Setya Novanto Sampai di Sini?

Ilustrasi: Mengejar Setyo Novanto/Antara foto

Koran Sulindo – Cerita ini sudah menjadi semacam dongeng sebelum tidur di khalayak aktivis anti korupsi:  Pada suatu hari di masa-masa pengusutan kasus dana talangan Bank Bali, tak lama setelah Reformasi 1998, kejaksaan menyatakan akan memeriksa lokasi rapat persekongkolan gelap di lantai 12 sebuah hotel di Jakarta, besok siang. Malam-malam ratusan tukang dikerahkan menghilangkan satu lantai gedung, lengkap dengan angka 12 pada nomor kamar dan tombol lantai elevator.

Sulap tingkat tinggi itu itu dilakukan konon atas perintah Setya Novanto (Setnov), yang pekan lalu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo mengatakan penetapan Setnov berdasar fakta-fakta di persidangan terdakwa kasus ini sebelumnya.

Ketua DPR ini diduga melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatannya.

“Sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara, perekonomian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP elektronik pada tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri,” kata Agus, dalam jumpa pers.

Setnov dijerat Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu memberi ancaman penjara maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 200 juta.

Setnov diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR. Ia melalui pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong juga mengondisikan perusahaan yang menjadi pemenang lelang proyek e-KTP.

Dalam persidangan, Setnov disebut dinyatakan menerima fee dari proyek e-KTP sebesar 7 persen dari total anggaran Rp 5,9 triliun.

Tamu Rutin KPK

Nama Setnov selama hampir 20 tahun terakhir sering disebut-sebut dalam pelbagai kasus korupsi. Seperti dikutip dimuka, kasus pertama yang “mengibarkan” namanya adalah kasus dana penilepan dana talangan Bank Bali. Kasus itu dikuti dugaan keterlibatan dalam penyelundupan beras impor dari Vietnam, sebanyak 60.000 ton. Pada 2010, kasus suap Ketua MK Akil Mochtar, dan kasus PON Riau dengan tersangka mantan Gubernur Riau Rusli.

Kasus Setnov yang juga menyita perhatian adalah pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden saat meminta jatah saham PT Freeport Indonesia. Kasus etis ini ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berdasarkan aduan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Sebuah rekaman yang berisi percakapan Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin konon membuat Presiden Joko Widodo murka

Dalam kasus hak tagih piutang Bank Bali yang menyebabkan kerugian negara nyaris Rp 1 triliun dari total tagihan sebesar Rp 3 triliun itu, Setnov sempat ditetapkan sebagai tersangka. Pengusaha Djoko S Tjandra dan mantan Gubernur BI Syahril Sabirin dihukum 2 tahun penjara, sedang Pande Lubis dari BI bahkan dipenjara 4 tahun.

Setnov? Jejaknya hilang dari kasus yang memakan waktu persidangan hingga ke MahkamahAgung total sekitar 10 tahun tersebut.

Tatkala KPK terbentuk, Setnov sejak itu juga selalu menjadi tamu rutin lembaga anti korupsi yang dibentuk pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu. Politisi Partai Golkar itu kerap memenuhi panggilan ke gedung di kawasan Kuningan itu sebagai saksi berbagai kasus korupsi.

Namun hingga kini namanya tetap masih bersih.Hanya sanksi teguran yang pernah dia peroleh. Itupun dalam persidangan diam-diam Mahkamah Kehormatan Dewan dalam kasus kunjungan DPR ke Amerika Serikat, dan ia memanfaatkan untuk mengikuti kampanye calon presiden Donald Trump.

Politisi kelahiran Bandung 12 November 1954 sudah duduk sebagai wakil rakyat selama 3 periode berturut-turut. Sebelum berpolitik, ia juga seorang pengusaha sukses walau orang tuanya bercerai sejak ia masih di bangku SD.

Sewaktu kuliah Setnov mulai berdagang di Surabaya. Ia juga bekerja sebagai sales di sebuah dealer penjualan mobil. Di sini kariernya naik terus hingga menjadi Kepala Penjualan seluruh wilayah Indonesia Timur.

Setelah meraih sarjana muda, ia meneruskan di Universitas Trisakti. Di sini, ia membuka bisnis dengan membuka kios fotokopi di dekat kampusnya.

Pada akhir 1990-an ia mulai pelan-pelan mencoba berpolitik. Diawali dengan menerbitkan buku berjudul “Manajemen Soeharto”. Buku tersebut dilarang beredar pasca bentrokan Mei 1997.

Setelah itu ia mulai bergabung dengan Organisasi Bahumas Kosgoro dan PPK Kosgoro 1957 dan menjadi anggota Partai Golkar. Ia menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar periode 2009-2014, lalu Ketua DPR RI pada 2 Oktober 2014.

Dan 20 tahun kemudian ia sudah berada di pucuk tertinggi partai itu.

Orang Kaya dan Berkuasa

Setnov terakhir melaporkan harta kekayaannya pada 13 April 2015 saat menjabat Ketua DPR RI. Laporan kekayaannya yang bisa diakses semua orang itu sepanjang 8 halaman, lebih panjang dari rata-rata laporan politisi lainnya.

Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka, yang kedua dalam hidupnya setelah kasus Bank Bali, Setnov mengatakan akan taat hukum dan akan mengikuti prosedur sesuai dalam undang-undang. ”Saya percaya Allah Maha Tahu dan tahu apa yang saya lakukan, dan insya Allah apa yang dituduhkan tidak benar,” kata Setnov,  dalam jumpa pers di Jakarta 18 Juli.

Menurut Setnov, tuduhan menerima uang Rp 574 miliar tersebut sudah terbantahkan dalam persidangan. Ia juga menjelaskan mantan Bendahara Umum Partai Golkar, Muhammad Nazaruddin, dalam persidangan pada 3 April 2017, telah membantah Setya menerima uang. Begitu pula saat sidang Andi Agustinus alias Andi Narogong pada 29 Mei 2017.

Wakil rakyat asal daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur itu diduga memiliki peran dalam proses penganggaran atau pengadaan barang dan jasa. Ketua Umum Partai Golkar ini juga diduga telah mengkondisikan pemenang pengadaan e-KTP.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan banyak bukti yang sudah diajukan KPK di persidangan 2 terdakwa e-KTP, Irman dan Sugiharto. Dari berbagai barang bukti itu, ada yang bisa dijadikan bukti permulaan untuk menaikkan status Setya menjadi tersangka. Febri menyebutkan bukti yang telah diajukan ke persidangan e-KTP lebih dari 6.000 alat bukti.

Apakah KPK benar punya bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan perbuatan Setnov tanpa pengakuannya atau saksi-saksi lain? Apakah nama Setnov bisa menghilang dari kasus ini seperti dalam kasus Bank Bali sekitar 20 tahun lalu? [Didit Sidarta]