Seperempat Produk Undang-Undang Era Reformasi Bertentangan dengan Pancasila

Sulindomedia – Sejak reformasi digulirkan, Pancasila tidak lagi dikenalkan secara masif kepada masyarakat. Padahal, Pancasila sebagai ideologi sangat penting. “Di universitas, mata kuliah ideologi saja tidak diajarkan. Ini sangat memprihatinkan sekali ,” kata Profesor Sudjito, pakar dari Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM)-Yogyakarta dalam diskusi bertajuk “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” di Yogyakarta, Kamis (3/3/2016).

Tak hanya itu, yang lebih memprihatinkan lagi, menurut Sudjito, di tataran  penyelenggra negara banyak pula yang belum sepenuhnya paham dan menguasai ideologi bangsa. “Seharusnya, penyelenggara negara harus tahu dan paham ideologi Pancasila, bukan malah belajar setelah jadi penyelenggara negara. Kalau begini, jelas sangat merugikan negara,” ujar Sudjito.

Akibatnya, lanjut Sudjito, tak mengherankan bila produk undang-undang yang dihasilkan tidak sedikit yang bertentangan dengan Pancasila. “Semestinya, para calon penyelenggara negara sebelum mereka mengemban tugas perlu memahami ideologi Pancasila,” tuturnya lagi.

Kepala PSP UGM Dr Heri Santoso dalam kesempatan itu membeberkan hasil penelitian yang dilakukan lembaganya terkait dengan undang-undang. Hasilnya, dari sebanyak 426 undang-undang yang dihasilkan DPR sepanjang tahun 2008-2011, terdapat 102 undang-undang digugat ke Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, ada sekitar seperempat dari jumlah undang-undang itu yang diperkarakan. “Undang-undang yang diperkarakan di MK tersebut terkait substansi dan prosedur pembuatannya yang bertentangan dengan ideologi Pancasila,” ujar Heri Santoso.

Sementara itu, Guru Besar Filsafat UGM Profesor Kaelan menilai, sejak reformasi digulirkan banyak orang seakan-akan enggan berbicara tentang Pancasila. ”Filosofi Pancasila seolah dikubur oleh bangsanya sendiri,” katanya.

‪Padahal, negara yang sukses di dunia didukung oleh kuatnya filosofi yang dimiliki bangsanya dan dianut oleh warga negaranya. “Filosofi bangsa ini tergerus. Tapi sekali lagi, Pancasila itu bukan lampu Aladin, setiap digosok, lalu ada. Suatu negara harus selalu punya nilai fundamental. Namun, sekarang ini kondisinya serba-tidak jelas,” tutur Kaelan.

Martin Hutabarat, anggota MPR RI yang juga tampil sebagai pembicara, mengakui penguatan Pancasila sebagai sebuah ideologi semakin ditinggalkan pasca-reformasi. Karena itu, Martin sepakat bila Pancasila harus terus disosialisasi. Hanya saja, pengenalan Pancasila ke masyarakat bukanlah tanggung jawab MPR semata.

“Sosialisasi empat pilar sebenarnya bukan tugas MPR, seharusnya tugas MPR lebih ke soal isu strategis terkait kedaulatan. Sosialisasi itu lebih dilakukan oleh eksekutif,” ujar Martin.[YUK/PUR]