Ilustrasi Dewi Lanjar (istimewa)
Ilustrasi Dewi Lanjar (istimewa)

Pekalongan, sebuah kota pesisir di Jawa Tengah, tidak hanya dikenal lewat batiknya yang khas, tapi juga melalui satu sosok legendaris yang begitu melekat dalam narasi budaya masyarakat pesisir yaitu Dewi Lanjar.

Figur perempuan ini menyimpan berbagai lapis makna, mulai dari cerita rakyat, mitologi pesisir, hingga spiritualitas yang dipercaya sebagian kalangan setara dengan tokoh wali penyebar agama Islam di Nusantara.

Sosoknya dipercaya masih “hadir” menjaga pantai utara Pulau Jawa, dari Cirebon hingga Rembang, dengan pusat keratonnya diyakini berada di tepi Sungai Slamaran, Pekalongan.

Dari Rara Kuning Menjadi Lanjar

Legenda Dewi Lanjar bermula dari kisah tragis seorang perempuan muda bernama Dewi Rara Kuning. Konon, ia memiliki paras rupawan namun nasib tidak berpihak padanya.

Di usia yang masih sangat muda, Rara Kuning harus merelakan kepergian sang suami yang meninggal tak lama setelah mereka menikah. Peristiwa itu menyebabkannya dijuluki “Lanjar”, sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada perempuan muda yang menjanda sebelum memiliki anak.

Rasa duka yang mendalam membuat Dewi Rara Kuning memilih meninggalkan kampung halamannya. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Raja Mataram dan Mahapatih Singaranu yang saat itu sedang bertapa di Sungai Opak.

Kepada mereka, Dewi Rara Kuning mengutarakan niatnya untuk tidak menikah lagi. Sang Raja menyarankannya untuk bertapa di pantai selatan dan menghadap penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul.

Setelah melalui pertapaan yang panjang dan penuh keteguhan, Dewi Rara Kuning mengalami peristiwa moksa atau menghilang secara gaib dan berhasil bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Dalam pertemuan tersebut, ia memohon untuk menjadi abdi atau pengikut Sang Ratu. Permintaan itu dikabulkan. Sebagai tugas pertamanya, Dewi Lanjar diperintahkan untuk menggagalkan upaya Raden Bahu membuka Hutan Gambiren di Pekalongan.

Namun, usaha itu gagal. Raden Bahu, yang telah memiliki kesaktian dari laku tapa “ngalong” (bertapa seperti kelelawar), tak mampu dikalahkan. Merasa tak sanggup kembali ke Laut Selatan karena tak berhasil menuntaskan perintah, Dewi Lanjar memohon izin kepada Raden Bahu untuk tetap tinggal di Pekalongan.

Permintaan ini disetujui oleh Raden Bahu dan bahkan mendapat restu dari Kanjeng Ratu Kidul. Sejak saat itulah, Dewi Lanjar dikenal sebagai penguasa Laut Utara, khususnya wilayah Pekalongan.

Antara Mitos dan Spiritualitas Islam
Kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Lanjar tidak berhenti pada kisah mitologis belaka. Dalam dimensi lain, ia diyakini sebagai tokoh spiritual Islam, bahkan dikisahkan memiliki titel “Hajah”. Sebagian masyarakat Pekalongan menganggapnya sebagai sosok yang memiliki kedekatan spiritual setara dengan para Wali Songo.

Nama Dewi Lanjar kerap hadir dalam ritual ngalap berkah, yakni pencarian berkah untuk rezeki, kesehatan, keselamatan, dan harapan-harapan lain. Beberapa pelaku ritual ini melakukan tapa atau menyepi selama berhari-hari di sekitar pantai, sementara sebagian lain cukup dengan berdoa. Fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh spiritual Dewi Lanjar dalam kehidupan masyarakat pesisir utara Jawa.

Cerita tentang Dewi Lanjar masih hidup hingga kini. Masyarakat di sekitar Pantai Slamaran dan pesisir Pekalongan percaya bahwa apabila ada anak kecil yang tiba-tiba hilang saat bermain di tepi pantai, besar kemungkinan ia “dibawa” oleh Dewi Lanjar ke alam gaibnya.

Anak-anak yang kembali dari “kehilangan” itu sering kali menceritakan bahwa mereka berada di sebuah tempat asing dengan suasana masyarakat yang gemar membatik, berdagang, dan menjadi nelayan—citra kehidupan masyarakat Pekalongan sendiri. Hal ini menguatkan keyakinan bahwa keraton Dewi Lanjar berada tak jauh dari kehidupan warga, hanya saja berada di dimensi yang berbeda. [UN]