Koran Sulindo – Sekertaris Kabinet menyatakan jika gempa Lombok ditetapkan menjadi bencana nasional, maka orang asing bisa masuk seenaknya.
“Kita masih mampu untuk menangani sendiri. Bangsa ini masih mampu untuk menyelesaikan persoalan Gempa Lombok itu sendiri,” kata Seskab Pramono Anung, di Jakarta, Kamis (23/8/2018), seperti dikutip setkab.go.id.
Menurut Seskab, Instruksi Presiden (Inpres) mengenai penanganan gempa Lombok sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Inpres ini mengatur bahwa bencana di Lombok itu penanganan sepenuhnya seperti bencana nasional.
Substansi dasar dari Inpres Penanganan Dampak Gempa Lombok, menurut Seskab, adalah memerintahkan kepada Menteri PUPR sebagai koordinator dibantu oleh TNI-Polri dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) untuk segera merehabilitasi, melakukan normalisasi terhadap fasilitas-fasilitas utama yang mengalami kerusakan.
“Ini upaya yang dilakukan pemerintah ini semata-semata untuk tujuan kebaikan bagi masyarakat yang ada di Lombok, di Sumbawa, di Nusa Tenggara Timur tapi juga di keseluruhan,” katanya.
Pramono membantah sejumlah sinyalemen yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, bahwa pemerintah hanya menganggarkan Rp38 miliar dalam penanganan dampak gempa yang mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Anggarannya Rp4 triliun lebih, Rp4 triliun lebih. Supaya ini tidak ditafsirkan macam-macam, anggarannya Rp4 triliun lebih,” katanya.
Seskab mencontohkan untuk mengganti rumah yang rusak saja, berapapun rumah itu, dibagi menjadi 3 klasifikasi, berat, ringan, sedang, Rp50 juta, Rp25 juta, dan Rp10 juta.
“Itu saja angkanya sudah besar sekali. Jadi kalau kemudian para politisi ada yang mengembangkan bahwa dananya itu Rp38 miliar, yang bersangkutan tidak punya empati terhadap persoalan yang ada di Lombok,” katanya.
Meskipun mengalokasikan anggaran Rp4 triliun lebih, pemerintah memastikan, jumlah tersebut bisa ditambah karena berapa pun yang rusak nanti yang akan ditangani.
Setkab meminta ketika gempa terjadi seharusnya bukan malah memelintir fakta dan sebagainya.
“Kita belajar dari bangsa-bangsa lain, seperti di Jepang, itu seharusnya kita bersatu untuk menangani itu bukan malah kemudian menginformasikan hal yang bukan yang sebenarnya,” kata Pramono. [DAS]