Koran Sulindo – Setelah acap mengkritik kebijakan represif pemerintahan Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte, wartawan senior Maria Ressa, 55 tahun akhirnya ditangkap. Tuduhan yang diarahkan kepadanya dan situs beritanya yaitu Rappler adalah mengemplang pajak dan mencemarkan nama baik.
Aparat kepolisian Filipina, demikian laporan Channel News Asia Kamis (14/2) menangkap Ressa di kantornya pada Rabu (13/2). Ia sempat merasakan dinginnya malam di penjara. Kemudian, pada Kamis-nya, Ressa dibebaskan dengan jaminan setelah munculnya solidaritas internasional mengecam Duterte.
Rappler di bawah Ressa acap memberitakan kebijakan perang terhadap narkoba ala Duterte. Akibat kebijakannya itu, ribuan orang tewas tanpa proses hukum. Celakanya, kebijakan Duterte itu hanya menyasar orang-orang miskin tanpa sekalipun menyentuh gembong narkoba di negara itu. Karena itu pula, Duterte diduga telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia.
“Pemerintah mengirimkan pesan yang sangat jelas. Disuruh diam atau Anda berikutnya,” kata Ressa secara emosional kepada wartawan setelah dibebaskan dengan jaminan.
Ressa bercerita, pembayaran jaminan senilai 100 ribu peso atau setara US$ 1.900 adalah yang keenam sejak Desember lalu. Karena peristiwa itu, Ressa mengimbau setiap orang untuk tidak berdiam diri atas kejadian ini. Pada 2018, Ressa mendapat penghargaan dari Time sebagai “Person of the Year”.
Pejabat tinggi, kelompok hak asasi manusia dan komunitas internasional yang mendukung kebebasan pers mengecam aparat kepolisian yang berpakaian preman menggeledah kantor Rappler. Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland, misalnya, lewat akun twitter-nya mentweet penangkapan Ressa sebagai sangat bermasalah.
Kebebasan pers, demikian Freeland, adalah dasar demokrasi. Karena itu, Kanada mengimbau proses yang adil harus dihormati agar wartawan bebas dari pelecahan dan intimidasi. Hal yang serupa disampaikan mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright lewat akun twitternya. Penangkapan Ressa oleh pemerintah Filipina keterlaluan dan harus dikutuk oleh semua negara demokratis.
Kasus pencemaran nama baik terhadap Ressa dan mantan reporter Rappler Reynaldo Santos, Jr bermula dari 2012. Ketika itu, mereka menulis tentang dugaan hubungan pengusaha dengan hakim yang bertugas di pengadilan tinggi Filipina. Penyelidik awalnya menolak laporan pengusaha tentang berita itu pada 2017. Namun, kasus ini diteruskan ke jaksa penuntut untuk meminta pertimbangan mereka.
Dasar hukum kasus pencemaran nama baik itu juga masih kontroversial. Padahal, aturan hukum tentang informasi elektronik itu belum berlaku ketika berita itu diterbitkan. Bahkan ketika disahkan, UU itu sesungguhnya tidak berlaku surut sehingga tidak mungkin dikenakan kepada Ressa dan Santos.
Namun, aparat berwenang mengatakan, pihaknya bisa mengenakan delik itu kepada Ressa dan Santos karena Rappler memperbarui beritanya pada 2014. Soal ini, Ressa mengakui ada pembaruan dalam berita itu. Namun, isinya tidak berubah sama sekali, hanya perubahan karena salah ketik.
Pengacara Ressa secara resmi akan mengajukan kepada pengadilan untuk menghentukan kasus ini. Pengacara menilai masa waktu kasus telah kedaluwarsa. Adapun pengusaha yang melaporkan Ressa dan Rappler adalah Wilfredo Keng. Ia mengatakan, berita yang dituliskan Rappler menghancurkan reputasi dan hidupnya menjadi terancam.
Sementara juru bicara presiden, Salvador Panelo menolak penangkapan Ressa itu bermotif politik. Pendapat Ressa itu justru serangan terhadap kebebasan berekspresi atau kebebasan pers yang tidak memiliki dasar. Di samping Rappler, Duterte juga mengancam media massa yang kritis terhadap pemerintahannya seperti Philippine Daily Inquirer dan ABS-CBN.
Duterte mengancam akan mengejar pemiliknya karena dugaan mengemplang pajak atau memblokir aplikasi serta jaringan mereka. [KRG]