Seppuku: Ritual Bunuh Diri Terhormat Samurai Jepang

Ilustrasi Seppuku (Wikipedia)

Koran Sulindo – Pada abad ke-12, di tengah konflik dan peperangan di Jepang, samurai (prajurit elit) yang tunduk pada kode etik Bushido menghadapi pilihan ekstrem saat menghadapi kekalahan yang memalukan yaitu bunuh diri untuk menebus kesalahan dan menjaga kehormatan mereka.

Ritual bunuh diri ini dikenal sebagai seppuku atau harakiri, yang berarti “memotong perut”. Seppuku dilakukan oleh samurai sebagai bentuk pengorbanan dan untuk menghindari kehinaan atau siksaan di tangan musuh.

Harakiri dan Seppuku: Pengertian dan Perbedaan

Meskipun istilah harakiri dan seppuku sering digunakan secara bergantian, sebenarnya ada perbedaan dalam penggunaannya. Dilansir dari berbagai sumber, Harakiri lebih sering digunakan di Barat dan pertama kali muncul dalam literatur pada tahun 1846, menggambarkan pengorbanan diri yang sederhana tanpa kehadiran saksi atau aturan yang ketat.

Di sisi lain, seppuku adalah istilah yang lebih umum digunakan di Jepang dan mencakup ritual bunuh diri yang dilakukan dengan prosedur dan tata cara yang lebih formal, seringkali melibatkan kehadiran saksi dan asisten yang disebut kaishakunin.

Dalam literatur Barat, istilah seppuku pertama kali tercatat pada tahun 1882, digunakan untuk menjelaskan hukuman bagi penjahat kelas samurai.

Seppuku sering kali dikaitkan dengan hukuman mati bagi samurai pada periode setelah tahun 1600, sedangkan harakiri lebih merujuk pada pengorbanan diri yang tidak melibatkan prosedur tradisional yang ketat.

Ritual Seppuku: Jalan Mati yang Mulia

Ritual seppuku pertama kali muncul pada abad ke-12, dan sejak itu menjadi bagian penting dari budaya samurai. Tindakan ini dilakukan oleh samurai kelas atas untuk menebus kesalahan, mendapatkan kembali kehormatan yang hilang, atau menghindari penangkapan yang memalukan dalam perang.

Bagi samurai, mati melalui seppuku dianggap sebagai cara paling mulia dan terhormat untuk meninggalkan dunia ini.

Ritual seppuku terdiri dari dua bentuk utama: versi medan perang dan versi formal. Pada medan perang, seorang samurai akan menusukkan pisau pendek ke perutnya dan mengiris perutnya secara horizontal.

Setelah itu, seorang kaishakunin (biasanya teman dekat atau pelayan) ditugaskan untuk memenggal kepalanya guna mengurangi rasa sakit. Di versi formal, ritual diawali dengan mandi, mengenakan kimono putih, dan menyantap makanan favorit.

Setelah menulis puisi kematian, samurai akan menusuk perutnya sendiri sebelum kaishakunin memenggal kepalanya secara hati-hati, sehingga kepala jatuh di pelukan sang samurai.

Seppuku dengan pemotongan perut secara horizontal disebut yang paling umum, namun ada versi yang lebih menyakitkan, yaitu jumonji giri, di mana perut dipotong secara horizontal dan vertikal. Samurai yang melakukan jumonji giri biasanya dibiarkan hingga kehabisan darah dan meninggal dengan cara yang dianggap sangat menyakitkan.

Peran Kaishakunin dan Kehormatan Seppuku

Dalam ritual seppuku, kaishakunin memainkan peran penting. Mereka adalah orang yang ditugaskan untuk memenggal kepala samurai yang sedang melakukan seppuku.

Tugas ini penuh tanggung jawab karena dilakukan demi mengurangi penderitaan samurai yang terlibat dalam proses bunuh diri. Peran kaishakunin sendiri dianggap cukup berisiko karena kesalahan dalam pelaksanaan bisa membawa aib yang berkepanjangan.

Dalam beberapa kasus, seorang samurai yang telah kalah dalam perang tetapi dianggap telah bertarung dengan gagah berani bisa mendapatkan penghormatan dari lawannya. Lawan yang ingin menghargai keberanian samurai tersebut bisa secara sukarela menjadi kaishakunin.

Seppuku dalam Zaman Edo dan Sejarahnya

Pada abad ke-19, khususnya pada Zaman Edo (1600–1867), seppuku semakin terstruktur dan sering dilakukan di depan penonton, terutama jika ritual ini direncanakan dan bukan dilakukan di medan perang.

Selama periode ini, seppuku sering digunakan sebagai alat hukum bagi para samurai yang melanggar aturan atau dianggap telah gagal dalam tugasnya.

Seppuku pertama kali dilakukan oleh Minamoto no Yorimasa dalam Pertempuran Uji pada tahun 1180. Sejak saat itu, tradisi ini menjadi bagian integral dari Bushido, kode etik samurai.

Samurai yang berada dalam posisi tersudut sering kali memilih seppuku untuk menghindari rasa malu karena ditangkap oleh musuh. Ritual ini tidak hanya menghentikan penderitaan, tetapi juga menjaga kehormatan keluarga dan klannya.

Dalam sejarah militer Jepang, seppuku juga kadang digunakan sebagai bagian dari kesepakatan damai antara klan yang berperang. Seorang daimyo yang kalah mungkin akan memerintahkan para samurainya untuk melakukan seppuku sebagai bentuk pengakuan atas kekalahan dan untuk menghentikan perlawanan.

Seppuku Bagi Wanita: Jigaki

Tidak hanya pria, wanita dari keluarga samurai juga memiliki tradisi bunuh diri yang dikenal sebagai jigaki. Wanita, terutama istri dari samurai yang melakukan seppuku atau yang ingin menghindari penangkapan musuh, melakukan jigaki dengan memotong arteri leher menggunakan pisau pendek seperti tanto atau kaiken.

Tujuannya adalah untuk mencapai kematian yang cepat dan menghindari rasa malu. Wanita samurai sering diajari jigaki sejak usia muda sebagai persiapan untuk menjaga kehormatan keluarga mereka.

Sebelum melakukan jigaki, wanita sering mengikat lutut mereka agar tubuh mereka ditemukan dalam posisi yang bermartabat. Ritual ini sering digambarkan dalam literatur dan film Jepang sebagai simbol kehormatan dan pengorbanan. Seperti dalam “Humanity and Paper Balloons” dan “Rashomon”.

Seppuku merupakan salah satu tradisi bunuh diri paling terkenal dalam sejarah Jepang, yang erat kaitannya dengan martabat, kehormatan, dan pengorbanan diri. Meskipun penuh dengan penderitaan, seppuku bagi samurai adalah bentuk kematian yang terhormat dan mulia.

Hingga saat ini, seppuku tetap menjadi salah satu simbol budaya dan nilai-nilai Bushido yang melekat kuat dalam sejarah Jepang. [UN]

Peringatan: Artikel ini tidak bertujuan untuk menginspirasi tindakan bunuh diri.