Sekali Lagi, Cerita Sekitar Skandal Pinangki dan Alumni S3 Unpad

Pertemuan antara Pinangki Sirna Malasari (mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan), Anita Kolopaking (mantan advokat Joko S. Tjandra) dan Joko S. Tjandra (terpidana kasus hak tagih Bank Bali)/Tempo

Koran Sulindo – Pada pertengahan Juni lalu. Kita bisa membayangkan betapa wajah Pinangki Sirna Malasari tersenyum sumringah mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Apa sebab?

Soalnya hukuman 10 tahun yang diberikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepadanya dipotong menjadi 4 tahun penjara. Pertimbangannya pun sungguh membuat mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan itu terharu: ia seorang ibu dan mengakui perbuatannya. Juga perlu diperhatikan dan dilindungi.

Pinangki bisa tersenyum lega dan sumringah. Tetapi tidak dengan publik yang tentu saja kecewa mendengar putusan tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mengkritik keras putusan majelis hakim PT DKI Jakarta itu. Apalagi Pinangki sebagai penegak hukum dalam putusan tingkat pertama disebut secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan 3 kejahatan sekaligus: korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

Karena itu, ICW menilai putusan majelis hakim PT Jakarta itu keterlaluan dan tidak masuk akal memberikan keringanan kepada Pinangki. Pula karena itu ICW menggalang dukungan publik lewat petisi daring untuk memprotes putusan tersebut. Petisi itu disebut tembus belasan ribu yang intinya mendesak Kejaksaan Agung untuk kasasi atas putusan banding tersebut.

Soal ini, organisasi masyarakat sipil Jaga Adhyaksa (JA) bahkan membandingkan perkara yang menimpa Pinangki dengan kasus Urip Tri Gunawan yang ketahuan menerima suap untuk mengurus penanganan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim. Keduanya sama-sama jaksa walau mengalami nasib yang berbeda.

Menurut pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jaga Adhyaksa, David Sitorus, penanganan kedua kasus tersebut sangat berbeda. Ketika Pinangki diperiksa di Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung, ada beberapa nama yang diungkap, tapi sama sekali tidak dikenai sanksi etik atau dibawa ke pengadilan. Sebaliknya, justru ada yang mendapat promosi.

Buktinya mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna yang diketahui bertemu dengan kuasa hukum Joko Tjandra alias Joker, Anita Dewi Anggraeni Kolopaking sebanyak 2 kali justru kini menjabat Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Terbaru Anang informasinya telah menjabat sebagai Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Padahal, Anita ketika menjalani pemeriksaan di Jamwas pada Juli 2020 mengakui bertemu 2 kali dengan Anang. Tetapi, Jamwas Kejagung dalam kesimpulannya menyatakan tidak menemukan bukti adanya lobi yang dilakukan Anita terhadap Anang. Promosi yang diterima Anang hanya berjarak 8 bulan dari skandal Pinangki dan Joko Tjandra.

Sementara dalam kasus Urip, kata David, nama-nama yang terungkap baik dalam pemeriksaan Jamwas dan pengadilan dikenai sanksi, baik secara etik maupun secara pidana. Bahkan mereka yang dikenai sanksi etik dalam kasus Urip sampai pada tingkat Jaksa Agung Muda. Sedangkan dari sisi nilai suap, menurut David, jumlah yang diterima Pinangki dan Urip tidak jauh berbeda, yaitu US$ 500 ribu dan US$ 660 ribu. Tetapi, hukuman yang diterima keduanya berbeda jauh: Pinangki hanya 4 tahun, sementara Urip hingga tingkat kasasi tetap dihukum 20 tahun.

Selain perbandingan kedua kasus tersebut, ICW dan media massa juga mulai menelusuri latar belakang majelis PT Jakarta yang menangani kasus Pinangki. Berdasarkan penelusuran tersebut, para hakim kasus Pinangki rupanya kerap kali diadukan masyarakat karena dugaan pelanggaran kode etik dan pidana. Adapun kelima hakim yang menangani kasus Pinangki adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.

