Ilustrasi Suasana pameran/YUK

Koran Sulindo – Seni musik di bumi Nusantara ini nyatanya sudah dikenal pada abad X, meski dengan memainkan alat musik yang sangat sederhana dan dipetik, ditabuh atau ditiup tanpa chord yang rumit. Melalui musik seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaan dituangkan. Lewat musik orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan.

Bukti bahwa  kehidupan sehari-hari peradaban manusia abad X tak lepas pula dari dunia hiburan ini bisa dilihat dari relief-relief candi Borobudur. Dan itulah salah satu bagian yang disajikan dalam pameran ‘Terawang Borobudur Abad X’ yang digelar di Jogja Gallery, Yogya, mulai 14 – 26 Maret mendatang.

Penyelenggara pameran – yakni Balai Konservasi Borobudur, Jogja Gallery dan Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 15 – memang sengaja fokus pada abad X. Menurut Kepala Balai Konservasi Borobudur, Marsis Sutopo, karena abad X itu berarti seribu tahun yang lalu dari masa sekarang. “Bagaimana seribu tahun yang lalu nenek moyang kita sudah mampu membangun rancang bangun arsitektur yang luar biasa, penuh makna simbolis yang ditanamkan di dalamnya, yang dapat bertahan sampai sekarang,” ujarnya.

Diakui Marsis, untuk menggambarkan dan mempresentasikan candi Borobudur abad X, seribu tahun yang lalu, tidaklah mudah. Ini karena tidak memiliki data tekstual yang lengkap bagaimana kondisi candi Borobudur pada abad X. Demikian pula tak memiliki foto dan filmnya. “Hanya ada gambaran yang terwujud dalam bentuk relief yang dipahat pada dinding-dinding candi, yang itu ditafsirkan sebagai gambaran dari kondisi kehidupan masyarakat di sekitar candi Borobudur abad X,” kata Marsis.

Marsis kemudian menyatakan, salah satu hal yang menarik dari abad X itu adalah kesenian yang sudah sedemikian maju. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam banyak relief yang menggambarkan kehidupan berkesenian dengan alat musik petik, tiup, pukul ataupun gesek. Mereka memainkan untuk keperluan pertunjukan maupun upacara. Adapun relief-relief yang menunjukkan hal itu, misalnya, relief Karmawibhangga panel 1, 39, 53, 72, 101, 117. Demikian pada relief Lalitavistara dalam panel 1, 52 dan 95. Atau pada relief Jataka Avadana dalam panel 19, 42, 43 b, 46, 70.

Ilustrasi

Ilustrasi: Alat musik di relief Karmawibhangga
Ilustrasi: Alat musik di relief Karmawibhangga

“Mungkin tak banyak orang yang mengira jika ada 45 alat musik yang tergambar jelas dalam relief candi Borobudur. Bagaimana bisa masyarakat Jawa abad itu memiliki alat musik tiup, tabuh, hingga petik,” tambah KMRT Indro Kimpling Suseno,  penyelenggara pameran sekaligus pengelola Jogja Gallery.

Hal yang menarik lagi, menurut Marsis, adalah kegiatan berkesenian yang semakin semarak di sekitar candi Borobudur sekarang ini. Brayat Panangkaran yang dimotori Sucoro, misalnya, sudah menghidupkan kembali berbagai bentuk kesenian tradisional yang sebagian juga merupakan kreasi baru yang bersumber dari relief candi Borobudur.

Demikian pula muncul kreasi pernik-pernik karya seni seperti souvenir, batik dan lain-lain yang bersumber dari candi Borobudur. Bahkan ada miniatur relief terbuat dari abu letusan gunung Merapi tahun 2010.

“Ini sesuatu yang luar biasa. Karya nenek moyang kita seribu tahun lalu masih selalu menginspirasi generasi sekarang yang memang mau mengeksplor dan menggali nilai manfaatnya,” tutur Marsis.

Atas dasar itulah melalui pameran ini Balai Konservasi Borobudur mengajak masyarakat untuk menggali nilai-nilai ajaran leluhur tersebut. Dengan gelaran pameran ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian serta rasa memiliki yang tinggi, sehingga tercipta sebuah atmosfer yang mendukung upaya pelestarian candi Borobudur. [YUK]