suasana pentas tari kemprongan dari Kuningan Jawa Barat (Dok Istimewa)
suasana pentas tari kemprongan dari Kuningan Jawa Barat (Dok Istimewa)

Koran Sulindo – Seni Kemprongan adalah salah satu bentuk kesenian rakyat yang berkembang di daerah Ciawigebang, Sidaraja, dan Luragung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kesenian ini masih lestari dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat hingga saat ini.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Seni Kemprongan tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai bagian dari budaya Suku Sunda maupun Suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh akulturasi budaya yang terjadi di Kuningan, sehingga Seni Kemprongan merupakan perpaduan dari kedua suku tersebut.

Pada awalnya, Seni Kemprongan muncul sebagai sarana hiburan bagi masyarakat setelah seharian bekerja di sawah atau ladang. Mereka mengisi waktu luang dengan pertunjukan yang melibatkan tari dan karawitan sebagai komponen utama.

Seni ini juga sering disebut sebagai “Pesta” atau “Fiesta,” yang berasal dari bahasa Belanda dan berarti bersuka ria. Bentuk tarian yang ditampilkan dalam Seni Kemprongan sangat mirip dengan tayub, dan di wilayah Kuningan, Majalengka, serta Ciamis, tayub juga sering disebut sebagai “Pesta.”

Menurut artikel M. Arik yang dirilis pada platform scrib, istilah “kemprongan” sendiri berasal dari kata “prung,” yang kemudian berubah menjadi “prong” karena bunyi alat musik kendang yang mirip dengan suara “prong” atau “pong.”

Dalam konteks Seni Kemprongan, “sakemprong” atau “sakemprung” merujuk pada satu babak atau satu lagu dalam pertunjukan.

Biasanya, Seni Kemprongan melibatkan 15 pemain, terdiri dari 10 wiyaga (pemusik), empat atau lebih ronggeng (penari), satu pemimpin rombongan, dan satu jawara pencak silat.

Alat musik yang digunakan termasuk dua saron barung, satu penerus, satu bonang barung, satu gambang, rebab, kendang, ketuk, kecrek, serta satu set gong besar dan kecil.

Meski tidak ada catatan pasti mengenai kapan Seni Kemprongan pertama kali muncul atau siapa yang memulainya, beberapa seniman kemprongan yang terkenal pada awal abad ke-19 hingga tahun 1942 antara lain Ny. Arsita, Sasmita Gumor, dan Wiriadi Sastra.

Dalam pertunjukannya, ronggeng akan menampilkan tarian yang sedikit erotis untuk menarik perhatian penonton pria. Setiap ronggeng memberikan “soder” (selendang) kepada penonton pria, dan mereka bersaing untuk mendapatkan selendang tersebut.

Sering kali, terjadi keributan kecil karena persaingan ini, terutama ketika para penonton tidak berbagi pasangan.

Pertunjukan Seni Kemprongan biasanya berlangsung semalam penuh, dimulai sejak malam hari hingga menjelang subuh. Dalam salah satu bagian pertunjukan, seorang jawara muncul di tengah kerumunan dan menari dengan gaya yang menyerupai pencak silat.

Ia kemudian mengambil kendang kecil dan menghentikan pertunjukan secara tiba-tiba. Kendang tersebut baru dikembalikan setelah pimpinan rombongan memberikan sejumlah uang kepada sang jawara, yang menandakan akhir dari pertunjukan.

Seni Kemprongan juga berfungsi sebagai ajang mencari jodoh bagi para ronggeng. Setiap ronggeng menggunakan gerakan tarian yang memikat, seperti melenggak-lenggokkan pinggang, menggerakkan tangan, dan leher dengan gemulai, sambil memberikan soder kepada penonton pria. Tarian ini mengandung unsur-unsur tari rakyat yang mirip dengan jaipong dan ketuk tilu.

Dari segi kostum, para wiyaga biasanya mengenakan pakaian tradisional Sunda seperti kampret dan iket kepala, sementara ronggeng mengenakan kemben apok plat kuning.

Jawara, di sisi lain, mengenakan kampret, celana kampret, celana pangsi berwarna-warni, selendang sarung, dan membawa golok di pinggangnya. Untuk properti, penari ronggeng biasanya membawa wiyaga dufa dan soder atau selendang, sedangkan gamelan yang digunakan berlaras slendro.

Tata rias untuk ronggeng biasanya sederhana, memberikan kesan wanita dewasa dengan rambut yang disanggul dan dihiasi aksesoris. Pertunjukan dilakukan di lapangan terbuka yang diterangi oleh oncor (obor), memberikan suasana tradisional yang kuat.

Seni Kemprongan bukan hanya sebuah hiburan, tetapi juga merupakan manifestasi rasa syukur masyarakat setelah panen selesai, sekaligus sarana untuk mempererat ikatan sosial dalam komunitas petani di daerah tersebut. [UN]