Untuk Singgih Budi Prakoso, misalnya, namanya sempat terseret kasus suap yang melibatkan Setyabudi Tejocahyono, hakim Pengadilan Negeri Bandung pada 2013. Dalam dakwaan Setyabudi, jaksa menyebut Singgih mendapatkan jatah US$ 15 ribu, sementara dua anggota majelis hakim perkara korupsi bansos, yaitu Ramlan Comel dan Djodjo Dkohari, mendapat masing-masing US$ 18.300. Bukannya disidik, Singgih justru mendapat promosi menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Makassar, lalu dipindah ke PT Semarang hingga akhirnya masuk Jakarta.

Sementara Lafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik kerap berduet untuk memotong hukuman para terpidana korupsi. Dalam kasus yang menyeret bekas Ketua Umum PPP, Muhammad Romahurmuziy atau Romy, Reny dan Lafat merupakan 2 dari 5 hakim yang menyunat hukuman Romy menjadi 1 tahun penjara dalam kasus suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag). Pun demikian dalam kasus korupsi yang menjerat advokat Lucas, Reny dan Lafat lagi-lagi berduet mendiskon hukuman dari 7 tahun menjadi 5 tahun.

Khusus Reny ini latar belakang pendidikan doktoralnya ditempuh di Universitas Padjajaran (Unpad) pada periode yang sama dengan Pinangki. Keduanya sama-sama jebolan doktor hukum dari Unpad. Waktunya pun bersamaan. Hanya berbeda waktu setahun untuk tahun masuknya yaitu 2007 dan 2008.

Sebelum menjadi hakim ad hoc, Reny juga diketahui pernah menjadi tenaga ahli anggota DPR dari Partai Golkar pada periode 2010. Seorang sumber di Senayan menyebutkan pergaulan Reny memang dekat dengan kalangan politikus. Laporan Majalah Tempo pada 26 Juni 2021 menuliskan, selain dengan Reny, memori banding Pinangki pun dibuat oleh advokat kantor hukum rekan sealmamaternya di S3 Unpad.

Adalah Achmad Munadi yang menyusun memori banding atas perkara Jaksa Pinangki sekitar pertengahan Februari lalu. Ia mengklaim tidak mengenal Pinangki. Namun, salah satu pemilik Kantor Hukum Achmad Kholidin dan Rekan tempat Achmad berpraktik advokat merupakan teman sealmamater Pinangki di S3 Unpad. Dalam data mahasiswa di situs resmi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nama Achmad Kholidin ditulis Achmad Cholidin yang masuk pada 2007 dan menyelesaikan studi S3 dari Unpad pada 2012. Kepada Tempo, Achmad Kholidin mengakui sealmamater dan kenal dengan Pinangki, termasuk dalam hal penyusunan memori bandingnya.

Sumber di Kejaksaan Agung menyebutkan, hubungan antara Reny dan Pinangki dipertemukan dalam ikatan alumni S3 ilmu hukum Unpad. Sementara itu, di internal Kejaksaan orang-orang yang lulusan S3 Unpad juga pernah menjadi atasan Pinangki dan terkait dengan skandal Joko Tjandra ini.

Misalnya, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Amir Yanto yang merupakan lulusan S3 Unpad dengan tahun masuk 2010. Selain sama-sama lulusan S3 dari Unpad, Amir juga pernah menjadi atasan langsung Pinangki sebagai Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) pada 2016. Sementara Pinangki waktu itu menjabat sebagai Kasubag Pemantauan dan Evaluasi pada Biro Perencanaan pada tahun yang sama.

Juga, Amir Yanto sebagai Jamwas bersama dengan Jaksa Agung Muda Pembinaan Bambang Sugeng Rukmono menyurati Komisi Kejaksaan agar tidak perlu memeriksa ulang Pinangki. Alasannya waktu itu, Pinangki sudah diperiksa Pengawasan di Jamwas sehingga tidak perlu diperiksa lagi oleh Komjak. Lalu, Komjak juga awalnya kesulitan mendapatkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Kejagung terkait Jaksa Pinangki. Dan baru diberikan 2 minggu kemudian.

