Ilustrasi: Adegan dalam film Setan Jawa --- Repro dari Katalog Setan Jawa saat pentas di Yogya/YUK

Koran Sulindo – Tak hanya politik, cinta pun akan menghalalkan segala cara untuk bisa mereguk ketika menemui hambatan. Coba saja tengok kisah Setio, pemuda yang lahir dari keluarga rakyat jelata yang jatuh cinta dengan Asih, putri seorang bangsawan.

Adanya perbedaan kelas; antara rakyat jelata dan bangsawan, antara si miskin dan si kaya, membuat Setio ditolak keluarga tatkala mengutarakan keinginannya meminang Asih. Bahkan, telapak tangan Setio pun harus luka akibat ditusuk ibu Asih dengan tusuk konde milik Asih yang ditemukan jatuh di tengah jalan.

Kecewa, marah dan penuh dendam merasuk jiwa Setio. Gelora cintanya  yang bergolak dan tak bisa diredam akhirnya membawa Setio menempuh cara memakai ilmu klenik, yakni ilmu pesugihan Kandang Bubrah, untuk bisa menjadi kaya dan menjadi orang terpandang. Dengan laku tertentu dan menyetujui perjanjian dengan setan bila dirinya mati akan menjadi tiang penyangga rumah, akhirnya Setio bisa menjadi kaya raya serta berhasil menyunting Asih.

Dalam perjalanan mengarungi bahtera pernikahan, akhirnya Asih mengetahui bila suaminya, Setio, menggunakan ilmu pesugihan Kandang Bubrah untuk bisa mempersunting dirinya. Asih curiga, ketika suaminya melakukan prosesi untuk meruwat rumah. Namun karena kecintaannya dengan suaminya, Asih berusaha menolong. Ia meminta bantuan kepada setan agar bila suaminya meninggal bisa dengan mudah dan tak menjadi tiang penyangga rumah. Sang setan menyetujui, namun dengan syarat Asih harus mau disetubuhi.

Itulah jalan cerita sebuah film yang berjudul Setan Jawa karya Garin Nugroho. Film hitam-putih dan bisu ini Minggu (21/5) lalu diputar di Universitas Sanata Dharma dalam rangka memperingati 35 tahun (1981 – 2016) Garin berkarya, sekaligus menyemarakkan perhelatan pameran seni rupa bertaraf internasional, Artjog 10.

Film Setan Jawa yang mengambil setting kehidupan saat penjajahan VOC – Belanda sekitar tahun 1920-an lebih diwarnai gambaran-gambaran yang membawa penonton dalam suasana mistis diperkuat dengan live orchestra gamelan garapan (composer) Rahayu Supanggah. Adegan-adegan gerak tari dalam film begitu menyatu dengan lantunan tembang yang dibawakan para pesinden secara live di depan layar. Semua mengalir sesuai alur cerita. Luar biasa. Masterpiece.

“Menurut saya ini film pertama di dunia yang diiringi gamelan secara live, dengan visual tari hitam putih selama satu jam lebih. Bagi saya ini merupakan terobosan dalam bentuk yang akan membuka peta baru, minimal untuk diri saya,” kata Garin (56).

Ada beberapa alasan yang menyebabkan Garin membuat film Setan Jawa. Pertama, ihwal dunia mistis. Masa kecil Garin di kawasan Jagalan – Beji, Yogya, dipenuhi ingatan akan mistik Jawa. Rumahnya sering dipakai orang-orang kejawen. Pada perspektif ini, maka dunia mistis menemukan muaranya. “Laku mistik mencari kekayaan atau kekuatan sekaligus kekuasaan sesungguhnya hadir menjadi bagian dari sosial, kultur, politik dan ekonomi melewati batas-batas sosial dari kelas bawah sampai atas di Jawa, bahkan Indonesia,” ujar Garin.

Kedua, diutarakan pula oleh Garin bahwa membuat film Setan Jawa sebagai film bisu dan hitam putih merupakan impiannya selama ini setelah melihat film hitam putih Nosferatu (1922) dan Metropolis (1927).  Kedua film itulah yang membawa dirinya saat masa kecil dipenuhi pesona pertunjukan wayang kulit yang diiringi gamelan.

Ilustrasi: Adegan dalam film Setan Jawa --- Repro dari Katalog Setan Jawa saat pentas di Yogya/YUK
Ilustrasi: Adegan dalam film Setan Jawa — Repro dari Katalog Setan Jawa saat pentas di Yogya/YUK

Menurut Garin, estetik wayang kulit adalah bagian dari sejarah estetik sejarah film. Sebutlah estetik arah pandang hingga arah pakeliran maupun close up dan wide lewat didekatkan dan dijauhkan wayang dari layar. Setelah film Opera Jawa yang juga sudah ditransformasikan dalam panggung teater, Garin kemudian memutuskan membuat film bisu hitam putih dengan tari dan gamelan.

“Setan Jawa sebagai film bisu hitam putih dengan iringan langsung gamelan serta dengan tema dunia mistik ini adalah sebuah ode masa kecil di rumah saya di Yogya yang membawa masa lampau dan kini sekaligus,” tutur Garin.

Ong Hariwahyu, selaku production designer dalam film Setan Jawa ini, pengambilan gambar (syuting) tak ada kendala sedikitpun. Dikatakan, syuting yang mengambil lokasi di daerah Wonosari Gunung Kidul, Pesanggrahan Solo, maupun candi Boko memakan waktu selama 1 minggu. “Hanya saja perencanaannya perlu waktu 1 tahun,” ujar Ong.

Yogya merupakan kota ketiga yang disinggahi Setan Jawa. Sebelumnya film ini telah dipentaskan di Jakarta pada September 2016, kemudian mengawali world premier di Melbourne, Australia pada Februari lalu. Tahun ini  juga Setan Jawa akan melanglang ke Amsterdam (Belanda), Singapura dan London (Inggris).

Sebagai sutradara yang telah banyak menyabet penghargaan internasional maupun nasional seperti Honorary Golden Wheel di Vesoul International Film Festival Perancis (2013), penghargaan Life Achievement dalam FFI 2015 dan masih banyak lagi, agaknya Garin yang sudah mulai membuat film saat umur 19 tahun perlu membuat sebuah museum kecil. Museum ini berisikan catatan perjalanan Garin berkarya. Di situ, anak-anak muda Indonesia yang minat di bidang perfilman bisa belajar banyak ewat cuplikan-cuplikan film yang banyak menyabet award. Akankah? [YUK]