Semaun di Zaman yang Bergerak

Semaun (kiri) dan Darsono/ Suara Merdeka - 5 Februari 1955

Kemunculan anak muda itu benar-benar mengusik dominasi Tjokroaminoto di Serikat Islam (SI). Bersama SI, Tjokro terlanjur lekat dengan julukannya: Raja Jawa Tanpa Mahkota. Anak muda itu berkampanye menentang Indie Weerbaar dan partisipasi SI di Volksraad. Bagi Tjokro ini jelas menjengkelkan. Dia naik pitam karena kepemimpinannya di organisasi itu juga dikritik.

Volksraad yang terhormat itu diolok-oloknya sebagai ‘omong kosong’ dan ‘komedi’. Lembaga itu diejeknya sebagai ‘kipas pendingin’ dan tak bakalan sanggup menyentuh kepentingan rakyat.

Tentu ia bukan anak muda biasa hingga berani menentang Tjokro. Ia adalah Semaun, Ketua SI Semarang salah satu cabang SI paling kuat dan militan. Saat melancarkan kritik pedas itu, usianya baru 18 tahun. Separuh umur Tjokro.

Soal Volksraad, Semaun bukan asal mengkritik. Dari 39 anggota, hanya 19 orang dipilih oleh dewan lokal (10  Indonesia dan 9 Eropa dan Timur Asing) dan 19 anggota diangkat (5 Indonesia, 14 Eropa dan Timur Asing). Praktis hanya ada 15 orang Indonesia di Volksraad.

Menurut Semaun, tak satupun anggota parlemen bikinan Belanda itu mewakili kaum kromo. Mayoritas hanya mewakili gouverneument, kapitalis, ningrat, atau boneka Belanda. Itulah mengapa Semaun menyebut Volksraad sebagai ‘omong-kosong’, komedi. “Wakil rakyat tak suka jadi wayang dalam tonil Volksraad.”

Olok-olok sebagai komedi itu populer di kalangan kaum muda pergerakan, bukan cuma karena nadanya yang militan. Golongan muda menolak Indie Weerbaar karena merekalah yang pertama kali bakal merasakan dampaknya. Volksraad dan Indie Weerbaar adalah isu utama SI, Indie Weerbaar dihidupkan untuk mendesak pembentukan Volksraad. Tjokro jengkel dengan kampanye itu karena tepat setahun sebelumnya, Kongres CSI Pertama di Bandung jelas-jelas menjanjikan “akan bekerja demi kemajuan rakyat Hindia di bawah dan bersama pemerintah Hindia Belanda.”

Takashi Shiraishi di buku “Zaman Bergerak” menulis, khawatir ditinggal golongan muda SI, kritik Semaun itu membuat Tjokro mengubah nada bicara menjadi lebih militan. Pada Kongres CSI ke-2 pada 1917 di Batavia Tjokro berpidato, “…Pemerintahan sendiri suatu saat harus ada di Hindia, harus melibatkan partisipasi yang sama seperti pemerintahan sendiri di negeri-negeri Eropa. Tak boleh ada komedi. Orientasi Staaten Generaal di Belanda sesungguhnya cocok dengan jiwa SI.”

Kata ‘komedi’ itu jelas dicomot Tjokro dari kritik Semaun. Pidato Tjokro itu paradoks, karena Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru saja menunjuk Tjokro sebagai anggota Volksraad.

Baca juga Kelompok Ronda, Cikal Bakal Sarekat Islam

Di sisi lain, nada militan saja tak cukup menjamin kelangsungan dominasi Tjokro di CSI. Semaun terus mengganggu supremasinya dengan memimpin serangkaian aksi mogok. Ia mendapat dukungan dari sahabatnya di Surabaya dulu, Marco Kartodikromo. Mereka membangun pusat terhadap SI-SI lokal di sekitar Semarang yang pro-Tjokro seperti Demak, Kudus dan Kendal.

Kepemimpinan Semaun di SI Semarang menandai perubahan gerakan kaum menengah menjadi gerakan buruh-tani. SI Semarang lebih sering menggarap isu-isu rakyat banyak, kaum buruh dan petani. Seperti dicatat Sok Hok Gie dalam buku “Di Bawah Lentera Merah” ada lima isu utama yang digarap SI Semarang. Kelima isu itu adalah, membela kaum tani dari kapitalis perkebunan yang rakus. Kedua, menolak pembentukan milisi Bumiputra, melawan wabah pes, pembelaan pada Sneevliet yang diancam delik pers serta memperjuangkan nasib buruh.

