Seminar Sejarah Nasional I berlangsung pada 14-18 Desember 1957 di Yogyakarta. Acara ini merupakan hasil inisiatif dari upaya pemerintah yang dimulai sejak 1951 dengan pembentukan Panitia Sejarah Nasional.
Panitia yang terdiri dari sejarawan Indonesia dan Belanda ini bertugas merancang pembelajaran sejarah untuk membentuk warga negara yang baik serta menumbuhkan rasa cinta dan setia pada negara, serta menyusun buku sejarah untuk proses pembelajaran (Soedjatmoko, 2007: xi).
Namun, Panitia Sejarah Nasional gagal menunaikan tugasnya. Publikasi buku sejarah meningkat, tetapi kualitasnya tidak mendukung semangat kebangsaan dan tidak memenuhi persyaratan ilmiah.
Situasi ini mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendukung penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional I, bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia.
Seminar ini bertujuan membahas dua isu penting: kepentingan nasional dalam menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa, serta tuntutan studi sejarah yang ilmiah (Ali, 2007: 2).
Topik dan Pemakalah
Seminar ini diikuti oleh 11 pemakalah dari berbagai latar belakang ilmu dan profesi, dengan enam pokok bahasan utama:
1. Konsep Filsafat Sejarah Nasional : Soedjatmoko dan Prof. Mr. M. Yamin.
2. Periodisasi Sejarah Indonesia : Prof. Dr. Mr. Soekanto dan Dr. Sartono Kartodirdjo.
3. Syarat Mengarang Kitab Sejarah Nasional : Soebantardjo dan Moh. Ali.
4. Pengajaran Sejarah Nasional di Sekolah : Padmopoespito dan Soeroto.
5. Pendidikan Ahli Sejarah : O. Notohamidjojo dan M.D. Mansoer.
6. Pemeliharaan dan Penggunaan Bahan Sejarah : Soetjipto Wirjosuparto, Drs. R. Soekmono, dan A.K. Pringgodigdo.
Peserta seminar mencakup sejarawan, akademisi dari disiplin lain, perwira militer, tokoh politik, dan masyarakat (Laporan Seminar Sejarah, 1958).
Dimensi Politis dan Ilmiah
Dimensi politis seminar terlihat dari topik-topik yang menekankan pentingnya sejarah dalam pembentukan kepribadian bangsa dan sistem pendidikan nasional.
Sedangkan dimensi ilmiah terlihat dalam topik tentang kajian dan pengajaran sejarah, serta pemeliharaan dan penggunaan bahan sejarah.
Dinamika Diskusi dan Hasil Seminar
Seminar ini mencatat berbagai pemahaman dan pemikiran dinamis dari pemakalah dan peserta tentang sejarah, pendidikan, dan penulisan buku sejarah Indonesia.
Salah satu diskusi menonjol adalah tentang kemungkinan penyusunan filsafat Sejarah Nasional, dengan perdebatan antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko mengenai pemanfaatannya dalam pendidikan sejarah dan penumbuhkembangan semangat nasionalisme (Klooster, 1985).
Namun, seminar ini juga menghadapi kendala. Diskusi tidak selalu mendorong terciptanya sistem pelajaran sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan, dan seringkali topik-topik tidak dipahami sebagai satu kesatuan komprehensif.
Hal ini menyebabkan pendapat yang simpang siur mengenai penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia (Ali, 2007).
Penilaian dan Pengaruh Jangka Panjang
Soedjatmoko menilai seminar ini tidak mencapai kesimpulan tegas, namun menyadari pentingnya penelitian baru dan penilaian kembali bahan-bahan sejarah untuk menulis sejarah Indonesia yang baru (Soedjatmoko, 2007).
Meskipun ada kekurangan, Seminar Sejarah Nasional I menandai perkembangan historiografi Indonesia modern, dengan penulisan sejarah mulai dilakukan oleh orang Indonesia sendiri menggunakan sistem indonesiasentries.
Sartono Kartodirdjo menyebut tahun pelaksanaan seminar sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru (Kartodirdjo, 1975).
Warisan Seminar
Seminar Sejarah 1957 menjadi “mercusuar” yang menunjukkan arah menuju historiografi nasional, merekonstruksi sejarah dari dalam, dan mengungkapkan pengalaman bersama bangsa Indonesia.
Tanggal 14 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Sejarah Nasional, menandai pentingnya seminar ini dalam perkembangan sejarah dan pendidikan sejarah di Indonesia. [UN]