Dalam pandangan Bung Karno, taklid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam. Sejak ada aturan taklid, ungkap Bung Karno, di situlah kemunduran Islam cepat sekali. “Tak heran! Di mana genius dirantai, di mana akal fikiran diterungku, di situlah datang kematian,” katanya dalam salah satu suratnya kepada A. Hassan, yang ketika itu tinggal di Bandung. Surat itu termuat dalam buku yang ditulis Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I (1964).

Islam, ungkap Bung Karno lagi, harus berani mengejar zaman. “… bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?” demikian petikan salah satu surat Bung Karno kepada A. Hassan juga.

Bung Karno juga mengungkapkan, ribuan orang Eropa yang masuk Islam pada abad ke-20 mendapat pengetahuan tentang Islam justru bukan dari guru-guru  yang hanya menyuruh muridnya beriman dan percaya saja. “Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal — karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam,” tulis Bung Karno.

Nabi Muhammad merupakan sosok yang sangat mengagumkan dalam pandangan Bung Karno. Nabi Muhammad adalah simbol revolusi, yang sangat menginspirasi Bung Karno. Karena itu, pada diri dan pemikiran Bung Karno terkonvergensi keindonesiaan sekaligus keislaman. Bagi Bung Karno, bertuhan itu sekaligus berindonesia dan berindonesia itu sekaligus berislam. Tak ada pemisahan atas semua itu, melainkan semuanya bersinergi membentuk sebuah filosofi, visi, dan nilai-nilai bersama, yang tercakup dalam Pancasila.

Arifin dalam bukunya juga memaparkan titik temu Bung Karno dengan Nahdlatul Ulama (NU), yakni ijtihad kebangsaan Bung Karno bertemu dengan ijtihad keislaman NU di “terminal” bernama Pancasila. Menurut Arifin, itu merupakan suatu sinergi yang apik: tokoh besar nasionalis bertemu dengan ormas besar religius dalam sebuah gagasan yang menyatukan kedua latar belakangnya tersebut, yakni nasionalisme-religius. [Purwadi Sadim]