Ilustrasi/YMA

Koran Sulindo – Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dirtipidnarkoba) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Eko Daniyanto prihatin kejahatan narkoba tiga tahun terakhir menempati rangking pertama. Untuk itu penanggulangannya harus melibatkan multistake holder.

“Harus menghilangkan ego sektoral. Jangan merasa dirinya paling hebat,” kata Eko, dalam forum Promoter dengan tema “Menanggulangi Bahaya Narkoba Untuk Menyelamatkan Generasi Muda Indonesia” di Hotel Amarossa Cosmo, Jakarta Selatan, Rabu (3/10/2018).

Eko yang sudah menjabat sebagai direktur selama 1 tahun 8 bulan itu mengatakan jajarannya sudah menembak mati 97 bandar. “Tahun 2017 kita sudah kirim 61 bandar ke ‘sukabumi’ (tembak mati). Tahun ini sudah 36 bandar,” katanya.

Eko mengungkapkan bahwa saat masih kekurangan tempat rehabilitasi. Sebab tempat pengobatan untuk para penyalahguna hanya ada di kota-kota besar.

“Tempat rehabilitasi ada di kota besar dan di Lido. Mayoritas (penyalahguna) tidak hanya orang kaya tapi banyak orang miskin, perlu tempat rehabilitasi di provinsi,” ujarnya.

Dirinya juga mengungkapkan lemahnya pengawasan di lapas menjadi penyebab peredaran barang haram merajalela. Sebab 99 persen narkoba yang diseludupkan ke Indonesia dikendalikan dari balik penjara. “Kita dan BNN selalu adakan pertemuan informal meeting. Ini sudah berjalan dua kali. Dan nanti di tahun ketiga diadakan di Mahkamah Agung, inilah sebagai forum untuk memberikan masukan dan evaluasi apa yang harus diperbaikin dan kekurangan-kekurangan,” ucap Eko.

Di tempat yang sama, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM), Tetty Helfery Sihombing, mengatakan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia menjadi sebuah fenomena gunung es. Kasus yang berhasil diungkap ke publik oleh otoritas sebenarnya masih sangat kecil dibandingkan jumlah yang belum terungkap.

BPOM menyebut akibat penggunaan narkoba setidaknya 50 orang meninggal setiap harinya dan 4,2 juta pengguna dapat direhabilitasi. Sementara 1,2 juta pengguna lainnya tidak dapat direhabilitasi.

“Akibat narkoba secara keekonomian kasus-kasus kejahatan internasional ini merugikan hingga Rp63,1 triliun,” kata Tetty.

Mudahnya publik menemukan narkoba khususnya golongan I seperti shabu, heroin, ganja atau ekstasi karena bisa diperoleh melalui pelayanan kefarmasian. Obat-obatan itu kerap digunakan untuk campuran pada minuman energy drink. Hal ini tentu sangat berbahaya dan perlu perhatian serius dari semua pihak.

Pihaknya merekomendasikan agar ada upaya bersama lintas sektoral untuk melakukan aksi nasional pemberantasan obat ilegal dan penyalahgunaan obat terlarang. Selain itu diperlukan upaya pengembangan dan implementasi food defense sepanjang rantai pangan. Sebab beredar isu yang belakangan muncul bahwa narkoba sudah dimasukkan ke dalam makanan atau minuman ringan (snack) anak-anak sekolah.

“Meskipun hal itu negatif tetap diperlukan upaya pemahaman bersama terkait jenis narkoba dan dampak yang ditimbulkannya,” kata Tetty. [YMA]