Koran Sulindo – Krisis ekonomi bagi kebanyakan orang adalah kondisi serba susah. Apalagi kelompok masyarakat kelas menengah bawah. Untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kondisi ekonomi yang normal saja susah, apalagi saat ketika ekonomi sedang resesi.
Pandemi virus corona baru atau biasa disebut Covid-19 saat ini memaksa roda perekonomian berjalan pelan. Kebijakan karantina atau lockdown membuat banyak orang sulit mencari uang untuk sekadar membeli kebutuhan hidupnya.
Itu kondisi umum yang dialami mayoritas anggota masyarakat. Namun, dalam kondisi serba susah ini, bagi sebagian orang kaya, kondisi krisis ini justru menjadi peluang untuk mendapatkan keuntungan baik secara tidak wajar maupun sebaliknya. Tidak wajar, misalnya, menaikkan harga masker berlipat-lipat di saat banyak orang membutuhkannya.
Ada juga yang dengan cara yang wajar. Contohnya dengan investasi saham di pasar modal. Selama wabah virus corona ini, harga saham di berbagai negara rontok, tak terkecuali di Indonesia. Saham-saham perusahaan yang memiliki kinerja keuangan dan bisnis yang bagus pun ikut berguguran karena banyak investor yang melakukan aksi jual karena panik.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian pemilik dan bos perusahaan terbuka (yang tercatat di bursa efek) untuk membeli saham sebanyak-banyaknya. Mereka tentu lebih tahu kondisi keuangan perusahaan yang mereka miliki atau pimpin. Harga yang turun terlalu dalam bagi mereka adalah kondisi yang tidak sesuai dengan fundamental bisnis perusahaan. Karena itu, dalam sudut pandang yang lain harga saham yang turun adalah sebuah diskon harga yang besar-besaran. Itulah momentum untuk membeli banyak.
Selama Maret 2020, saat wabah virus corona mulai menginfeksi berbagai negara di luar Tiongkok, pasar modal adalah sektor yang paling cepat memberikan reaksi yang ditandai dengan kejatuhan harga. Tak heran sejak saat itu, sejumlah pimpinan perusahaan di Indonesia terlihat mulai melakukan aksi beli saham yang mereka pimpin.
Salah satu direksi perusahaan yang gencar membeli saham selama Maret lalu adalah Presiden Diretur PT Kino Indonesia Tbk, Harry Sanusi. Harry membeli saham perusahaan yang dipimpinnya sejak 2 Maret hingga 20 Maret 2020. Total transaksi pembelian sebanyak 11 kali. Jumlah saham yang dibeli dari pasar sebanyak 17.152.200 lembar di harga yang berbeda-beda. Tetapi bila rata-rata, ia membeli pada harga Rp 2.949,57. Jadi, total dana yang dihabiskan untuk semua transaksi ini mencapai Rp 48,14 miliar.
PT Kino Indonesia Tbk adalah salah satu perusahan consumer goods (barang konsumsi) di Indonesia. Produk yang mereka jual berupa makanan, minuman, farmasi dan aneka kebutuhan pribadi dan rumah tangga. Beberapa merek yang populer misalnya permen Kino, minuman Cap Kaki Tiga, Ovale, dan lain-lain. Produk-produk perusahaan ini tersedia di distributor besar, hypermarket, supermarket, minimarket, ribuan toko kosmetik, serta jutaan pasar tradisional yang ada di seluruh Indonesia.
Dari sisi kinerja keuangan, berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2019 lalu, pendapatan perusahaan ini mencapai Rp 3,48 triliun, naik 34,13% dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang mencapai Rp 2,6 triliun. Sedangkan laba bersih perusahaan per 30 September 2019 sebesar Rp 447,09 miliar. Laba yang diperoleh ini naik 323,74% dibandingkan periode 30 September 2018 yang masih sebesar Rp 105,51 miliar.
Namun, kinerja keuangan yang terbilang gemilang ini tak tercermin di harga saham perusahaan. Sepanjang 2020 ini, harga saham emiten dengan kode KINO ini mengalami penurunan yang sangat dalam yaitu 35,21% dari Rp 3.380 pada 2 Januari lalu menjadi Rp 2.190 pada Jumat 27 Maret lalu.
Harry Sanusi tentu lebih paham kondisi bisnis perusahaannya. Karena itulah ia berani menggelontorkan dana mencapai Rp 48,14 miliar untuk membeli saham KINO selama Maret 2020 saham banyak investor saham melakukan aksi jual karena dilanda kepanikan.
