Ilustrasi/scmp.com

Koran Sulindo – Aula rumah pribadi Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto (Danny Pomanto), itu hiruk-pikuk petang hari pencoblosan akhir Juni lalu. Kopi panas dan goreng pisang hangat terus disajikan Wali Kota yang baru akan melepas jabatan pada Mei tahun depan itu. Danny langsung memeluk isterinya, dan semacam berpidato menyatakan “kemenangannya”.

Kotak kosong yang baru kali ini ada sepanjang sejarah pemilihan umum daerah (Pilkada) di Indonesia menang di ibu kota Sulawsi Selatan itu.

“Saya pikir ini pertama kalinya di kota besar, rakyat bisa menang dengan people power. Kemenangan ini kemenangan rakyat,” kata Danny.

Memang hitung cepat Pilkada Kota Makassar di siaran televisi yang dipantulkan ke layar besar rumah di Jalan Jl Amirullah Makassar Sulawesi Selatan itu mengabarkan terus-menerus kotak kosong unggul versi quick count dan real count yang digelar beberapa lembaga survei.

Hingga magrib, kotak kosong jelas-jelas mengalahkan lawannya, pasangan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang diusung 10 partai politik. Munafri adalah keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Danny-Indira Mulyasari (DIAmi) adalah pasangan Calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Makassar nomor urut 2. Namun pencalonan mereka didiskualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang diperkuat Mahkamah Agung (MA) RI.

Danny melawan balik dengan berkampanye mendukung kotak kosong.

Selain Kota Makassar, kotak kosong juga terjadi di 11 kota/kabupaten lain dalam Pilkada kali ini, namun hanya di kota Angin Mamiri unggul.

Drama kotak kosong yang menang melawan kekuatan besar itu, sebenarnya, hanya selingan dramatis dari Pilkada Serentak yang diselenggarakan pada 27 Juni lalu. Secara umum, pemilihan umum daerah, mengutip Jusuf Kalla, terumit di dunia itu berlangsung lancar dan aman.

Proses pemungutan suara dan penghitungan pesta demokrasi serentak gelombang ketiga yang berlangsung di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten itu berjalan telah sesuai dengan regulasi.

“Tidak ada laporan yang menyebabkan pilkada serentak ini terganggu dan mengkhawatirkan,” kata Ketua KPU RI Arief Budiman, usai menggelar monitoring bersama para delegasi internasional yang ikut dalam kegiatan Election Visit Program (EVP) di Surabaya-Sidoarjo, Jawa Timur, 27 Juni lalu, seperti dikutip kpu.go.id.

Rekapitulasi Resmi

Hingga pekan lalu KPU telah menerima hasil rekapitulasi suara dari 163 daerah dari total 171 penyelenggara Pilkada. Masih terdapat 8 kabupaten/kota yang data rekapitulasi dan penetapan pemungutan suaranya belum dikirim ke Jakarta.

Tingkat partisipasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, kali rata-rata mencapai 72,66 persen. Penetapan kepala daerah pemenang pilkada, yang hasilnya tidak menjadi sengketa, akan dilakukan KPU setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan ihwal ketiadaan gugatan dari peserta pemilihan. Sementara penetapan hasil pilkada, yang masih menjadi sengketa, baru dilakukan oleh KPU RI usai ada putusan MK.

Jadwal pengajuan permohonan gugatan perselisihan hasil pilkada ke MK sudah dibuka sejak 4 Juli lalu, dan tercatat terdapat 29 pengajuan gugatan yang diterima MK.

Beberapa hasil antara lain Pilkada Bali 2018 dimenangkan pasangan Wayan Koster-Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati dengan perolehan 56,52 persen dukungan atau 1.213.075 suara. Pilkada Jawa Tengah 2018 dimenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin dengan raihan 56,29 persen dukungan atau 10.362.694 suara. Pilkada Sulawesi Selatan 2018 dimenangkan pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman dengan raihan 43,87 persen dukungan atau 1.867.303 suara. Pilkada Maluku 2018 dimenangkan pasangan Murad Ismail-Barnabas Orno yang meraih 40,83 persen dukungan atau 328.982 suara.

Lalu Pilkada Jawa Timur 2018 dimenangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dengan raihan 53,55 persen dukungan atau 10.465.218 suara. Sementara Pilkada Jawa Barat 2018 dimenangkan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dengan raihan 32,88 persen dukungan atau 7.226.254 suara.

Rekapitulasi itu menunjukkan sejumlah calon kepala daerah yang diusung oleh partai-partai koalisi pemerintahan Joko Widodo mendapat hasil positif. Dalam kategori pemilihan gubernur, PAN dan NasDem keluar sebagai juara dengan persentase kemenangan sebesar 58,8 persen. Selain itu, Hanura dan Golkar juga sama-sama memperoleh kemenangan sebesar 52,9 persen. Partai koalisi yang lain, yakni PPP sebesar 41,2 persen dan PKB sebesar 35,3 persen. Sementara PDI Perjuangan, partai pertma dan utama pengusung Jokowi, justru berada di urutan bawah dengan perolehan 23 persen.

Namun juru kunci Pilkada lalu adalah Gerindra yang hanya mengantongi kemenangan sebesar 17,6 persen.

Klaim Semu

Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, heran dengan opini publik yang menyatakan partainya menelan kekalahan pada Pilkada tahun ini karena secara kuantitatif justru sebaliknya.

