Aksi damai DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lampung
Ilustrasi: Aksi damai DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Barat mendukung langkah hukum DPP PDI Perjuangan atas pembakaran bendera partai oleh sekelompok massa di depan gedung MPR/DPR, Jumat (26/6/2020)/akun Twitter @PDI_Perjuangan.

Koran Sulindo – Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan fenomena munculnya kembali isu Partai Komunis Indonesia (PKI) diakibatkan kepentingan politik menuju Pemilu 2024 yang ditengarai dilakukan oleh mereka yang ingin mengembalikan kejayaan Orde Baru (Orba) di Indonesia. PDI Perjuangan menjadi pusat hantaman serangan isu komunisme karena dianggap akan menghambat agenda itu.

“Fenomena belakangan ini saya kira berkaitan dengan menghadapi tahun 2024, ketika akan ada pilpres. Ada pihak-pihak berkepentingan dihidupkan isu komunisme ini,” kata Asvi, dalam diskusi virtual bertema “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” yang dipandu Bonnie Triyana, di Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Menurut Asvi, pihak-pihak yang melakukan hal tersebut ingin menegakkan kembali kekuasaannya, persis sama dengan cara yang dulu dilakukan Soeharto, yakni menjadikan komunisme sebagai musuh bersama. Mereka berpadu dengan kelompok yang ingin menjaga eksistensinya seperti penganut gerakan khilafah. Tak mengherankan, dalam aksi pembakaran bendera PKI, yang membakarnya kelihatan juga memakai bendera dengan simbol yang dekat dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Mereka ingin memperlihatkan eksistensi sebenarnya, namun juga ingin menghancurkan PDIP. Mereka dengan sengaja ingin menggoyang masyarakat dengan berkata soal kebangkitan PKI,” kata guru besar kelahiran Buktitinggi, Sumatera Barat itu.

Faktanya, komunisme itu sudah punah dengan adanya TAP MPRS yang isinya membubarkan PKI dan melarang ajaran komunisme, sudah berlaku sejak 1966 serta bertahan hingga saat ini.

Asvi mengingatkan saat rezim Soeharto, isu PKI dipertahankan untuk kepentingan Pemerintah yang berkuasa, dengan menghancurkan orang yang bersikap kritis. Isu PKI juga digunakan ketika hendak mengambil tanah rakyat dengan mudah.

“Maka di Orba, setiap jelang 30 September, pasti ada temuan bendera dan kaos PKI. Itu jaman Orba. Sekarang, makin rutin karena ada kelompok kepentingan yang mau angkat isu komunisme itu,” katanya.

Gerakan mereka semakin menggema karena perkembangan teknologi informasi disertai kurangnya literasi masyarakat dalam menyaring bahan-bahan kampanye yang disebarkan. Informasi sangat mentah dan sumir itu sengaja disebarkan berulang dan terus menerus. Dan hal itu didukung pula oleh proyek de-soekarnoisasi yang dilaksanakan selama masa berkuasanya Orde Baru. Akumulasi semua hal itu juga yang terjadi dalam polemik pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Ilustrasi: Sejarawan Asvi Warman Adam (kanan) dan Bonnie Triyana/Ist

Bonnie mempertanyakan narasi PDI Perjuangan sebagai anti Pancasila yang justru disampaikan pihak yang selama ini diragukan ke-Pancasila-annya.

Menjawab itu, Asvi mengatakan sejak Reformasi 1998, makin terasa pentingnya meneguhkan Pancasila, bukan hanya sebagai dasar negara, namun pemersatu bangsa. Itulah pentingnya ada lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Terlebih ketika ada keinginan memperkuat status lembaga ini, maka penentangan akan muncul. Ada pihak tak ingin Pancasila lebih disosialisasikan karena anggapannya sudah final.

“Ini jelas tujuannya kembali membangkitkan Orba, kembali mengangkat Soeharto sebagai pahlawan penyelamat negara, yang ingin menjadikan komunisme musuh bersama, dan dalam rangka Pilpres 2024. Dan salah satu yang mengganggu mereka adalah partai banteng. Dan untuk menyerangnya dikaitkan lah komunisme dan Soekarno. Mudah-mudahan rakyat lebih mudah memahami ini dan tak termakan hantu komunisme,” kata Asvi.

Kisah Ribka, Okky, dan Reza

Stigmatisasi PKI saat ini masih menjadi alat senjata yang ampuh, seolah tak kunjung habis. Ironisnya, keturunan yang terlibat pun sebagai pihak yang diserang serta dipojokkan.

Menurut Asvi, digunakan sebagai senjata menuju pemilu 2024, dan sadisnya juga Soeharto lahir dari krisis nasional yang menempatkan PKI sebagai musuh bersama. Soeharto dijadikan “Bapak Pembangunan” sekaligus penyelamat bangsa dari komunisme. Isu ini kembali hendak dijual dan diangkat menuju pemilu 2024, walau PKI dan aktivitasnya sudah punah.

Masalahnya, dalam mengangkat isu itu, stigma terhadap anak-anak dan keturunan keluarga terlibat PKI masih diteruskan.