Dari saham yang dibeli selama Maret ini, di atas kertas, Harry memang masih rugi bila mengacu pada harga saham KINO per 27 Maret yang berada di level Rp 2.190. Sementara rata-rata harga saham yang ia beli pada Maret adalah Rp 2.949,57. Untuk sementara, setidaknya Harry masih rugi sekitar Rp 10,57 miliar. Tetapi, sebagaimana disampaikannya dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia bahwa tujuannya membeli saham tersebut untuk investasi artinya untuk jangka panjang, sehingga boleh jadi di masa yang akan datang ia berpotensi meraup keuntungan yang besar.
Kondisi pasar modal sudah berangsur mengalami pemulihan sejak 26 Maret lalu saat Amerika Serikat menggelontorkan dana US$ 2 triliun untuk menggairahakan perekonomian yang lesu akibat pandemi Covid-19. Di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga meluncurkan berbagai paket kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis. Di sisi lain, berbagai upaya juga dilakukan untuk memerangi virus corona.
Tiongkok yang menjadi sumber awal virus ini kondisinnya sudah terkendali. Meski di berbagai negara jumlah yang terinfeksi masih tinggi, tetapi toh, belajar dari Tiongkok, pandemi ini dipastikan akan teratasi. Dan dampak ekonomi yang menjadi efek sampingnya pun diperkirakan akan membaik kembali.
Keuntungan
Saat kondisi membaik inilah orang seperti Harry Sanusi akan menikmati keuntungan dari investasi yang mereka gelontorkan selama masa krisis ini. Katakan saja, saham KINO akan kembali ke level Rp 3.000 per lembar seperti pada awal tahun ini, misalnya saja Rp 3.380 seperti pada 2 Januari lalu, maka potensi keuntungan yang ia peroleh mencapai Rp 9,38 miliar. Melihat pertumbuhan bisnis KINO, boleh jadi harga sahamnya akan lebih tinggi lagi di masa depan.
Hingga 27 Maret 2020, total akumulasi jumlah saham KINO yang dimiliki Harry Sanusi adalah 167.792.900 lembar saham (11,74%), meningkat dari sebelumnya sebanyak 162.694.400 lembar (11,38%). Dengan mengacu pada harga 27 Maret lalu, total valuasi kekayaan Harry Sanusi di KINO sebesar Rp 367,47 miliar. Bila harga saham KINO naik menjadi Rp 3.380, selepas krisis ini, valuasi kekayaannya meningkat menjadi Rp 567,14 miliar.
Masih banyak lagi bos perusahaan yang memanfaatkan penurunan harga saham selama pandemi virus corona ini. Bila Sanusi masih menderita kerugian dari investasinya selama Maret ini, lain lagi dengan Jahja Setiaatmadja. Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) ini memang tidak terlalu agresif membeli saham selama Maret 2020. Ia bahkan terpantau melakukan aksi jual saham sejak 2 Oktoberr 2019 hingga 9 Maret 2020.
Tetapi, saat harga saham BCA tertekan terus hingga mencapai titik terendah pada Senin 23 Maret dan Selasa 24 Maret, Jahja kembali masuk ke pasar. Pada 24 Maret, ia membeli sebanyak 20.000 lembar saham BCA pada harga Rp 23.000. Jadi, total uang yang dia keluarkan untuk membeli saham pada hari itu mencapai Rp 470 juta.
Dus, pada Kamis 26 Maret bursa saham kembali rebound (naik) setelah ada stimulus ekonomi Amerika Serikat. Harga saham BCA pun ikut naik. Pada penutupan Jumat 27 Maret harga saham BCA sudah mencapai Rp 27.550 per lembar. Nilai investasi Jahja pun ikut melesat menjadi Rp 551 juta. Itu artinya hanya dalam 2 hari, ia meraup keuntungan Rp 91 juta.
Saat ini, jumlah kepemilikan saham Jahja di BCA sebanyak 7.927.628 lembar. Mengacu pada harga saham BCA pada Jumat (27/3), nilai kepemilikannya sebesar Rp 218,40 miliar. Bila saham BCA kembali ke level di Rp 33.700-an seperti pada Januari lalu, maka kekayaan Jahja pun ikut naik menajadi sekitar Rp 267,16 miliar.
Jadi, krisis keuangan tak membuat orang kaya menjadi miskin. Tetapi justru sebaliknya akan membuat kekayaan mereka bertambah. [Julian A]