Koran Sulindo – Permainan tebak siapa calon wakil presiden (cawapres) yang akan maju dalam pemilihan presiden tahun 2019 akan segara berakhir.
Masyarakat Indonesia berharap mendapat nama – nama cawapres tersebut pada 10 Agustus nanti.
Mendekati tenggat waktu pengumuman resmi pendaftaran resmi calon presiden (capres) dan cawapres, ada banyak spekulasi tentang siapa yang akan maju sebagai pendamping Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto.
Mereka akan kembali bersaing dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Kubu Jokowi telah mengisyaratkan tentang sosok cawapres ini dengan membagikan foto bersama dirinya dengan para pemimpin partai koalisinya selepas diadakan pertemuan untuk membahas kandidat cawapres.
Sementara itu, Prabowo telah mengadakan pertemuan tertutup dengan ketua partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membuka peluang berkoalisi dalam kontes pilpres 2019. Pertemuan ini menutup kemungkinan munculnya poros ketiga dalam pilpres. Sebelumnya partai SBY telah berbicara tentang kemungkinan adanya poros ketiga yang akan melawan Jokowi dan Prabowo.
Sampai sekarang, nama-nama cawapres dari dua kubu tetap menjadi misteri.
Saling Kompak
Nyarwi Ahmad dari Universitas Gadjah Mada mengatakan cawapres pada pilpres 2019 nanti adalah “bola liar” yang menentukan kemenangan atau kekalahan calon presiden.
Dia mengatakan cawapres harus memiliki branding politik yang dapat meningkatkan popularitas kandidat presiden.
“Jika co-branding (di antara calon presiden dan wakil presiden) tidak solid, tentu hasilnya juga tidak akan maksimal,” ujarnya.
Nyarwi berpendapat Jokowi, seorang pemimpin dengan branding teknokrat, populis dan nasionalis, harus mencari mitra dengan posisi kuat di kalangan pemilih Muslim atau keahlian untuk memecahkan masalah ekonomi negara.
Dua karakter cawapres tersebut dinilai dapat membantu Jokowi mengatasi dua tantangan besar: pemilih Muslim dan masalah ekonomi Indonesia.
Jokowi tidak populer diantara para pemilih Muslim karena pendekatan otoriternya dalam menghadapi kaum Muslim konservatif.
Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang membubarkan organisasi yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi negara Pancasila, yang mendukung adanya keragaman. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah korban pertama dari hukum ini.
Permasalahan ekonomi mulai dari melemahnya rupiah terhadap dolar AS hingga Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang lebih rendah dari perkiraan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk Jokowi.
Sejauh ini, cawapres Jokowi yang kuat tampaknya dapat merespons kebutuhan Jokowi untuk menjawab dua tantangan ini.
Untuk meraih suara para pemilih Muslim, calon seperti Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Nasional (PKB) atau ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy telah ramai diberitakan di media sebagai cawapres kuat buat Jokowi.
Untuk mengatasi masalah ekonomi negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti adalah calon kuat yang disebut-sebut.
Untuk Prabowo, Nyarwi berpendapat dia membutuhkan mitra yang dapat mendukung branding politiknya sebagai tokoh nasional yang merakyat.
“Latar belakang Prabowo yang dekat dengan kekuasaan Orde Baru telah membuatnya sulit untuk membangun “merek” itu.“
“Oleh karena itu, dia membutuhkan pasangan seorang teknokrat dan populer di kalangan bukan hanya Muslim tetapi juga orang-orang kelas menengah.”
“Hingga saat ini, Anies Baswedan adalah calon pendamping Prabowo yang terbaik,” kata Nyarwi.
Permainan Partai Politik
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga mengakui peran kunci cawapres dalam menentukan kemenangan pada pilpres 2019.
“Maka kemudian cawapres mejadi penting, karena efek elektoral yang ingin dia tarik,” jelas Titi.
Peran wakil presiden dalam perpolitikan di Indonesia telah berubah.
Posisi wakil presiden sebelumnya hanya sebagai aksesori dalam sebuah pemerintahan. Selama pemerintahan Soekarno dan rezim Orde Baru Suharto, wakil presiden hanya melengkapi kekuasaan dominan sang presiden. Segalanya berubah paska era reformasi.
Cawapres dapat memainkan peran kunci dalam mengamankan lebih banyak suara. Abdurrahman Wahid menjadi presiden para tahun 1999 karena cawapresnya, Megawati Soekarnoputri, didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP memenangkan pemilihan umum ketika itu dengan meraih 33% suara.
Mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan pilpres tahun 2004 karena rekannya, Jusuf Kalla dari Sulawesi Selatan, berhasil berhasil menarik pemilih dari luar Jawa.
“Jadi wajar kalau partai berkepentingan terhadap cawapres, karena efek elektoral mereka itu ya di wapresnya untuk membuat solid dukungan suara,” kata Titi
Karena kedua calon presiden tersebut maju dengan dukungan dari partai-partai koalisi, partai-partai politik tersebut bersaing untuk menawarkan cawapres yang berbeda untuk mengamankan kekuasaan lima tahun ke depan.
Selain PKB dan PPP, Jokowi juga telah menerima kandidat cawapres dari Golkar, yaitu ketua partai mereka Airlangga Hartarto, yang juga menjabat Menteri Perindustrian saat ini.
Prabowo juga menghadapi dilema yang sama dari partai koalisinya. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah memberikan daftar nama untuk cawapres.
Jokowi dikabarkan akan memilih cawapres dari tokoh partai non-politik untuk mencegah konflik di antara partai-partai anggota koalisi.
Belajar dari Pilkada
Belajar dari pilkada baru-baru ini, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan pemilih menjadi semakin dewasa dalam memilih dan kriteria sosok pemimpin juga telah berubah.
Perubahan ini bisa dijadikan petunjuk dalam pencarian kandidat terbaik cawapres.
Arya mengatakan bahwa para pemilih mulai mempertimbangkan kandidat calon yang tidak memiliki hubungan dengan partai politik.
“Pemilih generasi baru ini lebih tertarik dengan para profesional yang memiliki rekam jejak bersih dibandingkan politisi,” kata Arya.
Pilkada juga menunjukkan bahwa dinasti politik tidak lagi berkuasa. Calon dari Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan kalah meski pun mereka memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi Partai Demokrat yang berencana mencalonkan putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai salah satu kandidat cawapres.
Arya juga menyadari bahwa pemilih tidak lagi tertarik pada masalah agama dan etnis seperti dalam pemilihan sebelumnya. Para pemilih menunjukkan respons positif terhadap para calon dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda seperti yang terjadi di Kalimantan tengah, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
“Para pemilih menjadi lebih dewasa dan pilihan (politik) mereka tidak lagi berdasarkan pada faktor psikologis dan emosional,” kata Arya. [Ika Krismantari, Deputi Editor, Politik + Masyarakat; Bimo Alim]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.