SI Semarang

Lantas siapa Semaun? Ia lahir dari keluarga buruh kereta api di Mojokerto pada 1899. Dibesarkan pada zaman Politik Etis memungkinkan Semaun menikmati pendidikan dasar Barat seperti Tweede Klas dan melanjutkan ke Hollands Inlandsche School atau HIS.

Karena ketiadaan biaya pada 1912, Semaun memilih bekerja pada perusahaan kereta api negara di Surabaya sebagai juru tulis rendahan. Usianya masih sangat belia, baru 13 tahun dan sudah menjadi agitator buruh kereta api di tempatnya bekerja.

Setahun menjadi juru tulis, Semaun bergabung dengan SI Surabaya dan segera tampil menonjol hingga akhirnya ditunjuk sebagai sekretaris. Selama di SI Surabaya, Semaun merupakan pengikut utama Tjokroaminoto, bersama Darsono dan Alimin. Mereka termasuk Soekarno dan Kartosuwiryo pernah indekos di rumah Tjokro sekaligus menjadi murid-muridnya. Semaun menempuh haluan berbeda ketika bertemu Sneevliet pada 1915. Ia begitu terkesan dengan teman Belandanya itu dan menganggap Sneevliet memiliki sikap manusiawi yang tulus terbebas dari mentalitas kolonial. Pertemuan itu membawa Semaun berkenalan dengan ide-ide marxisme dan bergabung dengan Indische Sociaal Democratiche Vereniging (ISDV) dan Vereniging Spoor-Traamweg Personeel (VSTP).

Meski ISDV dan VSTP didominasi orang-orang Eropa dan Indo, Semaun melihat kedua organisasi ini sangat berkomitmen membela nasib kaum buruh pribumi. Setahun sejak pertemuan dengan Sneevliet, Semaun ditunjuk sebagai sekretaris ISDV dan menjadi pemimpin VSTV Surabaya. Dari Sneevliet, Semaun juga belajar berbicara, membaca dan menulis bahasa Belanda. Selain kecerdasannya, hubungan dekat dengan Sneevliet menjadi faktor utama Semaun menempati posisi penting di ISDV dan VSTP.

Ketika ia harus pindah ke Semarang pada 1916, Semaun resmi menjadi propagandis VSTP yang digaji penuh. Ia juga menjadi propagandis dan komisaris SI Semarang sekaligus menjadi editor koran berbahasa Melayu milik VSTV dan pemimpin redaksi Sinar Djawa milik SI Semarang. Berdasarkan perjalanan kariernya itu, Semaun mewakili jenis pemimpin pergerakan yang sama sekali baru. Selain masih sangat muda, ia bukan jurnalis atau priyayi seperti kebanyakan pemimpin pergerakan waktu itu. Ia belajar marxisme dan cara mengorganisir serikat sekaligus memimpin pemogokan dari Sneevliet, aktivis partai dan propagandis serikat buruh profesional.

Dibanding generasi yang lebih tua, gagasannya jauh lebih terus terang, keras, dan revolusioner. Semaun juga dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas dan memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh menyerang kebijakan kolonial. Pada usia 18 tahun, Semaun dipilih sebagai ketua SI Semarang menggantikan Mohammad Joesoef.

Radikalisasi ISDV

Sebelum dipimpin Semaun SI Semarang dikenal sebagai organisasi yang lembek. Menarik, karena yang menuduhnya adalah Insulinde, organisasi yang juga dianggap lembek.

Di bawah kepemimpinan Semaun, SI Semarang bergeser ke arah sosialis revolusioner. SI juga meluas dengan cepat dari hanya 1.700 orang pada 1916 menjadi 20 ribu pada tahun berikutnya. Ia sukses memimpin serangkaian aksi mogok di Semarang. Kali pertama aksi pemogokan dilakukan di pabrik perabotan kayu yang mengerjakan 300 orang buruh. Aksi itu sekaligus menjadi model mengorganisir serikat buruh dan pemogokan. Tak lama setelah kesuksesan itu, SI Semarang kembali menggelar dua aksi mogok buruh cetak dan pemogokan buruh mesin jahit Singer. Aksi serupa juga dilakukan buruh bengkel mobil, buruh transportasi kapal uap dan perahu.

Dari Semarang, pemogokan-pemogokan itu menyebar ke Batavia, Surabaya, Bandung dan kota-kota lain. Mereka melihat SI Semarang sebagai pemimpin dan menjadi salah satu pusat gerakan di Hindia Belanda. Semarang menjadi kutub baru pergerakan sekaligus mengancam hegemoni Tjokro dan kaum-kaum konservatif di CSI.

