Pandemi flu Spanyol pada 1918/History

Koran Sulindo – Pada 2018 lalu menandai 100 tahun apa yang disebut sebagai pandemi influenza 1918. Dan secara luas diakui sebagai krisis kesehatan atau penyakit menular yang paling mematikan dalam sejarah manusia. Berbagai penelitian dilakukan setelah pandemi yang dikenal sebagai flu Spanyol itu berlalu. Hasilnya flu ini muncul oleh sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.

Sekitar seabad sebelumnya, Asia mengalami pandemi kolera dalam rentang waktu 1817 hingga 1824. Itu disebut sebagai pandemi kolera terbesar pertama pada abad ke-19. Ketika itu, kolera nyaris menulari semua negara-negara di Asia. Kasus awal kolera ditemukan kali pertama di Purnia, Bihar, India timur pada 1816.

Pandemi ini diyakini berawal dari Kota Jessore, Kolkata pada 1817. Seorang ahli bedah dalam Asiatic Cholera Pandemic of 1817-1823 melaporkan tingginya penyakit pada saluran percernaan pasiennya. Itu menarik perhatian dan akhirnya menemukan beras sebagai sumber penyebaran penyakit. Di samping muntah dan diare, ribuan orang kritis dan meninggal termasuk tentara Inggris yang ketika mampir di Bengala.

Dari situ, kolera segera menyebar dengan cepat ke seluruh negeri dan tiba di Srilanka pada 1818. Lalu, penyebaran kolera terus berlanjut hingga menulari tentara Afghanistan dan Nepal yang sedang berperang melawan Inggris di sepanjang perbatasan utara India. Kolera juga dengan cepat melintasi jalur darat dan segera tiba di Myanmar.

Dari sana bersamaan dengan pelayaran kapal, kolera segera menyebar ke Sumatra dan Jawa, Filipina, Tiongkok, Jepang dan daratan Asia Tenggara. Penyakit kolera juga dibawa pasukan Inggris yang tiba di Muskat (Oman) pada 1821. Dari Muskat, penyakit ini dibawa oleh pedagang budak ke sepanjang pantai timurAfrika. Pandemi ini benar-benar menjangkiti hampir seluruh negara di Asia dan ujungnya tiba di Astrakhan, Rusia selatan.

Persis seperti penyebaran corona virus sekarang ini, kecepatan penyebaran penyakit ini dan menyerang hampir semua populasi di dunia sungguh mengejutkan. Kolera menjadi endemi di sebagian negara-negara Asia dan terus menyebabkan penderitaan di beberapa kota yang menjadi bagian dari Rusia. Pandemi ini menandai penyebaran pertama penyakit di luar India dan menyebabkan korban hingga ratusan ribu orang. Juga berdampak sangat luas.

Pandemi kolera sama sekali tak diduga. Pandemi yang merupakan konsekuensi alami akibat dari perubahan sosial, politik, ekonomi, militer dan teknologi yang berdampak dramatis terhadap masyarakat dunia. Yang berkontribusi dan ikut mempercepat penyebaran penyakit menular secara global.

Globalisasi demikian ditulis dalam 1818, 1918, 2018: Two Centuries of Pandemics yang dimuat situs liebertpub.com merupakan faktor utama di balik penyebaran pandemi kolera dan flu Spanyol pada 1918. Dan itu jelas mewakili kekuatan global yang menggerakkan pasukan militernya lintas benua.

Pada abad ke-19, Kerajaan Inggris menggunakan pasukan dan angkatan lautnya secara luas untuk memajukan kepentingan kolonialnya. Mereka mengkapling-kapling dunia secara militer atau lewat perdagangan komersial semisal dengan East India Company. Semuanya ini berperan memfasilitasi penyebaran kolera di Bengala. Di sana sekitar 764 tentara Inggris tewas karena kolera. Sementara, wabah itu menewaskan ribuan rakyat India.

Pasukan Inggris ini kemudian ditarik ke Muskat, Oman pada periode 1820-1821 untuk memadamkan pemberontakan. Tapi, tanpa sadar mereka justru menyebarkan kolera ke Zanzibar, Tanzania dan Basra, Irak. Kemudian, kolera segera menyebar ke Semenanjung Arab.

Peran Militer
Pun demikian ketika pandemi flu Spanyol pecah pada 1918. Sulit untuk dibantah peran militer yang mempercepat penyebaran penyakit menjadi sangat jelas selama Perang Dunia I. Terutama dengan kehadiran pasukan Amerika Serikat dalam perang itu. Gara-gara pandemi flu Spanyol ini, menewaskan sekitar 50 juta hingga 100 juta orang di seluruh dunia.

Bahkan diyakini jumlah tentara AS yang tewas mayoritas disebabkan flu Spanyol ketimbang tewas di medan perang. Dalam periode 1918 hingga 1919 diperkirakan sekitar 675 ribu orang Amerika dari berbagai latar belakang termasuk militer dan sipil tewas karena flu Spanyol. Dan kemungkinan pada waktu itu sekitar 25 juta dari jumlah populasi AS kemungkinan telah terinfeksi flu itu. Tingkat kematian karena flu Spanyol tak lebih dari 3%.