“Pilkada di 17 provinsi, kami itu menangnya di 6 provinsi. Jateng, Bali, Sulsel, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Dari enam provinsi di mana calon kami menang itu, empat calon gubernurnya itu kader kami dan yang calon wakil gubernur ada tiga orang,” kata Andreas, dalam sebuah diskusi di Jakarta, awal pekan lalu.

Dari 154 kabupaten/ kota, calon yang diusung dan didukung PDI Perjuangan dan menang berjumlah 91 daerah. Sebanyak 33 calon bupati/wali kota yang menang di Pilkada tingkat kabupaten/ kota itu merupakan kader PDI Perjuangan.

“Itu artinya kurang lebih kami menang 60 persen Pilkada tingkat kabupaten/kota,” lanjut Andreas.

Bagi PDIP, kemenangan yang hakiki adalah saat yang memenangkan pesta demokrasi berasal dari kader sendiri.

Andreas menduga opini publik yang dibentuk untuk mencitrakan PDIP terpuruk dalam Pilkada kali ini dihembuskan untuk menjatuhkan citra positif partainya. Ia juga meraba terdapat upaya-upaya masif yang ingin memisahkan PDI Perjuangan dengan Presiden Joko Widodo.

Dugaan Andreas digemakan Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago. Menurut Pangi, klaim kemenangan itu merupakan kemenangan semu partai yang hanya mengusung karena tidak ada sama sekali kader dari partai mereka sendiri yang bertarung dalam kontestasi di Pilkada.

“Saya harus bilang kalau itu kemenangan semu partai medioker. Tidak ada yang benar-benar kader partai mereka sendiri,” kata Pangi.

Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto mengatakan partai-partai yang mengklaim kemenangan tanpa kader itu menjadi wajar. Begitu pula dengan kewajaran di beberapa daerah yang mengusung kader PDIP bersama-sama dan menang.

“Ya tidak apa-apalah. Hitung-hitung yang kuat bantu yang lemah,” kata Hasto.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan secara resmi menyatakan memenangi pemilihan kepala daerah di 6 provinsi dan 91 kabupaten/kota. Jumlah kader partai yang menjadi kepala dan wakil kepala daerah menjadi 345 orang, naik dari 214 orang tahun sebelumnya.

“Ke-6 provinsi tersebut adalah Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Dari 6 provinsi tersebut, 4 kader partai menjadi gubernur serta 3 kader partai menjadi wakil gubernur,” kata Hasto, di Jakarta, sehari setelah Pilkada Serentak berlangsung.

Ilustrasi/Reuters

Dalam Pilkada di 154 daerah tingkat kabupaten/kota, PDIP berpartisipasi di 152 daerah dan memenangkan 91 daerah dengan kader yang terpilih menjadi bupati/wali kota di 33 daerah serta menjadi wakil bupati/wakil wali kota di 38 daerah.

“Kemenangan PDI Perjuangan di tingkat kabupaten/kota, lebih banyak kader partai yang terpilih. Ini kabar menggembirakan. Tolok ukur yang paling riil dalam pilkada ditentukan oleh jumlah kader yang berhasil terpilih sebagai kepala dan wakil kepala daerah, sebagai buah dari proses pendidikan politik kader,” kata Hasto.

Namun Wakil Sekjen PDI Perjuangan, Utut Adianto, mengatakan perolehan suara partai yang berakar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, di sejumlah basis massa memang turun, bahkan di daerah yang sering disebut sebagai basis massa tradisional partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut.

Di Jawa Tengah, misalnya, perolehan suara pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang diusung PDIP hanya sebesar 58,34 persen. Turun jauh dari suara yang diraih Joko Widodo saat Pilpres 2014 yang sebesar 66 persen.

“Tentu kami juga akan berhitung banyak di daerah yang tadinya kami sangat kuat sekarang tergerus, bahkan ada yang kalah. Ini yang kami akan menjadi perhatian. Ini khusus dari PDI-P,” kata Utut, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, awal Juli lalu, seperti dikutip kompas.com.

Perolehan suara oposisi di Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah memang melonjak signifikan.

“Ini bagian nanti kami evaluasi bahwa pelonjakan angka yang menurut hemat kami fantastis, ini kan harus terkonfirmasi. Jadi bukan hanya spekulasi, tapi terkonfirmasi paling tidak dari 3 titik, lapangan, evidence, waktunya, dan terakhir juga pergerakan pertumbuhannya di mana saja. Itu nanti akan merefleksikan situasi,” kata Utut.

Pelonjakan angka yang fantastis itu memang harus diselidiki. Laporan dari Pilkada Jawa Timur dari sumber terpercaya, namun belum dikonfirmasi, menyatakan sejumlah besar kader Gerindra dan PKS diam-diam memindahkan dukungan ke pasangan Khofifah Indar Parwansa-Emil Dardak hanya untuk menjegal Puti Guntur Soekarno, calon yang diusung PDI Perjuangan  menjadi wakil gubernur, hanya untuk mempermalukan Puti, dan pasangannya Saifullah Yusuf, dan mencegah mereka memenangkan pertarungan. Semua perlu diselidiki, semua perlu dikonfirmasi ulang. Namun tampaknya saat ini fokus utama PDIP adalah persiapan menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun depan.

“Ini menjadi konsentrasi utama kami saat ini,” kata Hasto. [Didit Sidarta]