Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politiknya

Setya Novanto/setnov.co.id

Koran Sulindo – Mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dituntut 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik tahun anggaran 2011-2012. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menuntut Setnov membayar pidana pengganti senilai 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan, subsider 3 tahun kurungan dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menyelesaikan hukuman pokoknya.

Menurut jaksa, perkara yang menjerat Setnov ini bercita rasa pencucian uang.

“Di persidangan ini juga dibeberkan fakta metode baru dalam mengalirkan uang hasil kejahatan dari luar negeri tanpa melalui sistem perbankan nasional sehingga akan terhindar dari deteksi otoritas pengawas keuangan di Indonesia,” kata ketua tim JPU KPK, Irene Putri, dalam sidang pembacaan surat tuntutan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (29/3/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Aliran uang itu dalam persidangan terungkap berasal dari berbagai tempat penukaran mata uang asing (money changer).

“Perjalanan uang haram dalam perkara ini harus demikian berliku melintasi 6 negara yakni Indonesia, Amerika Serikat, Mauritius, India, Singapura dan Hong Kong,” kata Irene.

Perkara ini menarik perhatian publik karena kepribadian Setnov.

“Tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri hal ini dikarenakan pelaku yang diajukan ke muka persidangan adalah seorang politisi yang punya pengaruh kuat, pelobi ulung,” kata Irene.

Meski kerap disebut-sebut dalam berbagai skandal korupsi sebelumnya, Setnov selalu lolos.

Dalam proyek e-KTP ini perencanaan dan pembahasan anggaran dicampuri kepentingan bisnis dari pengusaha dan anggota DPR. Mereka dengan pengaruh politiknya mengintervensi proses penganggaran dan pengadaan barang dan jasa.

“Inilah yang disebut political corruption,” kata Irene.

Surat tuntutan jakasa setebal 2.415 halaman dibacakan bergantian oleh 8 orang jaksa KPK.

Setnov dalam perkara ini didakwa menerima uang 7,3 juta dolar AS melalui rekan Setnov pemilik OEM Investment Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte Made Oka Masagung seluruhnya 3,8 juta dolar AS dan melalui keponakan Setnov, Diretur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo pada 19 Januari – Februari 2012 seluruhnya berjumlah 3,5 juta dolar AS.

Setnov juga didakwa menerima satu jam tangan Richard Mille seri RM 011 seharga 135 ribu dolar AS yang dibeli pengusaha Andi Agustinus bersama direktur PT Biomorf Industry Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena membantu memperlancar proses penganggaran.

Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.

Setnov dijadwalkan akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada 13 April 2018.

Kejadian tidak Mengenakkan

Menurut jaksa KPK, penanganan perkara `a quo` Setnov ini, sejak penyidikan sampai pembacaan surat tuntutan diselimuti dengan kejadian-kejadian yang tidak selalu mengenakkan. Jaksa menyebutkan diantaranya seorang saksi penting di luar negeri tiba-tiba bunuh diri; insiden tiang listrik; dan drama penundaan pembacaan surat dakwaan selama 7 jam.

Saksi yang dimaksud adalah Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem, salah satu perusahaan vendor KTP-E yang ditemukan tewas di rumahnya di Los Angeles pada 10 Agustus 2017 dini hari. Berdasarkan pemberitaan media di Amerika Serikat, Johannes ditulis tewas akibat bunuh diri.

Sedangkan “insiden tiang listrik” adalah peristiwa kecelakaan Setya Novanto pada 16 November 2017 yang membuatnya tidak bisa menghadiri pemeriksaan di KPK padahal penyidik KPK sudah menjemput Setnov ke rumahnya.

“Perkara ini berjalan seperti pertandingan marathon, oleh karena itu dapat dipastikan kami tidak akan kehabisan energi untuk terus melakukan pengusutan sengkarut perkara `a quo` yang pada saat ini masih memasuki tahap awal dari sebuah permulaan,” kata Irene.

Jaksa mengatakan menangani perkara ini tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional tapi harus progresif terutama dalam memaknai perbuatan menguntungkan diri sendiri yang tidak harus dilakukan dan diterima secara fisik oleh tangan pelaku langsung.

Sistem Hawala

Jaksa KPK juga mengatakan upaya penyamaran uang ini identik dengan sistem “Hawala” atau sistem transfer informal yang banyak dipraktikkan di Timur Tengah.

Untuk menyamarkan pengiriman uang kepada terdakwa pada 19 Januari – 19 Februari 2012, Johannes Marliem melakukan pengiriman kepada beberapa perusahaan uang dan money changer dengan menggunakan sarana barter atau `set off` atau pertemuan-pertemuan utang dengan memanfaatkan pihak lain yang legal yang seluruhnya berjumlah 3,55 juta dolar AS.

Uang itu diterima melalui keponakan Setya Novanto yaitu Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang juga rekan Setnov yaitu Made Oka Masagung yang ditransfer oleh Direktur Utama PT Biomorf Lone Indonesia Johanes Marliem selaku penyedia Automated Fingerprint Identification System (AFIS) merk L1 dan Anang Sugiana Sudiharsa sebagai Direktur Utama PT Quadra Solutions sebagai anggota konsorsium PNRI sebagai pemenang pengadaan KTP-E.