Baca juga Islamnya Soekarno

Peluang melakukan serangan balik baru terbuka ketika Martodharsono menerbitkan artikel kontroversial di Djawi Hiswara yang ditulis Djojodikoro. Dalam tulisan bertajuk Percakapan Antara Marto dan Djojo itu Djojodikoro menulis, “Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum A.V.H gin, minum opium….”

Artikel itu memberikan kesempatan emas kepada Tjokroaminoto untuk melakukan tiga hal. Pertama, Tjokro menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempedulikan umat Islam. Kedua, menghimpun saudagar-saudagar Arab dan santri untuk mengumpulkan uang. Dan ketiga, mengerakkan SI-SI lokal yang terbengkalai dan menyatukannya di bawah kepemimpinannya dalam semangat Islam untuk menyerang musuh-musuh lamanya. Tjokro membentuk Komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TNKM) sekaligus menjabat sebagai ketua. Itu adalah kali pertama di era pergerakan kaum putihan mengarahkan militansi politiknya untuk melawan kaum abangan.

Tjokro sukses membangkitkan SI lokal yang “mati suri” di bawah kepemimpinan subkomite-subkomite TNKM. Di sisi lain, ia juga memanfaatkan gelombang kemarahan itu untuk membangun gerakan serikat buruh dan mengambil alih inisatif kepemimpinan dari SI Semarang. Belakangan, dalam Kongres CSI ke-3 pada 1918, Tjokro berkompromi dengan menyetujui Semaun dan Darsono sebagai komisaris dan propagandis CSI. Ini kemenangan besar bagi ISDV dan SI Semarang.

Bertemu Lenin

Perhatian utama Semaun dalam gerakan buruh adalah persatuan. Ia bersikeras mewujudkan ide itu. Pada bulan Desember 1919, atas nama SI Semarang ia mendorong pembentukan wadah bersama Revolusionere Socialistisct Vakcentrale. Meski idenya diterima, nama itu langsung ditolak oleh tokoh-tokoh SI konservatif, seperti Soerjopranoto dan Haji Agus. Lahirlah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang menghimpun 22 serikat dengan 72 ribu anggota. Tiga serikat utama PPKB adalah Serikat Buruh Pabrik (PFB, 32 ribu anggota), Serikat Pegawai Kereta dan Trem (11 ribu anggota) dan Serikat Pegawai Pegadian (5.500). Semaun menjadi pemimpin federasi ini.

Selain transformasi SI Semarang yang menjadi semakin merah, ISDV juga mengalami transformasi serupa. Sejak 1918, organisasi ini memilih bertambah radikal dan revolusioner. Mereka yang moderat mulai meninggalkan partai ini, termasuk orang-orang Eropa. Di sisi lain, makin banyak orang-orang pribumi yang bergabung. Selain mengalami radikalisasi, ISDV juga mengalami ‘Indonesianisasi’.

Kongres Istimewa yang digelar ISDV pada Mei 1920 akhirnya menyepakati perubahan nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Kongres juga mengangkat Semaun dan Darsono sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Tujuh bulan kemudian perserikatan berganti nama kembali menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama Semaun, PKI adalah partai komunis di Asia yang pertama menjadi bagian dari Komunis Internasional. PKI  juga mengirim Henk Sneevliet pada kongres kedua Komunis Internasional tahun 1921.

Tahun-tahun pertama kepemimpinan di Semarang, Semaun harus menghadapi dua kondisi yang tidak menguntungkan. Keduanya adalah ‘masa reaksi’ dari pemerintah kolonial, dan meningkatnya perselisihan antara SI Semarang/PKI dengan SI putih. Perpecahan itu diperburuk oleh serangan pribadi Darsono kepada pimpinan SI, termasuk Brotosoehardjo dan Tjokroaminoto. Kondisi itu dipakai sayap konservatif SI menerapkan disiplin partai untuk menendang sayap kiri keluar. Semaun menolak ide ini dan serius menyerukan persatuan untuk mengakhiri perpecahan itu.

Kebijakan Semaun itu didukung penggantinya, Tan Malaka. Ia menganggap perpecahan itu tidak perlu terjadi hanya karena kritik ceroboh pada kepemimpinan SI. Semaun dan Tan Malaka membayangkan kerja sama semua faksi melawan imperialisme seperti Kongres Nasional di India. Bulan Oktober 1921, Semaun berangkat ke Rusia sebagai delegasi PKI dalam Kongres Pertama Rakyat Pekerja Timur Jauh dan Sidang Sidang Pleno Diperluas Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Banyak yang menduga, penunjukannya ke Rusia itu merupakan upaya mengembalikan Semaun ke jalan yang benar: Jalan Bolshevik.

