Selamat Tinggal Batu Bara

Pertambangan batubara di Berau, Kalimantan Timur.

Koran Sulindo – Saat ini batu bara masih menjadi andalan sumber energi primer Indonesia. Sebagai gambaran tahun 2020, berdasarkan statistik PLN, dari total 239.235,26 GWh energi listrik yang diproduksi, batu bara memberikan kontribusi sebesar 180.868,96 GWh atau menyumbang 75,6%. Jumlah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada tahun 2020 adalah sebesar 20,2 GigaWatt.

Pemerintah menyatakan bahwa penggunaan batu bara sebagai energi primer akan dihentikan secara bertahap hingga tahun 2060 nanti. Karena itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030, yang merupakan revisi dari RUPTL 2019-2028,  pemerintah tidak lagi mengakomodir usulan pembangunan PLTU baru. Sebaliknya, pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). “Kami memiliki kebijakan untuk tidak lagi menerima usulan PLTU baru,” ujar Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana pada Mei 2021.

Dalam RUPTL 2021-2030 ini, menurut Rida, komposisi energi fosil, termasuk di dalamnya batu bara berkurang menjadi 52% dari sebelumnya dalam RUPTL 2019-2028 sebesar 70%. Sedangkan, porsi EBT ditingkatkan dari 30% menjadi 48%. Dengan komposisi baru ini, jelasnya, RUPTL yang baru ini menjadi lebih ramah lingkungan.

“Kami dengan bangga dan rendah hati mengklaim bahwa RUPTL yang kita susun ini akan berupa green RUPTL atau RUPTL yang lebih hijau artinya lebih pro lingkungan,” ujar pria yang pernah menjadi Dirjen EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM ini.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan PLN sudah menyusun tahapan penghentian operasional PLTU  di Indonesia. Tahapan ini merupakan bagian dari strategi PLN untuk mencapai karbon netral di tahun 2060. Karbon netral adalah sistem energi yang tidak memiliki emisi gas rumah kaca bersih atau jejak karbon.”Untuk itu kami membangun suatu time line retirement dari PLTU batu bara,” ujar Darmawan.

Darmawan mengatakan pada tahun 2025 hingga 2030, pembangunan PLTU batu bara tak lagi diakomodir dalam perencanaan pembangkit. “Bahkan berpikir perencanaan PLTU saja sudah diharamkan,” ujarnya.

Sebagai gantinya, pada tahun 2025 PLN merencanakan pembangunan pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai penopang beban dasar (baseload) sebesar 1,1 Gw. “Ini sudah menjadi kesepaktan antara timnya pak Rida dan tim dari PLN,” ujarnya.

Kemudian tahun 2030, PLN mulai mempensiunkan (retirement) PLTU  Subcritical Tahap I sebesar 1 GW. Tahun 2035 dilanjutkan dengan retirement PLTU Subcritical Tahap II yang berasal dari proyek Fast Track Program (FTP) tahap I. Proyek FTP tahap I mengacu pada proyek pembangunan PLTU pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selanjutnya, pada tahun 2040, PLN melanjutkan retirement PLTU Supercritical sebanyak  9 GW dari proyek FTP I dan sekitar 10 GW dari proyek FTP II. Proyek FTP II juga mengacu pada proyek pembangkit listrik pada zaman SBY.

Kemudian pada tahun 2045, PLN  mulai retirement ultra supercritical tahap pertama dengan total 24 GW. Terakhir, tahun 2056, retirement PLTU ultra supercritical yang terakhir yaitu sekitar 5 GW.  “Di sini kalau kita melihat bahwa retirement dari PLTU hampir semuanya berbasis pada retirement yang natural, yang alami sesuai dengan umur teknis maupun ekonomisnya,” ujar Darmawan.

Darmawan mengatakan untuk menggantikan PLTU sebagai penopang beban dasar (baseload), salah satunya adalah dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Tetapi tantangannya adalah biaya produksi energi berbasis energi matahari masih mahal terutama untuk battery energy storage system yang saat ini masih sebesar 13 sen dolar per kWh. Sedangkan, biaya pembangkitan listrik dari PLTS berbasis baterai lithium ion atau feronikel kini sudah cukup rendah yaitu 4 sen dolar per kWh. Dus, saat ini biaya produksi listrik berbasis energi matahari saat ini masih sebesar 17-18 sen dolar per kWh.

“Untuk itu, kami berdiskusi secara intens degan Kementerian ESDM, kemudian juga stakeholder yang terkait yaitu BPPT, LIPI, BRIN dan lain-lain bagaimana ke depan. Kita bisa berkolaborasi agar PLTS bukan hanya berfungsi sebagai intermiten tetapi sebagai baseload dengan harga yang bisa lebih murah,” ujar Darmawan.

Kuncinya, menurut dia adalah biaya battery energy storage system harus bisa diturunkan dari 13 sen dolar per kWh menjadi 3,5 sen dolar per kWh. Sedangkan biaya generatioan (pembangkit) diturunkan dari 4 sen dolar per kWh menjadi 3,5 sen dolar per kWh. Sehingga, total biaya produksi energi listrik PLTS menjadi 6-7 sen per kWh. “Ini sedang kita usahakan sehingga nanti di tahun 2025 sampai 2026 tentu saja ada PLT-EBT baseload,” ujarnya.

Dikritik LSM
Alih-alih diapresiasi, Andri Prasetiyo, peneliti dan Manajer Program Trend Asia, menyatakan bahwa rencana PLN dan pemerintah yang baru akan menghentikan pembangunan PLTU pada 2025 adalah langkah yang masih belum sejalan dengan upaya penyelesaian krisis iklim global. Laporan IEA (2021) menyatakan bahwa saat ini pembangunan PLTU harus dihentikan dan pembangkit listrik tenaga batu bara harus berhenti secara total pada 2040, untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat celcius.

“Jika PLN tetap mengejar tenggat target penuntasan pembangunan PLTU pada 2025,  akan ada tambahan jumlah kapasitas PLTU baru dengan jumlah total sangat besar yaitu 16.000-17.000 MW. Berdasarkan perhitungan Trend Asia, hal ini akan  menambah produksi emisi karbon yang begitu besar dengan jumlah 107 juta ton per  tahun,” jelasnya dalam keterangan tertulis. [Julian A]