Sekali Lagi soal Papua

Antusias massa rakyat dalam pembebasan Papua Barat dari cengkeraman kolonialisme [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Penindasan brutal aparat militer dan kepolisian terhadap manifestasi di berbagai kota untuk memperingati apa yang disebut “Hari Kemerdekaan Papua”, 1 Desember 2018 telah melahirkan kutukan dan kemarahan besar terhadap rezim boneka imperialis Joko Widodo-Jusuf Kalla. Reaksi keras rakyat berbagai sektor, ada yang diiringi dengan dukungan spontan kepada tuntutan separatis dari sementara sektor penduduk Papua.

Lepas dari penolakan atau simpati terhadap keinginan memisahkan Papua dari Indonesia, ada baiknya kita meninjau kembali dan mempertimbangkan apakah kejadian 1 Desember 1961 memang sebuah pernyataan kemerdekaan sejati rakyat Papua.

Dalam Manifesto from the First Papuan People’s Congress, 1961, kita temukan pernyataan sebagai berikut: “in accordance with the ardent desire and the yearning of our people for our independence, through the National Committee and our parliament, the New Guinea Council, insist with the Government of Netherlands New Guinea and the Netherlands Government that as of November 1, 1961, a. our flag be hoisted beside the Netherlands flag; b.our national anthem (Hai Tanahku Papua) be sung and played in addition to the Netherlands national anthem.”

Pertanyaannya kemudian, pertama, apakah Kongres Rakyat Papua itu merupakan wakil sejati mayoritas rakyat Papua? Kedua, dari penjajahan siapa Kongres Rakyat Papua menyatakan merdeka? Penjajahan Belanda? Penjajahan Indonesia? Ketiga, apa arti keberadaan the ‘Government of Netherlands New Guinea’? Apakah itu tidak menunjukkan kenyataan bahwa Pemerintah Belanda tidak mau angkat kaki dan tetap ingin menguasai Papua? Kemerdekaan macam apa kalau tetap menginginkan bendera dan lagu kebangsaan Belanda dikibarkan dan dinyanyikan bersama dengan bendera dan lagu kebangsaan Papua? Kemerdekaan sejati atau palsu?

Bandingkan dengan perjuangan rakyat Indonesia untuk mengusir penjajah kolonial Belanda sejak 1926, diteruskan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan di paruh kedua tahun 40-an sampai pembebasan Irian Barat. Sama sekali bukan hadiah dan mendapat restu pemerintah Belanda, tapi perjuangan berdarah-darah penuh pengorbanan luar biasa rakyat berbagai suku bangsa Indonesia. Sementara orang menuduh Pemerintahan Soekarno sebagai agresor dan kekuatan kolonial yang menganeksi dan menjajah Papua.

Orang-orang ini dengan sengaja menutup mata pada fakta sejarah berkaitan dengan wilayah Indonesia. Mereka menolak kenyataan bahwa batas-batas wilayah Indonesia memang warisan dari penjajahan Belanda. Kalau tidak, apa jalan keluarnya dan bagaimana kita menentukan batas-batas wilayah Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945?

Papua Barat jelas termasuk Hindia Belanda. Kalau tidak, bagaimana mungkin ribuan komunis dan patriot Indonesia, setelah pemberontakan 1926, dibuang ke Boven Digul?

Bahwa dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak terdapat putra/putri atau tokoh Papua, bukanlah alasan untuk membenarkan pemisahan Papua dari Indonesia. Ada suku bangsa lain, seperti Dayak atau Bugis yang juga tidak terwakili dalam perjuangan kemerdekaan. Karena perkembangan kesadaran politik rakyat berbagai suku bangsa memang tidak merata. Itu bukan kesalahan Bung Karno dan merupakan alasan untuk menunda kemerdekaan Indonesia, atau membenarkan pemisahan Papua.

Deklarasi kemerdekaan adalah permulaan dari proses panjang Indonesia nation building, pembangunan bangsa Indonesia. Bukan hanya di Papua, tapi juga di daerah pedalaman Indonesia lainnya, belum ada atau masih sangat kecil perkembangan politik di kalangan rakyatnya.

Penerapan pendapat Lenin tentang self determination atau hak menentukan nasib sendiri dalam hal Papua juga tidak tepat, karena Indonesia bukan penjajah kolonial Papua. Sebaliknya, prinsip self determination Leninis dapat diterapkan dan diwujudkan melalui dukungan kepada perjuangan anti-kolonial Belanda, bahkan yang dipimpin kaum bangsawan-feodal, seperti misalnya kasus Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Tondano, Perang Puputan di Bali, dan masih banyak lagi.

Kita tahu pemerintah Belanda tidak pernah bersedia menerima kenyataan Indonesia merdeka. Sikap itu jelas diwujudkan dengan agresi militer tahun 1947 dan 1948, berbagai macam perundingan, dari Linggarjati 1946, Renville 1948, Roem-Royen Mei 1949, hingga Konferensi Meja Bundar November 1949. Hasil dari semua perundingan ini sama sekali tidak menguntungkan usaha mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Sampai akhirnya Pemerintah Indonesia, tahun 1956, di bawah tekanan kekuatan rakyat progresif ketika itu, membatalkan secara sepihak KMB.