Kepada Ruth McVey, Semaun menyebut hal di luar dugaan justru terjadi pada acara itu. Sidang Pleno di Moskow itu Lenin hadir, dan Semaun ditemui secara langsung. Lenin diberitahu bahwa Semaun mewakili komunis dari Hindia Belanda dan mendatanginya. McVey menyebut dalam kesempatan itu Semaun berdiskusi dengan Lenin soal-soal gerakan revolusioner khususnya di negara jajahan termasuk di Hindia-Belanda. Kepada Semaun, Lenin mengatakan tak semua revolusi harus meniru pola di Rusia. Taktik itu tak bisa ditiru begitu saja oleh partai-partai di Asia karena kondisi yang berbeda.

Baca juga China Meninggalkan Komunisme?

Pada kesempatan itu Semaun juga meminta maaf kepada Lenin, karena kecilnya partai komunis di Indonesia dan minimnya pemahaman marxisme. Lenin membesarkan hati Semaun dengan menjawab yang terpenting adalah menyatukan masyarakat melawan imperialisme. Bagi Semaun, penjelasan Lenin ini menguatkan teori dan strategi Semaun sebelumnya. Semaun kembali ke Indonesia Mei 1922 dan menceritakan pengalaman dan penjelasan langsung Lenin itu kepada kaum pekerja di Semarang. Sayang, sepeninggal Semaun, VSTP tengah mengalami kemunduran. Anggotanya, anjlok dari 16.975 orang  Oktober 1921 menjadi hanya 7.731 orang pada Mei 1922.

Memulihkan kekuatan VSTP, Semaun menggelar tur keliling Jawa untuk mengkonsolidasikan kembali VSTP. Tak sia-sia, dalam beberapa bulan saja VSTP berhasil dikonsolidasikan. Semaun tertolong ancaman depresei ekonomi dan program rasionalisasi Gubernur Jenderal Dirk Fock yang memicu menguatnya gerakan buruh.

Dibuang

Di sisi lain, perpecahan SI Semarang/PKI dan CSI bertambah tajam pada 1923. Kongres CSI di Madiun pada tahun itu jelas-jelas menutup kerja sama. Mengimbangi manuver itu, PKI/SI Semarang juga menggelar kongres di Bandung. Tak lama setelah kongres, negosiasi antara VSTP dengan pemerintah dan perusahaan swasta kereta api buntu. VSTP terdesak pada pilihan sulit untuk menyiapkan pemogokan umum pada tanggal 9 Mei 1923. Itu yang diserukan Semaun kepada semua cabang VSTP.

Hanya sehari sebelum pemogokan, pemerintah menangkap Semaun. Ia dituduh sebagai ‘penghasut’ pemogokan. Pemogokan VSTP tak terpengaruh dan melibatkan puluhan ribu buruh di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon.  Pemerintah merespons pemogokan itu dengan langkah keras berupa pemecatan masal dan mengirim tentara. Hingga akhirnya VSTP menghentikan pemogokan tanggal 22 Mei, serikat buruh itu benar-benar kalah total. Anggotanya menyusut dari 13 ribu buruh menjadi hanya 1.000 orang setelah pemogokan.

Semaun dibuang ke Belanda pada 18 Agustus 1923 menggunakan kapal S.S. Koningin der Nederlanden. Ia baru berumur 24 tahun. Hidup di pembuangan tak membuat aktivitas politik Semaun berhenti. Di Belanda ia aktif sebagai ECCI dan mendraf seluruh statuta untuk semua seksi Internasionale Ke-3. Di ECCI, bersama Tan Malaka, Darsono dan Alimin suara Semaun yang mewakili wilayah timur tak pernah di gubris Dewan Komitern.  Mereka lebih tertarik membuat merah Eropa dibanding membantu negara-negara Asia seperti India atau Indonesia yang menjadi corong pergerakan di kawasannya.

Semaun juga kembali menggalang menggalang perlawanan termasuk dengan menghimpun pelaut-pelaut Indonesia dalam Serikat Pegawai Laut Indonesia atau SPLI. Dia menerbitkan Pandoe Merah sebagai koran propaganda SPLI. Semaun juga berkomunikasi dengan Perhimpunan Indonesi (PI) di Belanda. Di sana ia bertemu Hatta setelah kegagalan pemberontakan nasional pertama yang dipimpin PKI pada 1926. Semaun membuat kesepakatan kontroversial yang dikenal sebagai Konvensi 4 Pasal atau Concept Overrnkomst Semaoen-Hatta.

Kepada Hatta, Semaun menyerahkan pimpinan pergerakan rakyat Hindia Belanda kepada kaum nasionalis yang belajar di Belanda. Belakangan, konvensi ini merugikan kedua belah pihak.

Hatta ditangkap Pemerintah Belanda atas tuduhan membangun organisasi terlarang, dan baru dilepas melalui proses peradilan. Kala itu, Belanda dihinggapi ketakutan komunis dan menganggapnya sebagai bahaya subversif. Mereka khawatir mahasiswa asal Indonesia itu digunakan Moskow sebagai pionir komunisme di negeri itu.

Bagi Semaun, konvensi itu juga memicu kemarahan Stalin yang menganggap gerakan komunis berada di bawah gerakan nasionalis. Semaun diperintahkan membatalkan konvensi itu di hadapan pers internasional. Perintah itu dituruti Semaun. Ia lalu menurut ketika ‘dibuang’ ke Semenanjung Krim. Semaun bukannya tak ingin pulang ke Indonesia. Tahun 1943, saat mencoba kembali ke Indonesia ia ditangkap di Teheran, Iran. Semaun ditangkap kontra-spionase Inggris dan diserahkan ke perwakilan tentara Soviet. Ia kembali ke Moskow.

Selama masa pengasingannya di Uni Soviet lebih dari 30 tahun itu, Semaun tetap menjadi aktivis meski dalam aksi-aksi terbatas. Ia sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu. Semaun juga sempat bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia di radio Moskow. Puncak ‘karier’ datang ketika Stalin mengangkatnya menjadi pimpinan Badan Perancang Negara di Tajikistan dengan jabatan Wakil III Perdana Menteri.

Kembali Ke Tanah Air

Harapan pulang ke Indonesia kembali terbuka setelah kunjungan Presiden Soekarno ke Uni Soviet. Ia meminta bantuan Soekarno agar diizinkan pulang. Soekarno setuju dan membahas permintaan itu ke pimpinan Partai Komunis Uni Soviet. Permintaan itu dikabulkan.

Semaun kembali ke Indonesia tahun 1953. Versi lain mengatakan kepulangan Semaun itu atas inisiatif Iwa Kusumantri. Di Indonesia Semaun tak lagi mengenali PKI. Partai itu sudah dibangun kembali oleh D.N. Aidit dan kawan-kawannya di awal dekade 50-an. Partai itu bahkan masuk empat besar dalam Pemilu 1955. Semaun tak lagi mengenali partai yang pernah didirikannya itu.

Baca juga Dini Hari Menjelang Indonesia Merdeka

Soekarno yang sangat antusias dengan kepulangan Semaun itu memberikan jabatan sebagai Wakil Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX. Semaun juga juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam Ilmu Ekonomi di Universitas Padjajaran. Pada tahun 1961, Semaun sempat menulis risalah berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin. Dalam risalah itu Semaun menawarkan ide-ide pembangunan ekonomi terpimpin  dengan mengajukan beberapa hal. Pertama, negara mengadakan undang-undang dan aturan yang membatasi kegiatan sumber-sumber untuk diarahkan pada tujuan tertentu dalam mengembangkan perekonomian nasional. Kedua, mencapai kemenangan dalam perang. Sementara yang ketiga adalah perubahan pemilikan alat produksi untuk selama-lamanya.

Sayangnya, konteks yang kemudian dijelaskan Semaun melenceng. Bukannya membahas poin-poin itu, ia justru menulis, “ekonomi terpimpin yang dimaksud haluan negara RI yang berkepribadian bangsa dan akan diarahakan untuk menjelmakan masyarakat sosialis ala Indonesia.” Pilihan tersebut kabur karena saat itu Indonesia tidak sosialis dan tidak dalam tahapannya. Soekarno merangkul PKI dalam rangka melawan imperialisme, bukan untuk membangun negeri sosialis. Soekarno adalah nasionalis, atau lebih tepatnya ‘nasakomi’.

Bagaimana mungkin Semaun tak mengetahui hal itu. Banyak kalangan menyebut Semaun berubah. Atau, ia hanya ingin menghabiskan masa tuanya berdamai dengan realitas sosial-politik Indonesia. Sempat mengajar ilmu ekonomi di Unpad, Semaun meninggal dunia pada 1971. [TGU]

(Tulisan ini pertama dimuat pada 18 April 2017)