Bulog menggandeng TNI untuk menjalankan program serap gabah petani [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Orang-orang Tionghoa mempercayai jika hujan deras turun pada saat imlek itu merupakan pertanda rezeki. Nampaknya, keyakinan kuno ini tidak berlaku untuk petani terutama ketika menjual hasil tanaman mereka di musim penghujan.

Selain karena musim panen, hujan menjadi alasan Bulog untuk membeli gabah petani dengan harga murah. Hanya berkisar Rp 2.900 hingga Rp 3.400 per kilogram. Bulog beralasan kadar air gabah cukup tinggi di atas 25 persen.

Menurut Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), harga yang dipatok Bulog itu di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Berdasarkan Inpres Tahun 2015, HPP gabah ditetapkan Rp 3.700 per kilogram.

Menanggapi kenyataan itu, Ketua Umum AGRA Rahmat Ajiguna menyimpulkan penetapan HPP yang rendah dan praktik program serap gabah petani (sergap) melalui Bulog dengan melibatkan TNI merupakan praktik monopoli harga. “Itu tentu saja merugikan petani sekaligus penyebab anjloknya harga di petani,” kata Rahmat melalui keterangan resmi di Jakarta, Minggu (5/3).

Dugaan AGRA anjloknya harga gabah di tingkat petani karena program sergap bukan tanpa dasar. Di Sukabumi misalnya, harga pasaran gabah kering panen masih berkisar Rp 4.800 per kilogram. Sedangkan, Bulog membeli dengan harga di bawah Rp 3.700 per kilogram.

Petani Merugi
Harga gabah petani karena itu tentu saja anjlok dan membuat mereka merugi. Pasalnya, petani tak mampu menutup biaya produksi. Apalagi biaya produksi mengalami peningkatan akibat curah hujan yang cukup tinggi sehingga banyak yang gagal panen karena banjir.

Rahmat menuturkan, upaya percepatan penyerapan gabah melalui program sergap hanya spekulasi bisnis. Bukan untuk kepentingan ketahanan pangan dan menjaga harga di tingkat petani agar tak merugi. Dengan demikian, Rahmat meminta agar Presiden Joko Widodo merevisi Inpres Tahun 2015 tentang HPP.

“Pemerintah mesti menetapkan HPP berdasarkan biaya produksi dan melibatkan petani ketika memutuskannya. Bulog semestinya tidak boleh membeli harga gabah di bawah HPP, terlebih melibatkan TNI,” kata Rahmat menambahkan.

Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet terbatas pada 20 Februari lalu yang dihadiri Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri Pertanian dan Kepala Bulog. Rapat itu membahas tentang anjloknya harga gabah dan mengatasinya dengan cara membeli langsung gabah petani serta mengoptimalkan pengeringannya. Rencananya akan bekerja sama dengan pihak swasta.

Untuk memastikan perpcepatan penyerapan gabah petani, selanjutnya Menteri Pertanian Amran Sulaiman tiga hari setelah rapat tersebut mengadakan koordinasi dengan direksi Bulog dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono serta dihadiri dinas pertanian provinsi. Koordinasi itu membahas percepatan penyerapan gabah 2017.

Target dari percepatan penyerapan gabah petani tersebut mencapai empat ton. Dengan melibatkan TNI, AGRA menduga justru itu akan memperparah kerugian yang dialami petani. Selain karena hanya fokus pada pembelian gabah, HPP sudah tidak tepat karena tingginya biaya produksi.

Petani Kudus, Jawa Tengah, misalnya, dengan luas sawah sekitar 0,71 hektare memerlukan biaya yang mencapai Rp 26 juta per tahun dengan dua kali musim panen. Biaya itu meliputi sewa tanah antara Rp 16 juta hingga Rp 18 juta dan biaya produksi satu musim sekitar Rp 5 juta.

Hasil panen dalam satu tahun atau dua kali musim panen mencapai delapan ton. Jika merujuk pada HPP yang ditetapkan pemerintah, penjualan gabah petani hanya mencapai Rp 29,6 juta. Selisihnya hanya Rp 3,6 juta selama setahun. Angka ini tentu saja tidak mencukupi dan merugikan petani karena belum termasuk biaya lainnya seperti biaya tenaga kerja. [KRG]