Koran Sulindo – Cita-cita untuk mewujudkan sila-sila Pancasila semakin jauh dari harapan. Kendati berbagai capaian berhasil dilakukan pemerintahan selepas Reformasi 1998, namun itu tidak mengubah struktur penguasaan ekonomi.
“Memang ada kebebasan berekspresi dan berorganisasi, kemajuan hak asasi manusia individu juga ada. Tapi, pada saat yang sama sulit menjalankan amanat Pancasila dan UUD 1945,” kata ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri dalam sebuah diskusi di Megawati Institut pekan ini.
Didin menuturkan, kendati kekuasaan yang bersifat sentralistik itu sudah dihilangkan melalui otonomi daerah, justru hasilnya menciptakan penguasa-penguasa lokal. Ia menyebut sebagai penguasa feodal baru. Jika pada Orde Baru penguasa feodal bersifat terpusat, kini justru menyebar ke berbagai daerah.
Dalam bidang ekonomi, Didin berpendapat secara hakikat masih sama dengan model Orde Baru. Masih bersifat sentralistik. Ciri-ciri ekonomi yang bersifat sentralistik itu antara lain tercermin dari Undang Undang Perbankan dan Undang Undang Bank Indonesia.
“Ini menghambat untuk mencapai kemandirian ekonomi. Masih mirip struktur ekonomi kolonial,” kata Didin.
Didin juga menyorot soal ketimpangan ekonomi atau rasio gini Indonesia yang masih tinggi. Indeks rasio gini adalah tingkat ketimpangan ekonomi berdasarkan pengeluaran. Dan Badan Pusat Statistik menyebutkan indeks rasio gini berada pada 0,39 dari sebelumnya 0,41.
Guru besar IPB ini mengatakan, penurunan indeks rasio gini itu tidak langsung menyebabkan adanya pemerataan di bidang ekonomi. Apalagi ukurannya lewat konsumsi atau pengeluaran. Jika merujuk pada tingkat pendapatan, justru indeks rasio gini Indonesia disebut Didin sudah melewat batas 0,5.
“Ini pernah terjadi di Pakistan sehingga menyebabkan perpecahan. Bangladesh menjadi negara merdeka. Saya bersyukur Indonesia tidak seperti itu,” katanya.
Tepat dua tahun pemerintahannya, Joko Widodo-Jusuf Kalla merilis berbagai capaian pemerintah yang berdasarkan Nawacita. Pembangunan ekonomi, misalnya, tingkat kemiskinan disebut berhasil ditekan dri 28,51 juta pada Maret 2015 menjadi 28,01 juta pada periode yang sama di 2016.
Sementara tingkat inflasi berada di kisaran 3,07 persen dari tahun ke tahun pada 2016. Ini lebih rendah dibanding September 2015 yang mencapai 6,83 persen. Sementara ketimpangan rasio gini menurun dari 0,408 pada Maret 2015 menjadi 0,397 pada Maret 2016. Pertumbuhan ekonomi semester pertama 2016 masih mencapai 5,04 persen dan lebih tinggi dibanding 2015 pada periode yang sama yang hanya 4,79%. Tingkat pertumbuhan Indonesia ini jauh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global 2,5%.
Akan tetapi, Bank Dunia menyatakan pertumbuhan tersebut hanya dinikmati sekitar 20 persen masyarakat kaya. Lalu, 80 persen masyarakat atau lebih dari 200 juta orang – rawan merasa tertinggal. Ketimpangan melebar. Segelintir orang kaya itu menguasai 50 persen kekayaan dari Sabang sampai Merauke.
Kemudian hasil riset Knight Frank, konsultan properti internasional pada Maret lalu juga mengatakan demikian. Pertumbuhan orang-orang konglomerat melonjak 349 persen dalam satu dekade terakhir. Mereka adalah orang-orang dengan investasi masing-masing sekitar US$ 30 juta. Orang-orang juga dikenal sebagai Ultra High Net Worth Individuals.
Jumlah para taipan yang super kaya itu setidaknya mencapai 1.096 orang dan diperkirakan akan mencapai 2.302 orang pada 2025. Investasinya bermacam-macam, mulai dari rumah mewah, uang, surat utang, koleksi benda seni hingga logam mulia. [KRG]