Setelah agresi militer AS dan NATO di Libya akhir 2011, negara itu kini dalam situasi chaos [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Setelah penggulingan Muammar Gaddafi sekitar 7 tahun lalu, situasi Libya kian memburuk. Seperti yang mereka lakukan di Irak, Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya sama sekali tidak peduli situasi chaos di ibu kota negara tersebut.

Negara tersebut menjadi wilayah tanpa aturan. Para milisi berperang dan saling membunuh satu dengan lainnya. Akibat intervensi militer AS bersama sekutunya pada akhir 2011 hanya menghasilkan penderitaan kepada lebih dari 1 juta rakyat Libya.

Akibat perang antar-milisi di Tripoli, BBC pada awal September melaporkan, ratusan narapidana melarikan diri dari penjara. Dalam perang antar-milisi tersebut setidaknya 60 orang dinyatakan tewas dan terluka. Juga ratusan rakyat mengungsi untuk menghindari perang tersebut.

Bentrokan yang terjadi di Tripoli melibatkan tentara infanteri dari Kota Tarhuna yang memasuki Tripoli dengan koalisi milisi yang menguasai Tripoli. Agak sulit menjelaskan mengenai bentrokan tersebut. Karena kedua pasukan ini justru sama-sama ikut menggulingkan Gaddafi akhir 2011. Dengan kata lain, peperangan itu sulit digambarkan siapa lawan siapa.

Setelah Gaddafi digulingkan oleh kekuatan NATO, Libya terus mengalami kekacauan. Beberapa pasukan yang tadinya bersatu kini saling bersaing untuk menguasai Libya. Tidak ada penguasa tunggal di sana. Hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Yang kuat yang berkuasa. Itu sebabnya, bentrokan bersenjata acap terjadi.

Libya yang satu dekade lalu merupakan negara dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Afrika, kini menjadi negara tanpa masa depan. Bahkan cenderung menjadi negara gagal dan sangat berbahaya. PBB bersama Organisasi Migrasi Internasional (IOM) pada tahun lalu melaporkan bahwa negara itu kembali ke zaman “kegelapan”; sistem jual beli budak telah kembali dipraktikkan.

Ambruknya sistem perekonomian dan sistem sosial menghancurkan kehidupan rakyat Libya. Semisal, layanan kesehatan masyarakat. Merujuk hasil survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Kementerian Kesehatan negara itu pada 2017 menemukan 17 dari 97 rumah sakit ditutup. Dari jumlah itu, hanya 4 rumah sakit dengan kemampuan pelayanan 75 persen hingga 80 persen. Sisanya, kemampuan pelayanannya hanya 20 persen.

Sementara, rumah sakit lainnya sama sekali tidak punya kemampuan untuk melayani kebutuhan kesehatan masyarakat. WHO juga prihatin atas kematian 12 bayi yang baru lahir pada 2016. Kematian bayi itu lantaran ketiadaan sumber daya manusia dan fasilitas perawatan medis. Pun hal yang sama terjadi dalam layanan pendidikan. Sekolah-sekolahnya hampir semuanya mau roboh.

Pada 2016, misalnya, tahun ajaran baru mesti ditunda karena kurangnya fasilitas meliputi buku, ketiadaan jaminan keamanan dan lain sebagainya. Sejak digulingkannya Gaddafi, tak ada jadwal sekolah tetap di Libya. Pada 2018, misalnya, UNICEF menyebutkan sekitar 489 sekolah mesti ditutup dan sekitar 26 ribu murid terpaksa pindah karena sekolahnya ditutup.

UNICEF mengumumkan, sekitar 378 ribu anak di Libya membutuhkan bantuan kemanusiaan, 268 ribu jiwa butuh air bersih dan sanitasi, 300 ribu jiwa membutuhkan layanan pendidikan dan bantuan darurat. Secara keseluruhan sekitar 1,1 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Melihat kenyataan itu, ratusan ribu hingga jutaan orang kemudian mengungsi ke negara-negara tetangganya. Pada 2014, jumlah yang disebutkan itu telah mengungsi ke Tunisia. Jika ditambahkan dengan yang mengungsi ke Mesir, jumlah mungkin melebihi 2 juta orang. Jumlah ini tentu saja mengerikan mengingat populasi Libya pada 2011 hanya mencapai sekitar 6 juta jiwa.

Setelah agresi AS bersama sekutunya ke Libya selesai, mereka kemudian meninggalkan negeri itu hancur dalam situasi chaos. Mereka lalu mencoba mengalihkan perhatian dan mempropagandakan hal yang sama di Suriah. Kesimpulan yang bisa diambil dari fakta itu adalah target AS dan sekutunya hanya ingin menggulingkan Gaddafi. Setelah itu tercapai, lalu siapa yang peduli dengan situasi di Libya? [KRG]