Koran Sulindo – Korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) rupanya menyisakan persoalan. Masyarakat kini sulit untuk mengurus e-KTP. Alasannya karena blanko kosong atau blanko sedang habis.

Di sisi lain, anggaran proyek tersebut diketahui digarong secara beramai-ramai mulai dari anggota Komisi II DPR periode 2009 hingga 2014 hingga pejabat di Kementerian Dalam Negeri pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Ironis. Ini membuat pemerintahan Joko Widodo menanggung “dosa” berjamaah para pejabat itu.

Karena itu, aktivis hak asasi manusia dari Kontras Haris Azhar meminta Ombudsman untuk memantau kesulitan masyarakat mendapatkan e-KTP. Selain menjadi bagian dari pelayanan publik, terkendalanya e-KTP berdampak pada daftar pemilih tetap untuk pemilihan kepala daerah secara serentak pada 2017.

“Sebab, banyak warga yang pada akhirnya tidak bisa menggunakan hal pilihnya,” kata Haris seperti dikutip kompas.com pada Minggu (12/3).

Menurut Haris, banyak masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih pada pilkada kali ini karena sedang mengurus e-KTP. Ini disebut menjadi persoalan dan mesti diselesaikan. Ombudsman karena itu diharapkan mau membuka pos pengaduan berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian, Ombudsman bisa mendampingi masyarakat yang menjadi korban korupsi e-KTP itu.

Secara terpisah, beberapa lembaga swadaya masyarakat menyoroti para pejabat yang disebut terlibat dalam kasus itu, namun masih menduduki jabatan publik. Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, misalnya, mendesak Presiden Jokowi untuk menonaktifkan sejumlah pejabat yang tersangkut korupsi e-KTP.

LSM Desak Jokowi
Ia merasa hal itu perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas pemerintahan Jokowi. Jika tidak, ia khawatir kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Jokowi akan tergerus. Jokowi sebelumnya sudah menanggapi soal korupsi e-KTP. Ia kecewa karena korupsi itu mengganggu dan membuat urusan administrasi kependudukan masyarakat menjadi gantung.

Erwin menilai tanggapan Jokowi itu belum menunjukkan sikap tegas dan keseriusan dalam korupsi e-KTP. Erwin lalu menyebutkan beberapa nama pejabat publik yang masuk dalam dakwaan kasus itu yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, dan Ketua DPR Setya Novanto.

Untuk menuntaskan kasus ini secara terang benderang, Erwin berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa nama-nama yang masuh dalam dakwaan. Itu untuk mencegah spekulasi politik yang membawa dampak negatif kepada lembaga anti-rasuah itu.

Berdasarkan dakwaan terhadap Irman (mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri) dan Sugiharto (mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dukcapil) pada Kamis (9/3) kemarin nama Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar disebut turut serta melakukan korupsi dan melawan hukum yaitu pengadaan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011 hingga 2013.

Dalam dakwaan itu juga disebut bagaimana Novanto bersama seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Golkar), dan M Nazaruddin (mantan Bendahara Partai Demokrat) mengatur anggaran pengadaan proyek e-KTP. Sekitar 51 persen atau Rp 2,7 triliun dari total anggaran Rp 5,9 triliun akan akan dipergunakan sebagai belanja modal untuk pembiayaan proyek.

Sisanya sekitar Rp 2,6 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto serta anggota DPR. Sementara jatah untuk Novanto dan Andi Agustinus mencapai sekitar Rp 574 miliar. Komisi yang serupa juga diperoleh Anas dan Nazaruddin.

Jaksa pada KPK juga telah menegaskan soal keterlibatan Novanto. Lembaga anti-rasuah itu disebut telah mengantongi dua alat bukti permulaan yang cukup sehingga berani menyatakan Novanto turut serta dalam perbuatan korupsi itu. Karena itu, KPK telah menyiapkan alat bukti untuk menyeretnya ke pengadilan. [KRG]