Wonosobo tempo dulu. (Foto: Pemkab Wonosobo)

Pada tanggal 24 Juli 2025, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, memperingati hari jadinya yang ke-200 tahun. Dua abad perjalanan bukanlah sekadar angka, melainkan jejak panjang sejarah, perjuangan, dan kearifan lokal yang membentuk wajah Wonosobo hingga hari ini.

Perjalanan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kisah tiga pengembara di awal abad ke-17 yang menjejakkan kaki di kawasan pegunungan tengah Pulau Jawa dan kemudian menetap di tiga titik berbeda yang kelak menjadi cikal bakal pusat-pusat kehidupan di wilayah ini.

Melansir laman resmi Pemkab Wonosobo, ketiga pengembara itu adalah Kyai Kolodete, Kyai Karim, dan Kyai Walik. Mereka datang ke wilayah yang masih berupa hutan belantara dan tanah-tanah terbuka.

Kyai Kolodete memilih menetap di kawasan Dataran Tinggi Dieng, sebuah wilayah yang dikenal angker dan berkabut, namun memiliki potensi spiritual yang kuat.

Sementara Kyai Karim membuka permukiman di daerah sekitar Kalibeber, dan Kyai Walik memilih menetap di wilayah yang kini menjadi pusat pemerintahan Wonosobo, yaitu kawasan Kota Wonosobo.

Dari ketiga tokoh awal ini, lahirlah generasi-generasi penerus yang kemudian dikenal sebagai para penguasa lokal di seputaran wilayah Wonosobo. Salah satu keturunan Kyai Karim yang menonjol adalah cucunya yang dikenal dengan nama Ki Singowedono.

Dalam perkembangan sejarah, Ki Singowedono mendapat hadiah berupa wilayah di Selomerto dari Keraton Mataram. Atas pemberian itu, ia kemudian diangkat menjadi pemimpin lokal dengan gelar Tumenggung Jogonegoro.

Hingga saat ini, jejak sejarah Tumenggung Jogonegoro masih bisa ditelusuri, salah satunya melalui makamnya yang terletak di Desa Pakuncen, Kecamatan Selomerto.

Dari kawasan Selomerto pula, dipercaya lahirnya nama Wonosobo. Banyak pihak meyakini bahwa nama “Wonosobo” berasal dari sebuah dusun kecil yang berada di Desa Polobangan, Selomerto.

Dusun itu bernama Wanasaba, yang didirikan oleh seorang tokoh bernama Kyai Wanasaba. Nama dusun ini diyakini mengalami transformasi fonetik dan linguistik hingga menjadi “Wonosobo” seperti yang dikenal sekarang.

Meskipun dusun tersebut relatif kecil, keberadaannya masih lestari hingga hari ini dan menjadi salah satu titik penting dalam sejarah spiritual masyarakat Wonosobo.

Dusun Wanasaba tidak hanya menyimpan nilai historis, tetapi juga menjadi lokasi ziarah yang ramai dikunjungi, terutama bagi mereka yang ingin mendoakan para tokoh penyebar agama Islam dan pemuka masyarakat.

Di dusun ini terdapat sejumlah makam tokoh penting seperti Kyai Wanasaba, Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji. Keempatnya merupakan sosok yang memiliki peran penting dalam sejarah spiritual dan sosial masyarakat Wonosobo masa lampau.

Tak hanya dalam fase pembentukan permukiman, sejarah Kabupaten Wonosobo juga memiliki keterkaitan erat dengan salah satu babak penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu Perang Diponegoro (1825–1830).

Dalam kurun waktu tersebut, wilayah Wonosobo menjadi salah satu basis perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Sejumlah tokoh lokal bangkit bersama pasukan Pangeran Diponegoro, berjuang dari pedalaman gunung dan lembah demi mempertahankan harga diri bangsa.

Tokoh-tokoh seperti Imam Misbach (yang juga dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun), Tumenggung Mangkunegaran, dan Gajah Permodo merupakan figur penting dalam barisan pendukung Diponegoro di wilayah Wonosobo.

Di antara mereka, sosok Kyai Muhammad Ngarpah menjadi salah satu pejuang yang paling dikenang. Dalam salah satu pertempuran melawan pasukan Belanda, Kyai Muhammad Ngarpah berhasil meraih kemenangan gemilang yang membuatnya mendapatkan gelar kehormatan sebagai Tumenggung Setjonegoro.

Sebagai Tumenggung Setjonegoro, Kyai Muhammad Ngarpah memulai kepemimpinannya dari daerah Ledok, Kecamatan Selomerto.

Namun, seiring dengan kebutuhan strategis dan pertumbuhan wilayah, ia kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan yang kini dikenal sebagai Kota Wonosobo. Langkah besar inilah yang menandai awal berdirinya Kabupaten Wonosobo sebagai satuan pemerintahan yang lebih terorganisir.

Dalam upaya merekonstruksi sejarah resmi berdirinya Kabupaten Wonosobo, dilakukan kajian mendalam oleh tim akademisi dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kajian ini berlangsung melalui diskusi ilmiah dan seminar bersama para pemangku kebijakan lokal, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), tokoh-tokoh masyarakat, para sesepuh, serta pimpinan DPRD.

Hasil dari kajian tersebut menyepakati bahwa tanggal 24 Juli 1825 adalah hari yang paling layak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Wonosobo.

Sejak saat itu, tanggal 24 Juli diperingati setiap tahunnya sebagai hari lahir kabupaten yang dikenal berhawa sejuk dan kaya potensi wisata ini.

Tahun 2025 menjadi momen istimewa karena Wonosobo merayakan dua abad usianya, sebuah peristiwa langka dan monumental yang tak sekadar seremoni, tetapi sekaligus perenungan akan perjalanan panjang yang telah dilalui, serta arah masa depan yang akan dituju.

Dalam peringatan Hari Jadi ke-200 ini, Pemerintah Kabupaten Wonosobo menetapkan tema:

“Dwi Abad Wonosobo Kukuh Ing Tembayatan, Unggul Ing Samukawis, Tumuju Wonosobo Raharjo, Adil Lan Makmur.”

Terjemahan dari semboyan ini adalah:

“Dua Abad Wonosobo, Menguatkan Sinergi, Menambah Prestasi, Menuju Wonosobo Sejahtera, Adil dan Makmur.”

Tema ini bukan sekadar untaian kata indah, melainkan cerminan semangat kolektif warga Wonosobo untuk memperkuat kebersamaan (tembayatan), meningkatkan berbagai capaian pembangunan dan sosial (samukawis), serta melangkah mantap menuju masa depan yang lebih baik yaitu Wonosobo yang sejahtera, adil, dan makmur dalam kehidupan masyarakatnya.

Dua abad adalah capaian penting, tetapi juga menjadi titik tolak untuk menatap jauh ke depan. Dari jejak para pengembara awal, semangat para pejuang, hingga kerja keras masyarakat masa kini, Wonosobo telah menjelma menjadi kabupaten yang dinamis dan bermartabat. [UN]