antara lain Miryam S. Haryani, Ganjar Pranowo, dan Agun Gunandjar Sudarsa. Semuanya membantah telah menerima uang yang bukan hak mereka.

Misalnya Miryam. Kendati dikonfrontasi dan video pemeriksaan atas dirinya diputar dalam persidangan, Miryam berkeras mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap dirinya ketika diperiksa penyidik KPK. “Saya tetap pada keputusan mencabut semua BAP, Yang Mulia,” ujar Miryam sebelum mengakhiri kesaksiannya, 30 Maret 2017.

Miryam mengaku mendapat tekanan ketika diperiksa penyidik KPK. Namun, penyidik KPK membantah. Bantahan tersebut juga dilakukan lewat pemutaran video pemeriksaannya. Dari rekaman itu jelas, Miryam sama sekali tak mengalami tekanan. Bahkan, pemeriksaan tersebut terkesan tak tegang. Miryam terlihat bisa cekikikan bersama penyidik.

Dari rekaman video itu pula dapat dilihat pengakuan Miryam yang menerima aliran dana dari proyek e-KTP. Ia sebutkan, dirinya menerima dua kali, yaitu 100 dan 200 tanpa memerinci jumlah pastinya. Setelah itu, Miryam tampak tertawa.

Video Miryam
Namun, meski video telah diputar plus ada keterangan dari penyidik KPK, Miryam tetap bertahan atas keterangannya sebelumnya. Sikap Miryam itu membuat jaksa dan hakim tampak menahan emosi. Miryam pun berkali-kali diperingatkan agar tidak berbohong dalam persidangan. Toh, Miryam bergeming.

Pada hari yang sama Miryam bersaksi juga dihadirkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Agun Gunandjar, dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Ganjar mengakui, ia pernah berkali-kali menerima tawaran uang dari Mustokoweni Murdi (sudah meninggal), mantan Koordinator Badan Anggaran Komisi II DPR. Namun, kata Ganjar, dirinya menolak tawaran Mustokoweni.

“Saya ditawari lebih dari sekali. Saya bilang enggak usah. Saya sudah cukup. Saya juga pernah terima tas kecil dari seseorang yang tidak saya kenal. Saya pikir isinya buku, tapi bukan,” ungkap Ganjar.

Jawaban Ganjar itu membuat hakim tertarik untuk mendalami. Menurut hakim, mengapa setelah menolak tawaran itu, Ganjar justru menyarankan kepada Mustokoweni untuk membagi-bagikan kepada orang lain. Mengapa Ganjar sebagai anggota DPR tidak berusaha untuk mencegah kerugian negara?

Ganjar tercekat. Beberapa jenak terdiam. Namun, ia terlihat berusaha menguasai situasi. Kepada hakim, Ganjar mengaku tidak memikirkan soal itu. Ganjar hanya ingin tidak menerima uang. “Itu saja,” ujarnya.

Lalu, hakim mempertanyakan pertemuan Ganjar dan Setya Novanto di Bali pada tahun 2011. Dalam pertemuan itu, Novanto sempat mempertanyakan perkembangan proyek e-KTP kepada Ganjar. Novanto juga mengingatkan Ganjar agar tidak galak-galak soal itu.

Jawaban Ganjar: ia tidak mengetahui maksud Novanto, terutama soal “galak”. Tapi, , selama pembahasan e-KTP, Ganjar mengaku kerap bersuara kritis, terutama ketika uji petik terhadap proyek tersebut. Dalam BAP-nya, Ganjar mengakhiri pembicaraannya dengan Novanto dengan mengatakan: “O, begitu, ya. Saya tidak ada urusan.”

Ketua DPR yang juga Ketua Partai Golkar Setya Novanto telah membantah terlibat dalam kasus ini. Juga membantah partainya menerima aliran dana haram itu.

Kendati begitu, pihak KPK menyatakan punya bukti kuat keterlibatan Setya Novanto. “Iya, pasti. Setiap kalimat dalam surat dakwaan kami sudah konfirmasi dengan minimal dua alat bukti. Kalau ada pihak yang membantah, silakan. Tapi, kami punya dua alat bukti,” ungkap Jaksa KPK, Irene Putri, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 9 Maret 2017.

Setya Novanto menjadi satu dari lima orang yang didiuga menjadi penggerak dugaan skandal korupsi e-KTP. Empat orang lainnya adalah Sekjen Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong. Ketika kasus ini terjadi, Setya Novanto menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar DPR.

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang telah menjadi narapidana berbagai kasus, Muhammad Nazaruddin, juga pernah mengatakan kepada wartawan pada September 2016 bahwa Setya Novanto menerima uang dari proyek tersebut. “Pembagian uangnya yag dikoordinasikan oleh Setya Novanto,” katanya. Proyek e-KTP, lanjutnya, dikendalikan penuh oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Setya Novanto. Nazar mengaku menjadi pelaksana di lapangan bersama Andi Naragong.

Apa yang diungkapkan Nazar itu sebenarnya bukan hal baru. Tahun 2013 lampau, ia sudah mengatakan hal yang hampir serupa. “Proyek ini juga diatur oleh Anas. Ada saya, ada Setya Novanto. Novanto bukan hanya e-KTP. Novanto banyak ngurus proyek, tapi namanya tidak ada di mana-mana. Tapi, soal bagi-bagi duit, dia selalu mengatur di mana-mana dan 2.000 persen orang ini dilindungi orang yang sangat kuat,” ungkap Nazar ketika itu.

Nazar sebelumnya juga menuding mantan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menerima uang dari dirinya. Penerimaan uang itu juga katanya berkaitan dengan proyek pengadaan baju Hansip dan e-KTP. “Terkait uang yang mengalir itu kapan, yang mengasih pada proyek apa, urusannya apa, itu juga sudah sempat disupervisi KPK. Nilai kedua proyek itu sekitar Rp 7 triliun,” ungkap Nazaruddin. [Purwadi Sadim]