Selain Amir, ada juga nama nama Asep Nana Mulyana yang kini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Banten. Sebelumnya, Asep merupakan Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri pada Jambin. Ia merupakan lulusan S3 Unpad dengan tahun masuk 2009. Ketika skandal Joko Tjandra dan Pinangki “meledak” Asep juga masih menjabat Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri pada Jambin.

Laporan Majalah Tempo pada Juli 2020 menuliskan Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri sebenarnya berkirim surat kepada Kejaksaan Agung pada pertengahan April 2020. Dalam suratnya, NCB Interpol menanyakan apakah Kejaksaan masih perlu memasukkan Joko Tjandra ke daftar red notice atau permintaan kepada Interpol di dunia untuk menangkap atau menahan seorang pelaku tindakan kriminal.

Kejaksaan membalas surat itu pada 21 April 2020 dan meminta agar Joko tetap dimasukkan ke daftar red notice. Soal red notice itu Tribunnews pernah mewawancarai Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang pernyataan Polri mengenai penghapusan red notice Joko Tjandra lantaran tidak ada up date dari Kejaksaan Agung pada Juli 2020. Burhanuddin ketika itu mengatakan, pihaknya tidak mau menjawab hal itu. Ia hanya ingin ada penyelesaian soal Joko Tjandra. Karena itu, ia memerintahkan Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri yang saat itu dikepalai oleh Asep Nana Mulyana untuk bicara soal red notice dengan Polri. Tapi, tidak dijelaskan apa yang akan dibicarakan perihal red notice itu dengan Polri.

Alumni Unpad
Selain Reny, Amir Yanto, Asep Nana Mulyana, Anita Kolopaking juga pernah bersaksi dalam persidangan menjadi lulusan S3 dari Unpad. Ia mengaku seangkatan dengan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali di Unpad. Dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung terhadap terlapor Pinangki, Anita mengaku kenal dengan yang bersangkutan karena satu alumni S3 di Unpad. Keduanya sama-sama pengurus Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum (Padih).

Soal hubungan Anita dan Hatta Ali itu juga sempat disebutkan dalam dakwaan Pinangki yang terkait dengan pembuatan Action Plan. Ketika bertemu dengan Joko Tjandra pada 19 November 2019 di Malaysia, Pinangki mengajukan proposal Action Plan yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung tersebut senilai US$ 100 juta. Melihat nilai itu, Joko Tjandra hanya setuju dan menjanjikan senilai US$ 10 juta yang akan dimasukkan ke dalam Action Plan. Dalam Action Plan ini pula disebut nama BR yang merupakan Burhanudin/pejabat Kejaksaan Agung dan HA yang merupakan Hatta Ali/pejabat Mahkamah Agung. Nama Anita Kolopaking disebut menjadi salah satu penanggungjawab Action Plan ini.

Sementara di Senayan diketahui Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin juga lulusan doktor hukum dari Unpad. Dan tahunnya pun sama dengan Reny dan hanya berbeda setahun dengan Pinangki. Dalam kasus skandal Joko Tjandra ini, nama Azis sempat terseret karena mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte pernah mengungkap dalam persidangan bahwa Tommy Sumardi yang menjadi perantara Joko Tjandra menelepon Azis ketika ingin mengecek status red notice. Kala itu, Tommy menelepon Azis dan menyerahkannya kepada Napoleon. Setelah itu, status red notice bisa dicek.

Selain latar belakang alumni S3 Unpad itu, ICW kembali mengingatkan publik soal perlunya mengembangkan kasus Pinangki ini terhadap pelaku lain. Semisal, oknum penegak hukum yang menjamin Pinangki agar bisa bertemu dengan Joko S. Tjandra. Tetapi, desakan itu justru dimentahkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Ali Mukartono yang memastikan penyidik tidak akan mengembangkan perkara korupsi yang melibatkan Joko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan selaku konsultan.

