Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang melancarkan serangan besar-besaran ke Pearl Harbor, Hongkong, Filipina, dan Malaysia. Ini menandai awal dari perluasan agresif Jepang di Asia-Pasifik selama Perang Dunia II.
Serangan ini berlanjut dengan penyerbuan ke Indonesia pada 10 Januari 1942, yang kemudian diikuti oleh menyerahnya Belanda di Jawa pada 8 Maret 1942, dengan Gubernur Jenderal van Starkenborgh ditawan Jepang. Momen ini menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia【Ricklefs 2005: 402】.
Salah satu sasaran utama Jepang dalam Perang Pasifik adalah sumber minyak di Indonesia. Sejak serangan Pearl Harbor, Jepang segera bergerak untuk mengamankan wilayah-wilayah strategis yang kaya akan minyak.
Pada 16 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Miri, Kalimantan Utara, dan melanjutkan serangan ke Serawak pada 24 Desember 1941, sebelum menaklukkan Pontianak pada 28 Desember 1941.
Penaklukan Tarakan di Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942 menjadi langkah awal penting bagi Jepang dalam menguasai Hindia Belanda.
Pendudukan Jepang di Tarakan didorong oleh kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, khususnya minyak. Tarakan merupakan kota penting dengan 700 sumur minyak, penyulingan minyak, dan lapangan udara yang telah dikembangkan oleh Belanda.
Jepang memerlukan minyak bumi untuk mendukung kebutuhan perang mereka di Pasifik. Selain minyak, kota-kota di Kalimantan juga dikenal sebagai penghasil bahan mentah untuk industri dan mesin perang negara-negara Barat.
Keberadaan industri minyak bumi di Tarakan menjadi salah satu pemicu Perang Dunia II di Asia Pasifik. Tarakan menjadi prioritas utama Jepang karena lokasinya yang strategis sebagai basis terdekat dari Davao, Pulau Mindanao, Filipina Selatan.
Pada 10 Januari 1942, tentara Jepang tiba di Tarakan. Untuk merebut kota ini dari pasukan Belanda, pasukan Jepang mendarat dari dua sisi timur pulau. Unit Sayap Kanan mendarat di pantai dekat Sungai Amal dan menghancurkan pasukan Belanda di sana, sementara Unit Sayap Kiri mendarat lebih ke selatan di Tandjoeng Batoe dan maju ke barat untuk merebut Peningki-Karoengan.
Pada malam harinya, Letkol Simon de Waal memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan semua instalasi minyak di pulau itu. Sebanyak 100.000 ton minyak terbakar pada pukul 10:00 malam.
Pada 11 Januari 1942, pasukan Jepang mulai mendarat di bagian timur Tarakan, dan dengan serangan yang cepat dan mematikan, mereka memaksa Komandan Belanda di pulau itu menyerah pada 13 Januari 1942. Seminggu kemudian, pada 20 Januari 1942, Balikpapan yang kaya minyak juga jatuh ke tangan Jepang【SNI 1975: 1】.
Tarakan berada di bawah pendudukan Jepang hingga awal tahun 1945. Pulau yang kaya minyak ini dipertahankan oleh 2.300 serdadu Jepang yang dipimpin oleh Mayor Tadai Tokoi.
Namun, sejak April 1945, pasukan Sekutu bersiap untuk merebut kembali Tarakan. Pada 27 April 1945, Sekutu mulai menembakkan artileri ke arah Tarakan. Tentara Jepang telah menduga bahwa Tarakan akan menjadi medan pertempuran, sehingga pantai Lingkas dijadikan titik pendaratan tentara Australia.
Pada 29 April, kompi 2/13 yang memiliki sapper (serdadu perintis zeni) ditugaskan untuk merusak rintangan agar pasukan Sekutu mudah bergerak masuk. Penyerbuan pasukan Sekutu ke Tarakan dimulai pada 1 Mei 1945 di bawah pimpinan Brigadir David Whitehead.
Pada 19 Juni 1945, tentara Sekutu berhasil melumpuhkan dua serdadu Jepang di dekat Bukit, yang dianggap sebagai gangguan terakhir dari tentara Jepang di Tarakan. Dua hari kemudian, Whitehead menyatakan bahwa Tarakan sudah aman. Sementara itu, melalui Operasi Oboe II, Balikpapan juga berhasil dikuasai pasukan Sekutu【Agus Suprapto 1996】.
Dengan demikian, pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya di Tarakan, menjadi salah satu episode penting dalam sejarah Perang Dunia II di Asia-Pasifik. Kekayaan sumber daya alam Indonesia, terutama minyak, menjadi faktor utama yang mendorong agresi Jepang di wilayah ini. [UN]