Belanda sangat berkepentingan Indonesia terpecah belah untuk dapat mendominasinya. Jadi jangan lupa Belanda hadir di KMB dengan membawa para bonekanya: Nugini Belanda, Kesultanan Pontianak, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Pasundan dan Negara Sumatra Timur. Mengapa Kongres Rakyat Papua, 1 desember 1961, menginginkan bendera dan lagu kebangsaannya berkibar dan dinyanyikan bersama dengan bendera dan lagu kebangsaan Belanda? Salahkah kalau orang menginterpretasinya sebagai boneka Belanda?

Buas
Bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan ini tidak boleh dilupakan, terutama oleh kawan-kawan generasi muda. Penting sekali memahami sifat “buas” dari kolonialisme Belanda, tidak mengacaukan dan menghilangkan garis pemisah jelas antara pejuang kemerdekaan sejati dengan antek serta boneka kaum penjajah kolonial dan imperialis Belanda.

Secara formil Indonesia telah merdeka dan berhasil mengusir pasukan kolonial Belanda dari seluruh wilayahnya. Tapi, apakah Indonesia sudah merdeka secara politik dan ekonomi? Apakah kemerdekaan sudah mendatangkan kemakmuran, kebebasan dan keadilan bagi semua rakyatnya dari Sabang sampai Merauke? Semua orang tahu jawabannya. Kemakmuran hanya dinikmati oleh kelompok elite dan segelintir kelas menengah atas. Kesenjangan semakin melebar antara mereka yang di atas dan rakyat jelata berbagai suku bangsa di segala pelosok tanah air.

Sejak kudeta militer 1965, Indonesia dengan semua kekayaan alamnya diserahkan kepada kekuatan imperialis, lembaga keuangan dan perdagangan serta korporasi multinasionalnya. Tak peduli siapa presidennya. Hutan-hutan habis digunduli, penyusutan tanah pertanian membuat semakin jauh swasembada pangan. Isi perut bumi menjadi sasaran pertambangan yang merampas tanah petani dan komunitas adat, menghilangkan mata pencaharian penduduk, meninggalkan pencemaran lingkungan dan penyakit. Ini terjadi di semua pulau besar dan kecil dan juga Papua.

Sifat masyarakat setengah jajahan setengah feodal berlaku bagi Indonesia secara keseluruhan, tak terkecuali Papua. Soal tanah adalah kontradiksi pokok yang harus diselesaikan sebelum kita dapat maju membangun industri nasional. Musuh yang dihadapi rakyat berbagai suku di Papua adalah juga musuh rakyat berbagai suku di seluruh kepulauan Indonesia, yaitu kapitalisme birokrat, tuan tanah besar, kaum kapitalis birokrat dan komprador yang merupakan antek dan kaki tangan kaum imperialis.

Usaha memisahkan Papua dari Indonesia justru mengalihkan perhatian penduduk Papua dari masalah pokok yang dihadapinya: perampasan tanah, penggundulan hutan, penghilangan mata pencaharian dan sumber makanannya yang terus memiskinkan dan melaparkan mereka. Rakyat Papua tidak membutuhkan pembangunan model neo-liberal Jokowi seperti jalan tol ribuan kilometer. Bukan penduduk Papua yang akan menggunakannya, melainkan para penanam modal untuk mempercepat transportasi kekayaan alam yang dieksplotasi dan penetrasi barang konsumsi yang akan “mendidik” dan menciptakan masyarakat konsumen di pedalaman.

Yang sungguh-sungguh dibutuhkan rakyat Papua adalah sekolah, rumah sakit, pekerjaan dengan upah layak, pengembangan dan penghormatan terhadap gaya hidup dan kebudayaan berbagai suku bangsanya. Kebutuhan pokok ini juga dirasakan oleh semua suku bangsa di kepulauan Indonesia lainnya. Persatuanlah yang dibutuhkan guna mencapai tujuan mulia semua suku bangsa Indonesia, yaitu kedaulatan rakyat, bukannya perpecahan berdasarkan pada ras, warna kulit dan kepercayaan atau agama.

Pengalaman Afrika Selatan menunjukkan, pergantian ras dan warna kulit para penguasa sama sekali tidak membawa kemuliaan dan kemakmuran kelas pekerja berkulit sama dengan kaum elite. Hanya dalam sebuah pemerintahan di mana rakyat sungguh-sungguh berdaulat, segala macam aspirasi, termasuk pemisahan diri, dari semua suku bangsa dapat dibicarakan dengan bebas dan damai. Kedaulatan rakyat sejati menjamin tak satupun suku bangsa akan hidup di bawah kekuasaan kaum kapitalis birokrat dan komprador serta tuan tanah pengabdi kaum imperialis.

Aspirasi kemerdekaan rakyat Papua yang bisa sungguh-sungguh mendatangkan kemakmuran dan keadilan harus dipimpin oleh kelas termaju yang tak punya kepentingan lain kecuali membebaskan dirinya dari belenggu pengisapan dan penindasan. Sudah lewat zaman di mana kelas borjuasi nasional dapat memimpin dan membawa perjuangan rakyat terisap dan tertindas ke kemenangan terakhir. Seperti dicanangkan oleh Bung Karno, hanya satu hari depan yang harus diperjuangkan oleh rakyat Indonesia, yaitu sosialisme: tanpa exploitation de l’homme par l’homme. [Tatiana Lukman]