Adapun jumlah dan cara pengiriman adalah sebagai berikut:

  1. Dikirimkan kepada Wakong Pte Ltd sebesar 250 ribu dolar AS
  2. Dikirimkan kepada Golden Victory 183,4 ribu dolar AS
  3. Dikirimkan kepada Kohler Asia Pacific 101,9 ribu dolar AS
  4. Dikirimkan kepada Cosmic Enterprise 200 ribu dolar AS
  5. Dikirimkan kepada Sunshine Development 500 ribu dolar AS,
  6. Dikirimkan kepada Pacific Oleo Chemical 150 ribu
  7. Omni Potent Ventura 242 ribu dolar AS

Serta rekening “money changer” di beberapa bank Singapura yaitu:

  1. Bank OCBC Singapura 800 ribu dolar AS atas nama Neli
  2. Bank UOB Singapura sebesar 359 ribu dolar AS atas nama Yuli Hira
  3. Bank UOB Singapura sebesar 765 ribu dolar AS an Santoso Kartono

Setelah Johanes Marliem mengirimkan uang itu selanjutnya setelah dipotong `fee` uang itu dibarter oleh Juli Hira dan Iwan Barala dengan cara memberikannya secara tunai kepada terdakwa melalui Irvanto Handra Pambudi Cahyo yang dilakukan secara bertahap dengan cara diantarkan ke rumah Irvanto oleh karyawan Iwan Barala dan Muhamad Nur alias Ahmad dengan keseluruhan 3,5 juta dolar AS,” tambah jaksa Wawan.

Uang itu oleh Irvanto diserahkan kepada Kartika Yulansari yang merupakan sekretaris dan pengelola keuangan Setnov.

Catatan lain adalah pada 14 Juni 2012, Johanes Marliem mengirimkan 1,8 juta dolar AS melalui Made Oka Masagung menggunakan rekening OCBC atas nama OEM Investment Pte Ltd. Uang itu adalah sebagian uang yang dikirimkan Anang Sugiana sebesar 2,1 juta dolar AS.

Setelah memberikan uang itu Johanes Marliem melaporkan ke Anang bahwa uang sejumah 1,8 juta sudah dikirimkan ke babenya Asiong yang tak lain adalah terdakwa melalui Made Oka Sasagung.

Pada 10 Desember 2012, Anang kembali menyetorkan fee yang berasal dari pembayaran KTP-E sebesar Rp31 miliar untuk Quantum Tecnology yang dimasukkan ke Multicom Investment di rekening OCBC dan sebesar dua juta dolar AS melalui rekening Delta Energy Pte Ltd di bank DBS Singapura

Pemberian uang `commitment fee` itu disamarkan dengan perjanjian penjualan sebesar 100 ribu saham milik Delta Energy di Neuraltus Pharmaceutical negara bagian Delware Amerika Serikat. Setelah penerimaan dua juta dolar AS dari Anang itu, Made Oka mengirimkan sebagian uang sejumlah 315 ribu dolar AS kepada Irvanto yang merupakan direktur PT Murakabi Sejahtera yang pemegang saham dimiliki terdakwa.

Uang itu selanjutnya diambil oleh rekan Irvanto bernama Muda Ikhsan Harahap yang dipesankan Irvanto bahwa ada teman Irvanto bernama Pak Agung akan mentransfer ke rekening Muda Ikhsan di rekening DBS.

Kemudian setelah menerima uang itu, Muda Ikhsan diperintahkan Irvanto membawa uang itu dari Singapura ke Jakarta untuk diserahkan Muda Ikhsan di rumah Irvanto.

Selain itu, pada November-Desember 2012 jam tangan merk Richard Mille seri RM-011 dari Andi Agustinus dan dan Johannes Marliem seharga 135 ribu dolar AS diberikan kepada Setnov sebagai bagian dari kompensasi membantu dalam proses pembahasan anggaran proyek E KTP.

Pada 2016 Setnov mengembalikan jam tangan tersebut karena KPK melakukan penyidikan e-KTP dan telah ramai di media.

Jaksa menyimpulkan terdakwa menerima fee seluruhnya 7,3 juta dolar as terdiri dari 3,5 juta dolar AS diberikan melalui Irvanto dan sejumlah 1,8 juta dolar melalui perusahaan Made Oka yaitu OEM Investment dan 2 juta dolar AS melalui perusahaan Made Oka juga yaitu Delta Energy Ltd dan jam tangan Richard Mille.

Latar Belakang

KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi dalam pengadaan KTP-Elektronik (KTP-e) pada 31 Oktober 2017 lalu. Penetapan tersangka ini untuk kali kedua, karena dalam perkara pertama gugur demi hukum setelah Setnov memenagkan gugatan di Praperadilan.

“KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada tanggal 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI,” kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, 10 November 2017.

Setelah mempelajari putusan sidang praperadilan pada 29 September 2017 dan aturan hukum yang terkait, pada 5 Oktober 2017 KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara KTP-e dan telah meminta keterangan sejumlah pihak serta mengumpulkan bukti-bukti yang relevan.

Dalam proses penyelidikan tersebut telah disampaikan dua kali permintaan keterangan terhadap Setya Novanto pada 13 dan 18 Oktober 2017, namun yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan ada pelaksanaan tugas kedinasan.

“Setelah proses penyelidikan terdapat bukti permulaan yang cukup kemudian pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober 2017,” kata Saut.

Selaku anggota DPR RI periode 2009-2014, Setya Novanto bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di direktorat jenderal tersebut pada masa itu dan kawan-kawan mereka diduga berusaha menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Mereka bersama-sama diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-e tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

Setnov dijerat dengan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atas nama tersangka, dengan ancaman hukuman seumur hidup. [DAS]