Ilustrasi/Istimewa

Koran Sulindo – Setara Institute menyatakan saat ini ada upaya untuk membesar-besarkan kembali nama mantan Presiden Soeharto dan kepemimpinannya di zamannya yang sepanjang 33 tahun yang sering disebut dengan Orde Baru. Menurut Setara, seharusnya Soeharto hanya tinggal menjadi “pelajaran”.

“Publik Indonesia harus mengetahui apa saja yang sebenarnya pernah dilakukan Soeharto saat memimpin Indonesia. Membesar-besarkan atau glorifikasi nama Soeharto perlu ditandingkan dengan pendapat berbeda dan dilengkapi dengan sejumlah informasi agar kita tidak terperangkap dalam kultus pribadi,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, di Jakarta, Sabtu (8/12/2018), melalui rilis media.

Berbagai studi pernah dilakukan para pakar sejarah, politik, ekonomi, maupun studi khusus militer, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari berbagai studi terlihat rekam jejak Soeharto, yang disebut Hendardi sebagai “catatan kebesaran” Soeharto.

Pertama, Soeharto menapaki “jalan kebesarannya” setelah peristiwa G30S 1965. Dia menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pesaingnya susut setelah Letjen Ahmad Yani dan kawan-kawan dibunuh komplotan G30S dan tersisa Mayjen Pranoto Reksosamodra, Menteri/Panglima Angkatan Darat (AD) yang ditunjuk Presiden Soekarno. Tetapi, pada 14 Oktober 1965, Soeharto sukses meraih jabatan Panglima AD merangkap Panglima Kostrad.

Caranya? Dengan mengangkat dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

“‘Kebesaran’ Soeharto adalah sukses memborong tiga jabatan panglima militer sekaligus hanya dalam dua minggu,” katanya.

Kedua, meskipun Soeharto merangkap tiga jabatan panglima sekaligus, tetapi kenyataannya keadaan darurat tetap dijalankannya. Perkiraan secara moderat saja, selama 1965-1966, sebanyak 500.000 warga sipil jadi korban pembantaian serta 1,6 juta orang dijebloskan ke penjara.

“‘Kebesarannya’ adalah catatan rekor jumlah korban pembantaian, serta penahanan warga negara secara sewenang-wenang,” katanya.

Korban-korban lainnya tercatat dalam invasi militer ke Timor Timur (1975-1976), memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998), pembunuhan misterius (1982-1984), dan pembantaian Tanjungpriok (1984).

Ketiga, Soeharto adalah jenderal yang sempurna. Ia dinobatkan sebagai ‘Jenderal Besar”. Lalu dia diberi pangkat bintang lima emas, setelah Jenderal Soedirman dan Jenderal Nasution. Menjulangnya karier militernya “dibangun” berkat cerita dari Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga horor pembantaian 1965-1966 dengan kisah kepahlawanannya. Soeharto juga penguasa yang paling ditakuti rakyat.

Keempat, Soeharto doyan mengucap mantra pembangunan. Sejak 1973, Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I dimulai hingga berujung Pelita VI 1998. Meski periode pemerintahannya menimbulkan korban penggusuran, kesengsaraan buruh, serta hutan gundul dan tambang terkuras, Soeharto diberi gelar “Bapak Pembangunan”. Hal itu sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1983.

Kelima, dengan gaji presiden sebesar US$ 1.764 per bulan, Soeharto bertengger menjadi presiden yang memiliki kekayaan tak tertandingi di dunia. Dengan kisaran kekayaan keluarganya mencapai US$ 15 miliar hingga US$ 73 miliar.

Jumlah itu mengalahkan penguasa Filipina Ferdinand Marcos dan penguasa Zaire Mobutu Sese Seko, hanya beberpa despot yang masih diingat zaman kini.

Kekayaan keluarganya bersumber dari dua sayap, yaitu kerajaan bisnis keluarga dan kerabat serta puluhan yayasan dalam pengumpulan dana. Satu yayasan saja, yakni Yayasan Supersemar digugat Rp 4,4 triliun. Perkara ini dimenangkan Kejaksaan Agung. Kini dijalankan eksekusi termasuk menyita Gedung Granadi.

Berdasarkan riset dan berbagai studi, antara lain terdokumentasi dalam beberapa karya Robert Cribb atas pembantaian 1965-1966, John Taylor mengenai invasi Timor Timur, Amnesty International atas diberlakukannya DOM di Aceh, serta aneka kekerasan Orde Baru yang disunting Ben Anderson, itu berbagai lembaga dan media massa luar negeri menobatkan Soeharto sebagai ‘Diktator Kejam’ atas berbagai pembantaian sipil. Ia disejajarkan dengan penguasa kejam dunia seperti Hitler, Stalin, dan Polpot.

Atas jumlah kekayaannya, lembaga seperti Transparency International, dan media massa seperti New York Times serta Forbes, memberi gelar Soeharto sebagai “Presiden Terkorup Sedunia”.

“Atas kedua gelar itu, maka Harian Republika pada 4 Juli 2014 menggabungkannya: Soeharto sebagai ‘Diktator Terkorup’. Begitulah kebesaran Soeharto yang telah dicatat oleh beberapa lembaga dan banyak media. Dengan kebesaran yang sempurna itu, maka kampanye macam apa lagi yang mau dibesar-besarkan? Hasil berbagai studi ini dapat menjadi pelajaran bagi generasi milenial yang mau belajar tentang Soeharto,” kata Hendardi. [DAS]