Koran Sulindo – Hampir tengah malam kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) pertengahan September itu seperti daerah perang. Di luar gedung, sekitar seribu orang mengepung, berteriak-teriak, dan melempar batu. Di dalam gedung orang-orang yang kebanyakan belum makan malam di sana kedinginan, gentar, dan tak tahu apa yang terjadi; kebanyakan mereka sudah uzur ditelan usia.
Mereka awalnya peserta seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966”, yang sedianya digelar di tempat itu tapi dibatalkan polisi. Tuan rumah mengganti dengan acara gayengan ‘Asik-Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi”, yang hanya pembacaan puisi, musik, dan dagelan tunggal (stand up comedy).
Kebanyakan penonton sudah pulang ketika serombongan orang mulai mendatangi kantor tak jauh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu sekitar pukul 10 malam, dan mulai berteriak meminta acara dibubarkan karena diduga dilakukan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Polisi hanya menyaksikan; makin lama kerumunan itu makin besar, dan yang terjadi kemudian sudah bisa diduga.
Hantu komunisme yang dihidup-hidupkan itu bukan hanya isu yang memenuhi udara Indonesia. Sejak akhir tahun lalu hingga pertengahan tahun politik identitas dimainkan di pemilihan kepala darah DKI Jakarta, dan dalam bentuknya yang paling brutal. Politisasi agama dijabarkan dalam aksi jalanan bernomor seperti 114, 212, 312, dan seterusnya. Aksi 212 bahkan mampu membuat jalanan Jakarta di sekitar Monas penuh lautan manusia berbusana putih. Ada yang menyebut sekitar 300 ribu, ada yang mengklaim 7 juta orang: mereka mengkafirkan gubernur petahana karena dianggap menistakan agama.
Islam yang digunakan sebagai alat politik ternyata terbukti masih berdaya guna, gubernur yang China dan beragama Kristen itu kalah telak, dan kemudian malah masuk penjara. Ini bukanlah persoalan teologis, tapi politisasi agama secara oportunistik dan brutal.
Sebagian dampak Pilkada DKI tak berhenti setelah pilkada usai. Pilkada itu bukan sekadar mencerminkan aspirasi masyarakat, tapi melalui proses politisasi agama, mobilisasi, dan “pelintiran kebencian” (hate-spin), telah mengubah keberagamaan masyarakat.
Keberhasilan politisasi agama secara masif bisa dibayangkan akan memotivasi pengulangannya di pilkada-pilkada dan pilpres berikutnya, karena terbukti efektif.
“Fakta bahwa isu etnik dan agama adalah faktor utama yang mepengaruhi pilihan warga metropolitan Jakarta mengkhawatirkan. Fakta ini mungkin memberi inspirasi pada politisi memakai isu itu sebagai alat politik, tak peduli dampak sosial pada kerukunan masyarakat Indonesia,” kata Dr Johanes Herlijanto, yang sekarang sedang studi di Indonesia Study Programme pada ISEAS Yusof Ishak Institute di Singapura, dalam tulisannya di channelnewsasia.com.
UU Ormas
Tak hanya oposisi yang berlaku lajak tahun ini, penguasapun sama saja. Terutama dengan penerbitan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan pada akhir Oktober lalu. UU itu sebenarnya fotokopi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas di masa Orde Baru Soeharto. Dengan UU ini, pemerintah memandang warga negara sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sebagaimana halnya cara pandang rejim otoriter seperti Orba, maka UU yang mengatur ormas diperlukan.
Dalam UU lama pemerintah bisa membubarkan ormas jika dianggap melanggar UU Ormas, namun tetap harus melalui mekanisme peradilan. Dengan UU baru ini pemerintah bisa langsung membubarkan Ormas, melalui kementerian yang mempunyai wewenang pendaftaran ormas sebagai badan hukum, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Aspek peradilan hanyalah, ormas yang dibubarkan dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). UU ini langsung digunakan memukul habis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tapi bukan Islam politik saja sebenarnya yang harus waswas pada beleid baru ini. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai UU Ormas itu berpotensi mengancam masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah.
“Tidak hanya bagi ormas-ormas yang dianggap ‘fundamentalis’ atau bertentangan dengan ideologi Pancasila, legislasi tersebut berpotensi menjadi alat represi pemerintah untuk membungkam gerakan masyarakat sipil di Indonesia,” kata Usman, melalui rilis media.
UU itu juga bisa digunakan untuk membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah, secara sepihak, bisa memakai UU itu untuk memukul ormas yang dianggap menodai agama. Bonus UU itu: sudah memukul, pemerintah bisa memidana seseorang hanya karena ia menjadi anggota kelompok yang dilarang pemerintah.
“Trend tahun ini berkurang kritik masyarakat kepada pemerintah,” kata Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, dalam rilis catatan akhir tahun (catahu) 2017 yang berjudul “Redupnya Api Reformasi”, pekan lalu.
UU itu langsung berdayaguna walau belum seumur jagung.
Di Bawah Duli Politik
Selain itu LBH juga melihat ada penurunan jumlah partisipatif masyarakat. Terutama akibat pelarangan kegiatan aspiratif. Jumlah pengaduan dan pencari keadilan yang masuk ke LBH Jakarta tahun ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Sepanjang 2017 dunia peradilan tanah air tak banyak berubah, banyak kasus hukum yang menjadikan dunia peradilan berada dalam tekanan pusaran politik.
“Sepanjang tahun ini dunia peradilan kita berada dalam tarikan yang luar biasa yaitu pusaran politik terkait dengan kepentingan-kepentingan politik di seputar kasus-kasus tersebut,” kata Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari, pekan lalu.
Tarikan politik itu sangat keras, baik yang tampak di publik maupun yang tidak terlihat. Tekanan yang ditujukan langsung kepada hakim juga terjadi, bahkan mengancam keamanan hakim dan keluarganya.
Tahun ini sejumlah kasus hukum memang menyita perhatian publik, antara lain kasus persidangan “kopi bersianida” dengan terpidana Jessica Kumala Wongso, kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kasus ujaran kebencian Buni Yani, dan terakhir kasus KTP-elektronik dengan tersangka Setya Novanto. Nampaknya kenyataan ini masih akan ditemui tahun-tahun depan ketika Indonesia memasuki tahun politik: hukum jatuh di bawah duli politik. [Didit Sidarta]