Citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dinilai sangat buruk terkait dengan kasus pelanggaran hukum juga pelanggaran etik yang menimpa para pimpinan sebelumnya. Ada istilah “tidak mungkin bisa membersihkan kotoran dengan kain pel yang kotor”, seperti itulah kiranya pesimisme terhadap fungsi KPK sebagai lembaga anti rasuah.

Hal itu disadari pula oleh Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango. Ia memahami citra lembaga yang dipimpin kini dalam keadaan terpuruk. Ia menilai salah satu alasannya adalah kasus yang menimpa pemimpin terdahulu.

“Pimpinan berhubungan soal citra lembaga, kami sangat memahami keterpurukan citra lembaga seperti ini karena ada beberapa yang melatarbelakanginya, misalnya case-nya ketua terdahulu,” kata Nawawi saat berbicara dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (1/7).

Ucapan Nawawi itu menunjukkan bahwa para pimpinan KPK saat ini menyadadari ada masalah di pimpinan KPK sehingga muncul skeptisme. Tidak sekedar citra yang dipersoalkan namun juga kinerja KPK sering dipertanyakan. Lemahnya kinerja bisa terlihat dari lambatnya penuntasan kasus korupsi dan peningkatan kasus korupsi. KPK seolah terlihat seperti macan kertas, tidak lagi ditakuti koruptor dan kehilangan kewibawaannya.

Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya Firli Bahuri sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) semakin membenarkan bayaknya persoalan dalam tubuh pimpinan KPK.

Sebelumnya kasus pelanggaran etik menimpa pimpinan KPK lain seperti Nurul Ghufron dan Lili Pintauli. Ghufron dilaporkan ke Dewas KPK karena diduga menggunakan pengaruhnya untuk memutasi pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan) berinisial ADM. Sedangkan Wakil Ketua KPK sebelumnya, Lili Pintauli Siregar, terbukti melakukan pelanggaran etik karena berhubungan dengan pihak yang berperkara di KPK yaitu M Syahrial.

Buruknya kinerja pimpinan KPK berimbas pula kepada bawahan-bawahannya. Awal tahun ini muncul kasus 78 pegawai KPK yang terlibat skandal pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK. Dalam prakteknya para tahanan yang ingin mendapatkan percepatan masa isolasi, layanan menggunakan ponsel dan powerbank, hingga bocoran sidak dimintai sejumlah uang mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 20 juta oleh pegawai KPK.

Berbagai kasus pelanggaran yang menimpa pimpinan KPK terdahulu tentunya bukan semata masalah integritas perorangan. Namun ada kesalahan kolektif sehingga bisa ada personil pimpinan terkena kasus pidana atau etik. Jadi pimpinan KPK saat ini ataupun para pimpinan terdahulu tidak bisa buang badan seolah dirinya bersih karena tidak terbelit kasus. Meski masa jabatan pimpinan saat ini tinggal beberapa purnama lagi namun harus ada keinginan berkaca diri dan berusaha memperbaiki kinerja.

Seleksi pimpinan KPK 2024-2029, adakah harapan perbaikan?

Saat ini proses seleksi pimpinan KPK untuk periode lima tahun kedepan sedang berlangsung. Panitia Seleksi (Pansel) dan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan 236 orang yang lolos seleksi administrasi sebagai capim KPK periode 2024-2029.

Anehnya, masih terdapat sejumlah nama personil lama yang lolos seleksi administrasi, antara lain dua orang pimpinan KPK petahana yakni Nurul Ghufron dan Johanis Tanak. Ada pula Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. Beberapa nama yang pernah bekerja di KPK juga lolos seleksi administrasi, misalnya, eks pimpinan KPK yang kini anggota DPR Johan Budi Sapto Pribowo serta eks direktur KPK Giri Suprapdiono.

Entah apa motivasinya, namun pencalonan orang-orang lama sebagai pimpinan KPK akan menjadi pertanyaan, apakah mereka tidak menjadi bagian kesalahan masa lalu? Pertanyaan lain adalah, apakah ada harapan perbaikan KPK jika posisi pimpinan KPK diisi orang lama. Kembali perlu diingat bahwa ada andil para personil terdahulu dalam rusaknya citra KPK saat ini.

Ada pepatah lama mengatakan “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”. Para mantan punggawa KPK terdahulu juga akan tercatat prestasi dan keburukannya di masa depan. Semestinya ini menjadi pertimbangan apakah masih layak para mantan personil KPK kembali mencalonkan.

Sejumlah pelaku sejarah menilai berbagai warisan Reformasi 1998 mulai luntur. Salah satu yang masih jadi sorotan adalah reputasi KPK sebagai alat pemberantasan KKN. Korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN adalah borok Orde Baru yang membuat rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang 32 tahun lamanya. Semua kekayaan bangsa dijarah secara beramai-ramai sedangka rakyat dibiarkan miskin dan kelaparan.

Cikal bakal KPK dirintis sesaat setelah Reformasi. Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik korupsi penyelenggara negara yang merajalela.

Dua undang-undang itu kemudian ditindaklanjuti lewat UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disahkan pada 27 Desember 2002 dan jadi landasan berdirinya KPK.

Dalam perjalanan panjang 22 tahun berdirinya KPK cukup banyak prestasi yang ditorehkan dikancah pemberantasan korupsi. Sayangnya, beberapa tahun kebelakang citra dan kinerja KPK semakin terlihat lemah. KPK malah terkesan sibuk mengurusi internal yang banyak bermasalah. Persoalan besar masih seputar integritas pimpinan KPK yang dinilai lemah.

Jika dahulu sempat muncul isu pelemahan KPK oleh kelompok politik atau para koruptor, kini pelemahan KPK juga muncul dari dalam tubuhnya sendiri. Keduanya adalah kombinasi penyakit yang menjangkiti lembaga anti rasuah itu menjadi tidak lagi memiliki taji.

Pemilihan calon pimpinan KPK periode 2024-2029 bisa jadi pertaruhan apakah lembaga ini masih bisa diharapkan atau sudah cukup sebagai pelengkap saja. Meski pemilihan Capim berada di ranah elit eksekutif dan legislatif, masyarakat perlu melakukan pengawasan ketat agar terpilih pimpinan KPK baru yang bersih, memiliki integritas dan mempunyai keinginan kuat memberantas korupsi di Indonesia hingga ke akarnya. [PAR]