Aksi Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) melawan penjajah Israel [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada awal bulan ini dengan menyebutkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu kegaduhan dunia. Keputusan itu terutama kembali memicu konflik di jalur Gaza, Palestina. Utusan perdamaian Timur Tengah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga mengakui ketegangan di perbatasan Palestina dan Israel semakin meningkat.

Akan tetapi, konflik Palestina dan Israel ini sejak lama seolah-olah hanya persoalan perbatasan dan perebutan wilayah. Padahal, tidak demikian. Persoalan utamanya adalah Israel yang didukung negeri-negeri imperialis seperti AS, Inggris menguasai dan menjajah Palestina. Pendeknya, Israel merupakan negara penjajah yang menguasai wilayah bangsa Palestina.

Lantas bagaimana kisah itu bermula? Pada mulanya kisah Israel berawal dari kesepakatan yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Deklarasi itu disepakati menjelang Perang Dunia I (1914 – 1918) akan berakhir. Tepatnya pada November 1917. Ketika itu Inggris melalui Menteri Luar Negeri Arthur Balfour yang menandatangani perjanjian tersebut.

Perjanjian itu memberi mandat bahwa negara-negara yang kalah perang meliputi Jerman, Austria, Hongaria dan Kekaisaran Ottoman memberikan seluruh kekuasaan wilayahnya kepada para pemenang yaitu Inggris dan negara sekutunya seperti Perancis dan Italia. Karena mandat itu pula, Inggris lalu menguasai sebagian besar wilayah Palestina karena bekas jajahan Kekaisaran Ottoman.

Sejak itu, alih-alih merdeka, Palestina justru kembali menjadi daerah jajahan Inggris. Mereka pula yang membantu menumbuhkan komunitas Yahudi. Tersebar di beberapa pedesaan baru, lingkungan perkotaan dan pemukiman kota. Kendati tidak berhubungan langsung, namun keberadaan komunitas ini menjadi faktor penting dalam berdirinya gerakan Zionis dunia.

Pada 1920, Inggris menciptakan kerangka politik yang baru, terutama menciptakan wilayah-wilayah perbatasan sehingga memicu konflik penduduk Yahudi yang menciptakan permukiman dengan penduduk asli Palestina (Arab). Gerakan Zionis yang dibangun Inggris ini merupakan gerakan rasis dan kolonialis yang bersekutu dengan imperialisme di Eropa.

Kendati Deklarasi Balfour dibuat di akhir abad ke-19 – terutama setelah periode 1917 – menjadi faktor penting sebagai sejarah awal terciptanya penjajahan di Palestina. Sejak itu pula rakyat Palestina melawan skema penjajahan yang diciptakan Inggris itu. Perlawanan yang telah merentang panjang dan mencapai sekitar 100 tahun. Menurut Leila Khaled, tokoh Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), perlawanan rakyat Palestina itu terjadi sejak 1922, 1929 dan 1936. Perjuangan itu lalu berlanjut pada 1948 dan tahun-tahun berikutnya.

“Pada 1936, warga Palestina mengorganisasi pemogokan umum terlama di dunia. Berdasarkan sejarah, pemogokan itu menuntut pembebasan dari kolonialisme Inggris dan Zionis,” tutur Leila dalam sebuah pertemuan di Filipina pada akhir 2015.

Melawan Imperialisme
Leila bercerita, sebagai rakyat Palestina, yang mereka hadapi hari ini adalah negara Israel – negara penjajah – yang merupakan ciptaan gerakan Zionis dunia. Akan tetapi, Israel bukanlah satu-satunya musuh. Palestina, kata Leila, juga menghadapi imperialisme AS yang merupakan sekutu strategis dan negara aktif yang menyerang rakyatnya. Tanpa AS, negara Zionis tidak akan eksis di tanah Palestina.

“Di samping itu, kami juga menghadapi rezim reaksioner Arab yang beroperasi atas perintah imperialisme AS. Itu sebabnya, perjuangan Palestina bukanlah perjuangan sendiri melainkan perjuangan bangsa Arab untuk pembebasan, untuk persatuan, untuk penentuan nasib sendiri,” kata Leila menambahkan.

Selain salah seorang tokoh Partai Komunis Palestina, Leila juga dikenal sebagai tokoh pejuang pembebasan Palestina. Ia awalnya bergabung dengan Gerakan Nasionalis Arab yang dimotori George Habash, tokoh pendiri PFLP. Usianya ketika itu masih terbilang masih muda: 15 tahun. Ia bergabung dengan PFLP pada 1967. Leila terlibat dalam dua operasi pembajakan pesawat yaitu pembajakan pesawat maskapai Trans World Airlines pada Agustus 1969; pembajakan pesawat milik Israel, El Ai, September 1970.

Seperti yang diceritakan Leila, aksi tersebut memiliki dua tujuan pokok: pertama, aksi ini ditujukan kepada dunia tentang eksistensi Bangsa Palestina. Tujuan kedua, aksi itu adalah membebaskan seluruh tahanan politik Palestina di penjara Israel. Menanggapi pernyataan Trump pada awal Desember lalu, partai Leila menilainya sebagai sebuah deklarasi perang terhadap rakyat Palestina. Juga menjelaskan posisi AS sebagai sekutu Zionis yang merupakan musuh rakyat Palestina.

Berdasarkan fakta itu, PFLP meminta massa rakyat Palestina beserta organisasinya untuk menyatukan upaya mereka dan menanggapinya secara kolektif, praktis dan tegas melalui tindakan. Strategi ini penting untuk menghadapi skema rezim imperialisme, Zionisme dan rezim reaksioner Arab. [Kristian Ginting]