Banjir di Bandung Senin (24/10/2016)/ugm.ac.id

Koran Sulindo – Tahun 2016 telah terjadi 2.384 bencana di Indonesia. Jumlah ini meningkat dari bencana yang terjadi pada tahun 2015 yang mencapai 1.732 kejadian bencana. Trend bencana terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebanyak 92 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi. Peningkatan bencana disebabkan oleh faktor alam seperti perubahan iklim dan faktor antropogenik meliputi degradasi lingkungan, pemukiman di daerah rawan bencana, DAS kritis, urbanisasi, dan lainnya.

Demikian diungkap Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei, saat menyampaikan kuliah umum “Penanggulangan Bencana dan Tantangannya di Indonesia” di UGM, Selasa (20/2). “Setiap tahun negara mengalami kerugian sebesar Rp 30 triliun akibat bencana,” katanya.

Menurut Willem sepanjang tahun 2016 kejadian bencana terbanyak terjadi di provinsi Jawa Tengah sebanyak 639 kali bencana. Diikuti Jawa Timur dengan 409 kejadian bencana, Jawa Barat 329 kali, Kalimantan Timur 190 kali dan Pemerintah Aceh 83 kali. Sementara sebaran kejadian bencana per kabupaten/kota tertinggi terjadi di Cilacap yakni sebanyak 100 kali, Magelang 56 kali, Wonogiri 56 kali, Banyumas 53 kali, serta Temanggung 50 kali.

“Jawa Tengah, Jawa Tiimur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Aceh merupakan lima provinsi terbanyak terpapar bencana selama 2016,” jelasnya.

Jika dilihat dari jenis kejadian bencana yang paling banyak terjadi di tahun 2016, menurut Willem, adalah bencana banjir yang mencapai 775 kali. Bahkan daerah rawan banjir semakin meluas. Di beberapa daerah yang awalnya tidak pernah mengalami banjir seperti di Garut, Pangkal Pinang, Kota Bandung, Kota Bima, dan Kemang Jakarta, kini terkena banjir.

Pada kesempatan itu Willem juga menyinggung peristiwa bencana alam yang terjadi sepanjang Januari – Februari 2017. “Ada sekitar 19 juta masyarakat Indonesia terancam banjir dan longsor akibat hujan yang terjadi sepanjang bulan Januari-Februari 2017, dan 175 ribu masyarakat yang terdampak,” ucapnya.

Dituturkan, Indonesia merupakan negara rawan bencana. Tidak sedikit penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana. BNPB mencatat sebanyak148,4 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi, 5 juta di daerah rawan tsunami, 1,2 juta penduduk di daerah rawan erupsi gunung api, 63,7 juta jiwa di daerah rawan banjir, serta 40,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan longsor.

Melihat kondisi Indonesia yang sangat rawan bencana, maka diperlukan upaya penanggulangan bencana untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan kerugian akibat bencana. Ada tiga poin utama dalam penanggulangan bencana, yakni menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, dan hidup secara harmonis dengan bencana. Untuk itu dalam penanggulangan bencana dibutuhkan kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dan juga Perguruan Tinggi.

Selama ini BNPB telah melaksanakan kerja sama dengan UGM dalam penerapan sistem peringatan dini bencana longsor tahun 2016. Pada tahun 2016 lalu BNPB dan UGM melakukan pemasangan instrumentasi sistem peringatan dini gerakan tanah di 17 daerah Indonesia. Beberapa diantaranya dipasang di Kerinci, Cianjur, Purworejo, Magelang, Lombok Timur, Kota Manado, Maluku Tengah. [YUK]

Baca juga: