Bertemu Lenin
Perhatian utama Semaun dalam gerakan buruh adalah persatuan. Ia bersikeras mewujudkan ide itu. Pada bulan Desember 1919, atas nama SI Semarang ia mendorong pembentukan wadah bersama Revolusionere Socialistisct Vakcentrale. Meski idenya diterima, nama itu langsung ditolak oleh tokoh-tokoh SI konservatif, seperti Soerjopranoto dan Haji Agus. Lahirlah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang menghimpun 22 serikat dengan 72 ribu anggota. Tiga serikat utama PPKB adalah Serikat Buruh Pabrik (PFB, 32 ribu anggota), Serikat Pegawai Kereta dan Trem (11 ribu anggota) dan Serikat Pegawai Pegadian (5.500). Semaun menjadi pemimpin federasi ini.
Selain transformasi SI Semarang yang menjadi semakin merah, ISDV juga mengalami transformasi serupa. Sejak 1918, organisasi ini memilih bertambah radikal dan revolusioner. Mereka yang moderat mulai meninggalkan partai ini, termasuk orang-orang Eropa. Di sisi lain, makin banyak orang-orang pribumi yang bergabung. Selain mengalami radikalisasi, ISDV juga mengalami ‘Indonesianisasi’.
Kongres Istimewa yang digelar ISDV pada Mei 1920 akhirnya menyepakati perubahan nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Kongres juga mengangkat Semaun dan Darsono sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Tujuh bulan kemudian perserikatan berganti nama kembali menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama Semaun, PKI adalah partai komunis di Asia yang pertama menjadi bagian dari Komunis Internasional. PKI juga mengirim Henk Sneevliet pada kongres kedua Komunis Internasional tahun 1921.
Tahun-tahun pertama kepemimpinan di Semarang, Semaun harus menghadapi dua kondisi yang tidak menguntungkan. Keduanya adalah ‘masa reaksi’ dari pemerintah kolonial, dan meningkatnya perselisihan antara SI Semarang/PKI dengan SI putih. Perpecahan itu diperburuk oleh serangan pribadi Darsono kepada pimpinan SI, termasuk Brotosoehardjo dan Tjokroaminoto. Kondisi itu dipakai sayap konservatif SI menerapkan disiplin partai untuk menendang sayap kiri keluar. Semaun menolak ide ini dan serius menyerukan persatuan untuk mengakhiri perpecahan itu.
Kebijakan Semaun itu didukung penggantinya, Tan Malaka. Ia menganggap perpecahan itu tidak perlu terjadi hanya karena kritik ceroboh pada kepemimpinan SI. Semaun dan Tan Malaka membayangkan kerja sama semua faksi melawan imperialisme seperti Kongres Nasional di India. Bulan Oktober 1921, Semaun berangkat ke Rusia sebagai delegasi PKI dalam Kongres Pertama Rakyat Pekerja Timur Jauh dan Sidang Sidang Pleno Diperluas Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Banyak yang menduga, penunjukannya ke Rusia itu merupakan upaya mengembalikan Semaun ke jalan yang benar: Jalan Bolshevik.
Kepada Ruth McVey, Semaun menyebut hal di luar dugaan justru terjadi pada acara itu. Sidang Pleno di Moskow itu Lenin hadir, dan Semaun ditemui secara langsung. Lenin diberitahu bahwa Semaun mewakili komunis dari Hindia Belanda dan mendatanginya. McVey menyebut dalam kesempatan itu Semaun berdiskusi dengan Lenin soal-soal gerakan revolusioner khususnya di negara jajahan termasuk di Hindia-Belanda. Kepada Semaun, Lenin mengatakan tak semua revolusi harus meniru pola di Rusia. Taktik itu tak bisa ditiru begitu saja oleh partai-partai di Asia karena kondisi yang berbeda.
Baca juga China Meninggalkan Komunisme?
Pada kesempatan itu Semaun juga meminta maaf kepada Lenin, karena kecilnya partai komunis di Indonesia dan minimnya pemahaman marxisme. Lenin membesarkan hati Semaun dengan menjawab yang terpenting adalah menyatukan masyarakat melawan imperialisme. Bagi Semaun, penjelasan Lenin ini menguatkan teori dan strategi Semaun sebelumnya. Semaun kembali ke Indonesia Mei 1922 dan menceritakan pengalaman dan penjelasan langsung Lenin itu kepada kaum pekerja di Semarang. Sayang, sepeninggal Semaun, VSTP tengah mengalami kemunduran. Anggotanya, anjlok dari 16.975 orang Oktober 1921 menjadi hanya 7.731 orang pada Mei 1922.
Memulihkan kekuatan VSTP, Semaun menggelar tur keliling Jawa untuk mengkonsolidasikan kembali VSTP. Tak sia-sia, dalam beberapa bulan saja VSTP berhasil dikonsolidasikan. Semaun tertolong ancaman depresei ekonomi dan program rasionalisasi Gubernur Jenderal Dirk Fock yang memicu menguatnya gerakan buruh.
Dibuang
Di sisi lain, perpecahan SI Semarang/PKI dan CSI bertambah tajam pada 1923. Kongres CSI di Madiun pada tahun itu jelas-jelas menutup kerja sama. Mengimbangi manuver itu, PKI/SI Semarang juga menggelar kongres di Bandung. Tak lama setelah kongres, negosiasi antara VSTP dengan pemerintah dan perusahaan swasta kereta api buntu. VSTP terdesak pada pilihan sulit untuk menyiapkan pemogokan umum pada tanggal 9 Mei 1923. Itu yang diserukan Semaun kepada semua cabang VSTP.
Hanya sehari sebelum pemogokan, pemerintah menangkap Semaun. Ia dituduh sebagai ‘penghasut’ pemogokan. Pemogokan VSTP tak terpengaruh dan melibatkan puluhan ribu buruh di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Pemerintah merespons pemogokan itu dengan langkah keras berupa pemecatan masal dan mengirim tentara. Hingga akhirnya VSTP menghentikan pemogokan tanggal 22 Mei, serikat buruh itu benar-benar kalah total. Anggotanya menyusut dari 13 ribu buruh menjadi hanya 1.000 orang setelah pemogokan.
Semaun dibuang ke Belanda pada 18 Agustus 1923 menggunakan kapal S.S. Koningin der Nederlanden. Ia baru berumur 24 tahun. Hidup di pembuangan tak membuat aktivitas politik Semaun berhenti. Di Belanda ia aktif sebagai ECCI dan mendraf seluruh statuta untuk semua seksi Internasionale Ke-3. Di ECCI, bersama Tan Malaka, Darsono dan Alimin suara Semaun yang mewakili wilayah timur tak pernah di gubris Dewan Komitern. Mereka lebih tertarik membuat merah Eropa dibanding membantu negara-negara Asia seperti India atau Indonesia yang menjadi corong pergerakan di kawasannya.
Semaun juga kembali menggalang menggalang perlawanan termasuk dengan menghimpun pelaut-pelaut Indonesia dalam Serikat Pegawai Laut Indonesia atau SPLI. Dia menerbitkan Pandoe Merah sebagai koran propaganda SPLI. Semaun juga berkomunikasi dengan Perhimpunan Indonesi (PI) di Belanda. Di sana ia bertemu Hatta setelah kegagalan pemberontakan nasional pertama yang dipimpin PKI pada 1926. Semaun membuat kesepakatan kontroversial yang dikenal sebagai Konvensi 4 Pasal atau Concept Overrnkomst Semaoen-Hatta.
Kepada Hatta, Semaun menyerahkan pimpinan pergerakan rakyat Hindia Belanda kepada kaum nasionalis yang belajar di Belanda. Belakangan, konvensi ini merugikan kedua belah pihak.
Hatta ditangkap Pemerintah Belanda atas tuduhan membangun organisasi terlarang, dan baru dilepas melalui proses peradilan. Kala itu, Belanda dihinggapi ketakutan komunis dan menganggapnya sebagai bahaya subversif. Mereka khawatir mahasiswa asal Indonesia itu digunakan Moskow sebagai pionir komunisme di negeri itu.
Bagi Semaun, konvensi itu juga memicu kemarahan Stalin yang menganggap gerakan komunis berada di bawah gerakan nasionalis. Semaun diperintahkan membatalkan konvensi itu di hadapan pers internasional. Perintah itu dituruti Semaun. Ia lalu menurut ketika ‘dibuang’ ke Semenanjung Krim. Semaun bukannya tak ingin pulang ke Indonesia. Tahun 1943, saat mencoba kembali ke Indonesia ia ditangkap di Teheran, Iran. Semaun ditangkap kontra-spionase Inggris dan diserahkan ke perwakilan tentara Soviet. Ia kembali ke Moskow.
Selama masa pengasingannya di Uni Soviet lebih dari 30 tahun itu, Semaun tetap menjadi aktivis meski dalam aksi-aksi terbatas. Ia sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu. Semaun juga sempat bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia di radio Moskow. Puncak ‘karier’ datang ketika Stalin mengangkatnya menjadi pimpinan Badan Perancang Negara di Tajikistan dengan jabatan Wakil III Perdana Menteri.
Kembali Ke Tanah Air
Harapan pulang ke Indonesia kembali terbuka setelah kunjungan Presiden Soekarno ke Uni Soviet. Ia meminta bantuan Soekarno agar diizinkan pulang. Soekarno setuju dan membahas permintaan itu ke pimpinan Partai Komunis Uni Soviet. Permintaan itu dikabulkan.
Semaun kembali ke Indonesia tahun 1953. Versi lain mengatakan kepulangan Semaun itu atas inisiatif Iwa Kusumantri. Di Indonesia Semaun tak lagi mengenali PKI. Partai itu sudah dibangun kembali oleh D.N. Aidit dan kawan-kawannya di awal dekade 50-an. Partai itu bahkan masuk empat besar dalam Pemilu 1955. Semaun tak lagi mengenali partai yang pernah didirikannya itu.
Baca juga Dini Hari Menjelang Indonesia Merdeka
Soekarno yang sangat antusias dengan kepulangan Semaun itu memberikan jabatan sebagai Wakil Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX. Semaun juga juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam Ilmu Ekonomi di Universitas Padjajaran. Pada tahun 1961, Semaun sempat menulis risalah berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin. Dalam risalah itu Semaun menawarkan ide-ide pembangunan ekonomi terpimpin dengan mengajukan beberapa hal. Pertama, negara mengadakan undang-undang dan aturan yang membatasi kegiatan sumber-sumber untuk diarahkan pada tujuan tertentu dalam mengembangkan perekonomian nasional. Kedua, mencapai kemenangan dalam perang. Sementara yang ketiga adalah perubahan pemilikan alat produksi untuk selama-lamanya.
Sayangnya, konteks yang kemudian dijelaskan Semaun melenceng. Bukannya membahas poin-poin itu, ia justru menulis, “ekonomi terpimpin yang dimaksud haluan negara RI yang berkepribadian bangsa dan akan diarahakan untuk menjelmakan masyarakat sosialis ala Indonesia.” Pilihan tersebut kabur karena saat itu Indonesia tidak sosialis dan tidak dalam tahapannya. Soekarno merangkul PKI dalam rangka melawan imperialisme, bukan untuk membangun negeri sosialis. Soekarno adalah nasionalis, atau lebih tepatnya ‘nasakomi’.
Bagaimana mungkin Semaun tak mengetahui hal itu. Banyak kalangan menyebut Semaun berubah. Atau, ia hanya ingin menghabiskan masa tuanya berdamai dengan realitas sosial-politik Indonesia. Sempat mengajar ilmu ekonomi di Unpad, Semaun meninggal dunia pada 1971. [TGU]
(Tulisan ini pertama dimuat pada 18 April 2017)