Setiap bulan Juli, dunia memperingati sebuah peristiwa yang menjadi fondasi gerakan hak-hak perempuan di Amerika Serikat. Tepatnya pada 19 – 20 Juli 1848, sebuah konvensi bersejarah digelar di Seneca Falls, New York. Bukan sekadar pertemuan, konvensi ini menandai awal dari perjuangan panjang perempuan Amerika dalam meraih kesetaraan hak terutama hak untuk memilih dalam pemilu.
Konvensi Seneca Falls bukan lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari akar gerakan abolisionis yang lebih dahulu menyerukan pembebasan budak, dan berkembang menjadi upaya yang lebih luas dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin.
Lebih dari satu setengah abad kemudian, gema perjuangan itu masih terasa hingga kini, sebuah pengingat bahwa perubahan besar kerap dimulai dari ruang tamu yang sederhana dan suara-suara yang semula tak terdengar.
Konvensi ini berlangsung di bagian utara negara bagian New York, wilayah yang dikenal sebagai pusat aktivitas gerakan abolisionis atau anti-perbudakan pada awal abad ke-19. Tidak mengherankan jika dari wilayah ini pula lahir dorongan yang kuat untuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Konvensi Seneca Falls digagas oleh lima perempuan: Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Coffin Mott, Martha Coffin Wright, Mary Ann McClintock, dan Jane Hunt.
Semuanya berangkat dari pengalaman pribadi tentang keterbatasan peran dan hak perempuan dalam kehidupan sosial, sipil, dan keagamaan. Dalam sebuah pertemuan santai sambil minum teh, ide besar itu lahir: mengadakan konvensi publik yang membahas kondisi perempuan di Amerika.
Mereka kemudian mengiklankan agenda tersebut di surat kabar lokal. Stanton bersama Elizabeth McClintock menyusun dokumen penting yang kelak dikenal sebagai Deklarasi Sentimen. Dokumen ini ditulis selama delapan hari di meja ruang tamu milik McClintock, sebuah benda bersejarah yang kini menjadi koleksi Smithsonian American Women’s History Museum.
Deklarasi Sentimen ditulis dengan gaya yang meniru Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Namun alih-alih menentang kekuasaan Inggris, dokumen ini mengecam ketidakadilan sistemik terhadap perempuan oleh struktur sosial yang didominasi laki-laki.
Deklarasi ini mencantumkan enam belas tuntutan, termasuk hak atas pendidikan, kepemilikan properti, serta hak untuk memilih. Sekitar 300 orang, termasuk laki-laki, menghadiri konvensi tersebut. Dari semua tuntutan, hak pilih perempuan memicu perdebatan paling tajam. Meski sempat ditentang, tuntutan ini akhirnya disepakati.
Peran Frederick Douglass dan Mitos Seputar Susan B. Anthony
Salah satu tokoh penting yang hadir dalam konvensi adalah Frederick Douglass, mantan budak yang juga dikenal sebagai orator dan aktivis abolisionis. Douglass menyuarakan dukungan terhadap hak pilih perempuan dan menjadi satu dari 32 pria yang menandatangani Deklarasi Sentimen.
Sementara itu, anggapan bahwa Susan B. Anthony turut hadir dalam konvensi adalah keliru. Stanton dan Anthony baru bertemu pada tahun 1851, tiga tahun setelah konvensi berlangsung. Keduanya kemudian menjadi sekutu dalam memperjuangkan hak pilih perempuan, meski perjalanan mereka tidak selalu mulus.
Tahun 1866, Stanton dan Anthony bersama Douglass mendirikan American Equal Rights Association (AERA), organisasi yang memperjuangkan hak pilih tanpa memandang ras atau gender.
Namun ketika AERA mendukung Amandemen ke-15 yang memberi hak pilih kepada laki-laki kulit hitam tetapi tidak mencakup perempuan, Stanton dan Anthony menarik diri.
Keduanya kemudian membentuk National Woman Suffrage Association (NWSA) pada Mei 1869, yang memperjuangkan hak pilih khusus untuk perempuan kulit putih. Pendekatan eksklusif ini menjadi noda dalam warisan mereka.
Tak lama kemudian, organisasi tandingan American Woman Suffrage Association (AWSA) didirikan oleh Lucy Stone, yang lebih inklusif terhadap semua ras dan gender.
Selama dua dekade, NWSA dan AWSA bersaing dalam strategi federal vs. negara bagian, hingga akhirnya bergabung pada tahun 1890 menjadi National American Woman Suffrage Association (NAWSA).
Kemenangan yang Tak Merata
Perjuangan panjang itu membuahkan hasil ketika Amandemen ke-19 Konstitusi AS disahkan pada tahun 1919, dan diratifikasi oleh 36 negara bagian pada tahun 1920. Amandemen ini secara resmi melarang diskriminasi hak pilih berdasarkan jenis kelamin.
Namun kemenangan ini tidak sepenuhnya inklusif. Perempuan kulit putih mendapatkan hak pilih secara penuh, sementara perempuan dari komunitas kulit hitam, Latin, Asia-Amerika, dan penduduk asli Amerika masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari tes literasi hingga pajak pemungutan suara.
Baru pada tahun 1965, melalui Undang-Undang Hak Pilih (Voting Rights Act), diskriminasi rasial dalam pemilihan umum secara resmi dilarang.
Setelah Amandemen ke-19 diratifikasi, Carrie Chapman Catt, presiden NAWSA, mendirikan League of Women Voters. Organisasi ini terus mendorong perempuan untuk menggunakan hak pilih mereka dan aktif dalam proses politik hingga saat ini.
Sementara itu, meja tempat ditulisnya Deklarasi Sentimen menjadi simbol penting dalam sejarah Amerika, didonasikan oleh NAWSA ke Smithsonian. Simbol ini memperkuat posisi Konvensi Seneca Falls sebagai batu penjuru dalam narasi sejarah hak perempuan di Amerika. [UN]
Sumber: Smithsonian American Women’s History Museum