“Itu bagi pandangan saya seharusnya diluruskan. Kalau seseorang jadi PKI, anaknya tak menanggung dosa dia. Itu sama dengan jika seorang ayah melanggar hukum, anaknya kan tak harus diadili. Kita tak menganut dosa turunan. Kalau orang tuanya PKI atau ormas kiri, anaknya tak otomatis menganut komunis. Apalagi ajaran itu tak bisa lagi dikembangkan di Indonesia,” katanya.

Asvi mencontohkan bagaimana tudingan tak berdasar itu merugikan kader PDI Perjuangan yang duduk di parlemen seperti Ribka Tjiptaning. Buku terbitan Ribka tentang pengalamannya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI, sampai sekarang pun dianggap PKI. DPR dianggap mengakomodasi PKI, bahkan PDI Perjuangan dituduh mempunyai 85 persen anggota bekas PKI.

Padahal, sebelum menjadi anggota DPR, untuk menjadi caleg saja, setiap orang termasuk Ribka harus ada screening dan surat bebas PKI dari Kepolisian. Sehingga seorang anggota PKI takkan mungkin lolos. Maka jika masih ada yang menuduh PKI, seharusnya dia dipaksa membuktikan atau dilaporkan ke pengadilan.

“Kalau buku Ribka sendiri dibaca, isinya adalah soal pengalaman hidupnya yang menderita setelah ayahnya, sebagai pengusaha yang berhubungan dengan banyak orang ditangkap rezim Soeharto karena alasan PKI pada 1965. Ribka bercerita lewat bukunya, soal bagaimana kesulitan hidup pasca ayahnya ditangkap, berjualan sayur dan lemper, demi menghidupi keluarga,” katanya. “Jadi isinya penderitaan anak yang kebetulan ayahnya dituduh PKI. Gus Dur dalam kata pengantar buku itu menulis dengan alasan kemanusiaan, bahwa ada satu orang anak perempuan distigma PKI, sehingga mengalami berbagai hambatan di kehidupannya.’

Menurut Asvi, tak ada sama sekali di buku itu bahwa 85 persen PDI Perjuangan itu PKI.

“Kalau Alfian Tanjung menyatakan itu, harusnya dia diadili. Ini perlu ditekankan, meskipun ortunya dituduh PKI, anaknya belum tentu. Jadi hemat saya, jangan ada lagi tuduhan PKI di DPR atau di partai tertentu,” katanya.

Asvi membandingkan kisah Ribka dengan Okky Asokawati, mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini pindah ke Partai Nasdem. Okky adalah anak dari AKBP Anwas Tanuamidjaja, orang kedua setelah Letkol Untung, dalam peristiwa G30S/PKI. Okky pun mengalami penderitaan yang sama dengan Ribka karena ayahnya ditahan belasan tahun. Dengan topangan ibunya mengajar les piano, Okky berkarir sebagai peragawati, yang kerap dilakukannya sembari mengunjungi ayahnya di tahanan.

“Okky tak memilih ayahnya jadi komandan G30S. Tapi faktanya demikian. Okky sendiri bukan komunis dan bahkan solehah. Tak ada skandalnya sebagai bintang film, sebagai anggota DPR juga diteladani. Bukunya tak dipermasalahkan orang karena judulnya “Jangan Menoleh Ke Belakang’. Beda sama Ribka. Padahal ayahnya orang kedua di Gerakan 30 September. Tapi ini bukan salah Okky sehingga ayahnya ditangkap dan ditahan,” katanya..

Selain itu, kisah Reza Rahardian, aktor terkenal saat ini yang memiliki nenek bernama Fransisca Casparina Fanggidaej. Neneknya itu merupakan anggota Parlemen Indonesia yang kebetulan di tahun 1965 sedang berada di Beijing. Mengetahui situasi politik terkait PKI saat itu, Fransisca memilih bertahan dan tak kembali supaya anak serta keluarganya tak dikaitkan dengan PKI. Padahal, Fransisca sudah berjuang untuk kemerdekaan RI dan ikut terlibat di perjuangan 10 November 1945 di Surabaya.

“Dia dekat Soekarno, dan takut pulang. Selama 20 tahun di Tiongkok, lalu minta suaka ke Belanda. Dari sana dia mengabarkan ke keluarganya bahwa dia masih hidup. Bayangkan dia memendam rahasia 20 tahun. Bayangkan hidup anaknya di Indonesia. Dia khawatir kalau anaknya dia beritahu pada 1965, anak-anaknya ditangkap,” katanya.

Sama seperti anak keluarga terkait pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS, seharusnya anak-anak keluarga yang dikaitkan PKI tak menjadi korban. Sebab kesalahan orang tua tak seharusnya menjadi tanggung jawab anak dan cucu.

“Saya ingin katakan bahwa partai dan DPR itu bersih dari PKI. Jangan ada tuduhan lagi. Tak ada partai yang PKI sekarang ini. Kalau ada buktinya langsung laporkan ke bareskrim. Tak ada di parlemen kita itu PKI. Bahaya laten PKI adalah halusinasi menurut saya,” kata Asvi. [CHA/RED]