Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Koran Sulindo – Kredibilitas lembaga-lembaga survei akan dipertaruhkan pada saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017, termasuk di pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengatakan laporan hasil kerja lembaga survei yang dipublikasikan belum tentu akurat. Buktinya, ketika Pilgub Jakarta 2012 lalu, mayoritas lembaga survei menyatakan pasangan Jokowi-Ahok akan kalah.

“Faktanya, pasangan itu justru menang,” ujar Hasto di Jakarta, Rabu (5/10/2016).

Hasto mengungkapkan, dari berbagai pengalaman politiknya, memang ada lembaga survei yang dipesan untuk mengeluarkan hasil kerja dengan tujuan mengarahkan opini. ‎Kerja itu akan dimulai dengan cara membangun metodologi penelitian mereka.

“Merancang hasil survei sesuai keinginan pemesan bukan sulit bagi mereka,” katanya.

Hasto menuturkan, dirinya kerap kali disodori ide-ide demikian dari para pelaku lemonade survei itu sendiri. PDI Perjuangan sendiri selalu mementingkan kejujuran, dan lebih mengandalkan kekuatan mesin partainya untuk memenangkan pertarungan di pilkada.

“Kami lebih mementingkan kekuatan mesin partai bersama rakyat di lapangan. Survei hanya kami jadikan alat untuk memantau kondisi di lapangan,” kata Hasto.

Hasto melanjutkan, belajar dari pengalaman, bahwa ada lembaga survei yang memang hanya digunakan untuk mengklaim kemenangan. Seringkali manipulasi dilakukan dengan membocorkan data tempat dimana responden akan diperoleh sesuai keinginan jawaban yang diharapkan.

“Makanya kredibilitas lembaga survei dipertaruhkan benar di ajang pilkada ini.” kata Hasto.

Sanksi Lembaga Survei

Terpisah, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyatakan lembaga survei dan hitung cepat tidak boleh berpihak dan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Lembaga survei juga tidak boleh mengganggu tahapan pilkada, namun harus menjaga situasi tetap kondusif, lancar, tertib dan bisa meningkatkan partisipasi publik. Bila melanggar bisa kena sanksi.

“Hal itu diatur dalam keberadaan lembaga survei diatur dalam Peraturan KPU No 5/2015 tentang Partisipasi Publik dan Sosialisasi,” kata Ferry.

Lembaga survei atau lembaga hitung cepat harus terdaftar di KPU masing-masing daerah. Pendaftaran dilakukan 30 hari sebelum hari pemungutan suara.

“Yang jelas lembaga survei atau lembaga hitung cepat harus mendaftarkan diri ke KPU masing-masing daerah dengan memenuhi syarat, antara lain akta pendirian lembaga atau badan hukum, susunan kepengurusan lembaga, surat keterangan domisili dan pas foto pimpinan lembaga,” ujar Ferry.

Karena itu, kata Ferry, lembaga survei harus benar-benar melakukan wawancara, tidak mengubah data di lapangan dan pemrosesan data, menggunakan metode ilmiah dan melaporkan ke publik terkait metodologi pencuplikan data atau sampling, sumber dana, jumlah responden, tanggal, dan tempat pelaksanaan survei.

KPU juga bakal menindak tegas lembaga-lembaga survei yang tidak taat pada aturan yang sudah ditetapkan. Jika ada aduan dari masyarakat terkait lembaga survei, maka KPU akan membentuk Dewan Etik atau menyerahkan hasil pengaduan tersebut kepada asosiasi lembaga survei untuk memastikan apakah ada pelanggaran etik atau tidak.

Dewan Etik ini terdiri atas lima orang yakni dua orang akademisi, dua orang profesional atau ahli lembaga survei dan satu orang KPUD.

Jika terbukti melanggar kode etik, maka lembaga survei bisa dikenakan sanksi dengan menyatakan bahwa lembaga yang bersangkutan tidak kredibel, peringatan, dan larangan untuk melakukan survei.

“Jika terbukti adanya pelanggaran pidana dalam hasil survei atau prosesnya, maka bisa dikenakan sanksi pidana sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Ferry. (CHA/DAS)