Padahal, menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhan, Jampidsus bisa menelisik lebih lanjut soal komunikasi antara Pinangki dengan Anita Kolopaking perihal kata “Bapakmu dan Bapakku”. Juga perihal sosok yang disebut sebagai “King Maker”. Soal “King Maker” ini meski belum terbongkar tapi diperbincangkan berdasarkan bukti elektronik berupa komunikasi chat menggunakan aplikasi Whatsapp di mana isinya dibenarkan Pinangki, saksi Anita Kolopaking dan keterangan dari Rahmat.

Di samping sosok “King Maker”, Rahmat yang disebut sebagai pemilik Koperasi Nusantara juga menjadi sorotan. Selain menjadi jembatan pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra, Rahmat juga bertemu secara langsung dengan Jaksa Agung Burhanuddin dan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi yang terdokumentasi dalam sebuah foto yang tersebar di beberapa media massa.

Hubungan Pinangki dan Rahmat ini juga punya cerita tersendiri sehingga pada akhirnya bisa bertemu dengan Burhanuddin dan Setia Untung Arimuladi. Perkenalan Pinangki dan Rahmat sesuai dengan dakwaan disebutkan berawal di restoran Jepang, Hotel Grand Mahakam sekitar September 2019. Dalam pertemuan itu juga dihadiri Anita Kolopaking. Pinangki memperkenalkan Anita kepada Rahmat sebagai advokat. Dalam pertemuan itu, Pinangki meminta kepada Rahmat untuk dikenalkan kepada Joko Tjandra, buronan kasus hak tagih Bank Bali. Rahmat menyanggupi permintaan Pinangki itu dan berjanji akan mencarikan informasi terlebih dulu soal itu.

Lantas mengapa Rahmat begitu percaya kepada Pinangki yang bukan bertugas sebagai jaksa penyidik atau berwenang dalam hal penangkapan buronan? Ketika bersaksi dalam persidangan, Rahmat mendengar dari sejumlah orang bahwa Pinangki memiliki banyak teman di Kejaksaan Agung sehingga mempercayainya. Lantas bagaimana lanjutan pertemuan Rahmat dan Pinangki itu?

Dalam sebuah kesempatan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, Pinangki diduga pernah menyatakan kepada Anita Kolopaking mantan kuasa hukum Joko Tjandra akan mengantar seseorang berinisial R pada hari Rabu menghadap pejabat tinggi di Kejaksaan Agung.

Ketika melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Boyamin melampirkan dokumen percakapan yang diduga antara Pinangki dengan Anita. Dan dalam percakapan lewat aplikasi perpesanan Whatsapp itu ada yang menyinggung inisial JA.

Berikut ini percakapan yang diduga Pinangki dan Anita sebagaimana yang termuat dalam dokumen tersebut:

Anita: Met sore mba…

Pinangki: Rabu atau kamis gmn?

Anita: Sy baru selesai meeting. Apa mau skrg ?

Pinangki: Skr jg sama euy

Pinangki: Rabu aja ya

Pinangki: Siang2 gitu

Pinangki: Km raby paginya sy antar rahmat menghadap JA

Anita: Ok Rabu siang ya…

Foto-foto antara Rahmat dengan Jaksa Agung Burhanudin dan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi menjadi pembenar adanya pertemuan tersebut. Meski demikian, kisah skandal Pinangki ini berujung anti-klimaks. Pasalnya, Pinangki hanya diganjar 4 tahun penjara setelah sempat diputus 10 tahun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia secara resmi menyandang hukuman tersebut setelah Kejaksaan Agung tidak mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Dari rangkaian peristiwa ini, apakah latar belakang orang-orang Kejaksaan sekitar Pinangki dan orang-orang yang merupakan alumni doktor hukum dari Unpad ini sekadar kebetulan belaka? Atau apakah orang-orang sekitar Pinangki termasuk pejabat di Kejaksaan RI itu masuk dalam jaringan yang disebut sebagai Unpad koneksi itu? [Kristian Ginting]