Ilustrasi

Koran Sulindo – Pengakuan pemerintah kasus konflik agraria berkurang selepas program sertifikasi tanah perlu dikritik. Pasalnya, konflik agraria justru terus meningkat. Ditambah pula sertifikasi tanah terkesan sebagai cara tersembunyi untuk merampas tanah rakyat.

Presiden Joko Widodo karena itu terlalu menyederhanakan kasus konflik agraria acap terjadi hanya karena masalah sertifikat tanah. Ia karenanya berupaya memberikan sertifikat tanah sebanyak-banyaknya kepada rakyat. Kali ini, ia menyerahkan sertifikat atas tanah kepada 2.340 penerima di Kalimantan Selatan pada Minggu (7/5).

“Pemerintah akan terus mengupayakan pemberian sertifikat ini sebagai tanda bukti hak kepemilikan atas tanah kepada lebih banyak lagi masyarakat di seluruh Indonesia,” kata Jokowi seperti dikutip antaranews.com.

Ia menuturkan, terdapat 126 juta bidang tanah yang semestinya mendapatkan sertifikat. Dari jumlah itu, hanya 46 juta yang memiliki bukti pengakuan. Kepada menterinya, Jokowi berpesan agar mengeluarkan sekitar lima juta sertifikat pada tahun ini. Jumlah itu akan terus meningkat pada tahun depan menjadi tujuh juta dan 2019 menjadi sembilan juta.

Jokowi boleh saja bermimpi demikian. Mungkin ia tidak mendengar soal konflik agraria terbaru yang menimpa rakyat Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow dengan PT Malisya Sejahtera yang dibantu aparat keamanan sekitar dua hari yang lalu.

Konflik itu bermula ketika karyawan perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kelapa hibrida itu bersama aparat Koramil Poigar pada 2 Mei 2017 memanen kelapa di kebun yang terletak di Desa Tiberias. Warga yang merupakan petani penggarap tentu saja protes atas tindakan perusahaan tersebut.

Terlebih area tersebut merupakan objek sengketa yang sedang dalam proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Sesaat kemudian, ratusan aparat Kepolisian Resort Bolmong mendatangi lokasi. Alih-alih mendamaikan, justru mereka memihak perusahaan. Buktinya, karyawan perusahaan dibiarkan membongkar, membakar bangunan dan merusak tanaman petani.

Aksi itu tentu saja mendapat kecaman dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Walhi Sulawesi Utara, Yayasan Suarani Nurani, Yayasan Peka dan Ammalta. Pasalnya, tindakan kekerasan dan brutal itu dilakukan di depan mata aparat penegak hukum. Ironis. Karena pada saat bersamaan Presiden Jokowi acap mengkampenyakan agar taat pada hukum. Kenyataannya jauh panggang dari api.

Akibat konflik tersebut, polisi justru menangkap 31 warga desa Tiberias. Berdasarkan fakta ini, benarkah konflik agraria hanya karena soal sertifikasi tanah? [KRG]