Tak hanya di Eropa dan Amerika. Seperti wabah kolera seabad sebelumnya, flu Spanyol ini juga mampir di Hindia Belanda. Situs karosiadi.com dengan mengutip tulisan Historia berjudul Seabad Flu Spanyol menyebutkan jumlah korban tewas karena flu Spanyol mencapai 1,5 juta jiwa. Asal virus flu ini masih menjadi perdebatan, karena ketika wabah flu Spanyol merebak, bersamaan dengan Perang Dunia I.

Di Sierra Leone, Afrika Barat, jumlah yang tewas karena flu Spanyol diperkirakan mencapai 3% hingga 6% dari populasi Afrika. Jumlah ini lebih tinggi ketika wabah Ebola terjadi pada 2014 yang menewaskan 1% dari populasi Afrika. Sementara di India, wabah flu Spanyol menewaskan 13 juta hingga 17 juta jiwa atau sekitar 6% dari populasi negara itu.

Dari dua pandemi yang berjarak sekitar seabad antara satu dengan yang lainnya itu, tentu saja tetap memiliki perbedaan. Kolera berasal dari pedesaan Asia Selatan dan umumnya yang menderita karena penyakit ini berhubungan dengan kebersihan yang buruk dan lazim terjadi di daerah-daerah miskin. Di New York, AS, misalnya, korban meninggal karena kolera hanya 3.515 dari jumlah populasi sekitar 250 ribu penduduk saat itu.

Berbeda dengan wabah flu Spanyol yang tidak mengenal struktur sosial. Mulai dari orang miskin hingga presiden bisa terinfeksi. Walau tetap saja populasi yang paling rentan terinfeksi adalah orang-orang yang berada di lingkungan yang buruk secara sanitasi dan kaum miskin kota.

Berjarak 100 tahun lebih dari pandemi flu Spanyol, wabah dengan nama lain kini menghantui dunia. Persis seperti sebelum-sebelumnya, asal muasal virus yang disebut corona ini menjadi perdebatan. Tetapi, bahwa kehadiran flu dan penyebarannya sama dengan sekitar 100 tahun lalu yang berkelindan dengan kepentingan politik, ekonomi, militer dan teknologi global.

Perdebatan asal virus corona, misalnya. President and Director of the Centre for Research on Globalization Michel Chossudovsky dalam Coronavirus COVID-19: “Made in China” atau “Made in America”? mempertanyakan secara kritis asal muasal virus tersebut. Pemerintahan AS secara tegas menuduh virus tersebut berasal dari Tiongkok karena kasus pertama terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei.

Akan tetapi, beberapa peneliti dari Tiongkok dan Jepang menolak klaim itu. Sebuah analisis ilmiah menyebut virus corona berasal dari AS. Dengan mengutip laporan berita Asahi Jepang, Chossudovsky menyebut virus corona berasal dari AS bukan Tiongkok. Bahkan beberapa kematian dari 14 ribu kasus diduga karena flu yang mungkin disebabkan virus corona.

Belum lagi tentang latar belakang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam menetapkan wabah virus corona sebagai pandemi global. Ketika WHO menetapkan virus corona sebagai pandemi pada akhir Januari lalu, jumlah orang terinfeksi masih mencapai 9.066 orang dan yang terduga sekitar 12.167 orang. Jumlah kematian sekitar 213 orang.

Bahkan per 30 Maret 2020 situs CSSE John Hopkins University mencatat, jumlah yang terinfeksi sekitar 722.435 orang di seluruh dunia. Lalu angka yang meninggal sekitar 33.997 orang. Tak perlu dibandingkan dengan pandemi kolera sekitar 200 tahun lalu dan pandemi flu Spanyol sekitar 100 tahun lalu.

Dibandingkan dengan Tiongkok, tingkat kematian akibat stroke mencapai 180 ribu orang per tahun, serangan jantung 150 ribu per tahun, kanker paru-paru 60 ribu orang. Sementara tingkat kematian karena virus corona baru mencapai 3.308. Benar. Ini bukanlah angka statistik yang pantas untuk diperbandingkan satu dengan lainnya.

Dalih
Akan tetapi, sejak sekitar 200 tahun lalu, pandemi bertaut dengan globalisasi yang menjadi konsekuensi alami dari perubahan sosial, politik, ekonomi, militer dan teknologi yang berdampak dramatis terhadap masyarakat dunia. Yang berkontribusi dan ikut mempercepat penyebaran penyakit menular secara global.

Ilustrasi virus corona buatan AS atau Tiongkok?/Fortune

Dunia saat ini, kata Chossudovsky, berada di persimpangan krisis sosial dan ekonomi paling serius dalam sejarah modern umat manusia. Masyarakat dunia disesatkan dan diberitahu tentang informasi yang salah: bahwa ini akan menjadi lebih buruk. Virus corona jelas bukan penyebab krisis ekonomi dan sosial yang sedang terjadi.

Virus corona menjadi dalih untuk menjalankan skenario “operasi” secara hati-hati. Yang ingin mengacaukan perekonomian nasional, memiskinkan rakyat dunia secara umum dan benar-benar merusak kehidupan jutaan orang. Yang kita hadapi saat ini adalah “aksi perang” kekuatan global.

Virus corona adalah masalah kesehatan serius tentu saja. Yang diperlukan untuk itu sebuah program kesehatan masyarakat bersifat pencegahan dan mampu menyembuhkan penyakit pasien yang dikoordinasikan secara hati-hati. [Kristian Ginting]