Paracetamol. (Pexels)

Setiap kali kepala terasa nyut-nyutan atau tubuh mulai meriang, banyak orang tanpa pikir panjang langsung meraih sebutir paracetamol. Obat ini telah menjadi andalan bagi banyak keluarga di seluruh dunia dalam meredakan sakit kepala ringan, demam, hingga gejala flu.

Namun, di balik popularitasnya yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari, paracetamol menyimpan sejarah panjang dan menarik yang jarang diketahui publik.

Apa Itu Paracetamol?

Paracetamol, yang dalam dunia medis juga dikenal sebagai asetaminofen, merupakan obat yang bersifat analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam).

Berbeda dengan aspirin maupun ibuprofen yang juga memiliki efek antiradang, paracetamol tidak memiliki sifat antiinflamasi. Itulah sebabnya obat ini tidak termasuk dalam golongan OAINS (Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid).

Meskipun paracetamol tidak ampuh untuk mengatasi peradangan, obat ini tetap menjadi pilihan utama karena keampuhannya dalam mengatasi nyeri ringan hingga sedang, seperti sakit kepala, nyeri gigi, nyeri otot, hingga demam yang muncul akibat flu atau infeksi ringan.

Selain itu, paracetamol dianggap lebih aman bagi lambung, karena tidak menimbulkan iritasi seperti yang biasa terjadi pada konsumsi aspirin atau ibuprofen.

Jejak Panjang Sejarah Paracetamol

Asal mula nama “paracetamol” berasal dari versi singkatan kimiawi, dalam versi Amerika disebut N-asetil-para-aminofenol (acetaminophen), sedangkan dalam versi Inggris dikenal sebagai para-asetil-amino-fenol (paracetamol). Meski baru dikenal luas pada era 1990-an, akar sejarah paracetamol sebenarnya sudah mulai tumbuh lebih dari satu abad sebelumnya.

Tahun 1877 menjadi titik awal penting ketika Harmon Northrop Morse, seorang kimiawan dari Universitas John Hopkins, berhasil mensintesis paracetamol dari senyawa p-nitrofenol dengan reduksi menggunakan timah dalam larutan asetat glasial. Namun, pada masa itu, paracetamol belum digunakan untuk pengobatan medis, melainkan sekadar hasil eksperimen laboratorium.

Baru satu dekade kemudian, pada 1887, seorang ahli farmakologi klinis bernama Joseph von Mering mencoba memberikan paracetamol kepada manusia. Hasil percobaannya kemudian ia publikasikan dalam sebuah makalah pada 1893.

Dalam laporan tersebut, von Mering membandingkan paracetamol dengan phenacetin, dan menyimpulkan bahwa paracetamol memiliki efek samping berupa methemoglobinemia, sebuah kelainan darah akibat meningkatnya kadar methemoglobin, yang bisa mengganggu distribusi oksigen dalam tubuh.

Kesimpulan von Mering ini membuat para peneliti dan praktisi medis kala itu lebih memilih phenacetin dibanding paracetamol. Selama hampir setengah abad, anggapan ini tidak diganggu gugat.

Pandangan von Mering akhirnya mulai diruntuhkan pada akhir 1940-an, ketika dua peneliti asal Amerika Serikat, David Lester dan Leon Greenberg, melakukan analisis terhadap metabolisme obat-obatan seperti asetanilida dan phenacetin.

Pada tahun 1947, mereka menemukan bahwa paracetamol sebenarnya adalah metabolit utama dari asetanilida, dan dalam dosis besar tidak menimbulkan efek samping berbahaya seperti methemoglobinemia, setidaknya pada uji coba terhadap tikus albino.

Penelitian ini diperkuat pada 1948 oleh tiga ilmuwan lainnya, Bernard Brodie, Julius Axelrod, dan Frederick Flinn yang memastikan bahwa paracetamol tidak hanya aman, tetapi juga manjur sebagai analgesik.

Penemuan ini membuka jalan bagi kepercayaan baru terhadap paracetamol, yang akhirnya mengantar obat ini masuk ke dalam pasar medis.

Setelah dianggap aman dan efektif, paracetamol pertama kali dipasarkan di Amerika Serikat pada tahun 1950 dalam bentuk kombinasi Triagesic, yang mencampurkan paracetamol dengan aspirin dan kafein.

Dua tahun berselang, obat ini mulai tersedia sebagai obat resep dokter, lalu secara bertahap menyebar ke negara-negara lain.

Di Inggris Raya, paracetamol hadir sejak 1956 melalui produk bernama Panadol, yang kala itu hanya tersedia melalui resep dokter. Namun pada tahun 1963, status paracetamol semakin diperkuat setelah ditambahkan ke dalam daftar British Pharmacopoeia, semacam acuan resmi untuk obat-obatan di Inggris.

Sejak saat itu, paracetamol mulai dikenal luas, dipasarkan bebas, dan akhirnya juga dikonsumsi secara luas di Indonesia hingga kini.

Manfaat dan Penggunaan

Sebagai obat yang termasuk dalam kategori over-the-counter (OTC), paracetamol kini dapat dibeli tanpa resep dokter di hampir seluruh apotek dan toko obat. Beberapa manfaat utama paracetamol antara lain:

1. Meredakan nyeri ringan hingga sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri punggung, dan nyeri haid.

2. Menurunkan demam, baik pada anak-anak maupun dewasa.

3. Membantu meredakan gejala flu dan pilek, terutama saat disertai rasa tidak nyaman di tubuh.

Meski paracetamol tergolong aman, penggunaan berlebihan atau tidak sesuai dosis tetap bisa menimbulkan risiko, seperti kerusakan hati.

Oleh karena itu, penting untuk membaca aturan pakai, memperhatikan dosis maksimal, dan tidak mengonsumsinya bersamaan dengan obat lain yang juga mengandung paracetamol.

Paracetamol mungkin tampak sebagai obat sederhana dan akrab dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sejarah panjangnya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang dan terus mengoreksi dirinya.

Dari sekadar eksperimen laboratorium di abad ke-19, hingga kini menjadi penyelamat sehari-hari bagi banyak orang di dunia, paracetamol telah melalui perjalanan ilmiah yang panjang sebuah bukti bahwa obat yang sederhana pun menyimpan kisah luar biasa. [UN]