KRISIS Minyak goreng menjadi momok untuk para ibu dan pengusaha makanan karena minyak goreng sempat menghilang dari pasar. Minyak goreng yang merajai pasar saat ini adalah minyak yang didapat dari hasil proses olahan sawit. Atau lebih dikenal sebagai Minyak Goreng Sawit.
Minyak goreng sawit dalam SNI 7709:2019 merupakan bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak kelapa sawit (RBDPO), yang telah melalui proses fraksinasi, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan, serta mengandung vitamin A dan/atau provitamin A.
Dibawa bangsa Eropa
Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia dibangun pada 1911 di Sumatera Utara. Kebun sawit pun semakin luas sehingga pada 1974, di Sumatera saja sudah ada lebih dari 170 ribu hektare.
Pada awalnya pohon sawit yang ternyata cocok ditanam di Indonesia ini dibawa dari Kebun Raya Bogor dan di Sumatera awalnya sebagai tanaman peneduh pinggir jalan. Karena berbuah baik, Belanda pun memutuskan untuk membuat perkebunannya.
Lalu sejak 1979, pemerintah Indonesia pun mulai memilih untuk mengembangkan produksi minyak dari sawit alih-alih minyak kelapa. Apalagi, minyak kelapa sawit juga mulai diminati pasar internasional.
Pada 1984, pemerintah pun semakin yakin menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan untuk memproduksi minyak dan mulai meninggalkan kelapa biasa. Sejak saat itulah, perkebunan kelapa sawit jumlahnya semakin banyak di Indonesia meski dampaknya cukup buruk untuk kelestarian alam.
Lalu, dengan apa orang Indonesia sebelumnya menggoreng?
Hingga 1960-an, orang Indonesia masih terbiasa menggoreng dengan minyak kelapa murni. Bahannya adalah daging buah kelapa tua yang kemudian dijadikan kopra dan akhirnya diolah jadi minyak goreng kelapa.
Indonesia punya garis pantai yang sangat panjang dan ditumbuhi oleh jutaan pohon kelapa. Karena itu tidak heran jika nenek moyang kita sudah menggunakan minyak kelapa atau dulu di Jawa disebut minyak klentik, untuk dijadikan sebagai minyak goreng.
Masa-masa penggunaan minyak kelapa sebagai bahan baku minyak goreng mulai tampak redup atau berakhir di dekade 1990-an. Saat itu minyak kelapa semakin hilang di pasaran.
Ternyata, hal ini disebabkan karena perang dagang dengan negara-negara Barat sebagai produsen minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak jagung, minyak canola.
Pihak kompetitor menggunakan trik menyebarkan isu negatif bahwa minyak kelapa menjadi sumber dari segala penyakit. Ahli gizi di Indonesia maupun negara produsen minyak kelapa lainnya tidak mampu membantah isu tersebut sehingga minyak kelapa dijauhi dan ditakuti oleh konsumen.
Selain karena black campaign, minyak goreng kelapa juga dianggap kurang kompetitif harganya atau kurang ekonomis. Harga jual bahan baku yaitu kelapa mentah relatif tinggi sehingga lebih menguntungkan menjual kelapa mentah dibandingkan mengolah dan menjual dalam bentuk minyak goreng.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), menyebutkan, sebelum tahun 1978, minyak goreng yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara adalah minyak kelapa. Namun, adanya perang dan kebijakan pembatasan/kontrol komoditas tanaman di Filipina untuk tanaman kelapa mengakibatkan produksinya menurun dan harganya melonjak tinggi.
Jika ditarik garis sejarah, yang mengenalkan sawit ke Indonesia justru orang-orang dari Eropa, terutama Inggris dan Belanda.
Saat revolusi Industri di Inggris berkembang, minyak sawit sangat dibutuhkan untuk menggantikan minyak hewan yang pasokannya sangat terbatas dan harganya mahal. Karena susah mendapatkan minyak sawit yang diproduksi Inggris, pemerintah Belanda lantas memerintahkan para ahli mereka untuk membawa dan mengembangkan tanaman sawit ke Indonesia.
Sejak saat itu, dengan dicarinya alternatif minyak nabati lain sebagai bahan baku minyak goreng. Minyak sawit pun muncul sebagai salah satu alternatif bahan baku minyak goreng khususnya di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia.
Sebagai industri
Catatan sejarah De Olie Palm dan Investigations on Oil Palms menyebutkan introduksi kelapa sawit ke Indonesia untuk pertama kali terjadi tahun 1848 hingga dikembangkan perkebunan komersial di Pulo Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) tahun 1911.
Tujuan awal dari pengembangan perkebunan sawit di Indonesia adalah untuk menghasilkan minyak sawit yang kemudian diekspor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Eropa di masa Revolusi Industri.
Namun, seiring dengan ditemukannya teknologi pemisahan minyak sawit pada tahun 1974 dan mulai diterapkan di Indonesia tahun Teknologi pemisahan minyak sawit menghasilkan liquid fraction atau palm olein dan solid fraction atau palm stearin.
Fase cair pada palm olein merupakan bahan baku pembuatan minyak goreng sawit. Minyak goreng sawit memiliki beberapa keunggulan seperti stabilitas pada suhu tinggi selama penggorengan (tahan panas), baik terhadap oksidasi atau proses degradasi lainnya sehingga menjadi minyak goreng sawit mempunyai umur pakai yang lebih lama.
Selain itu, minyak goreng sawit juga tidak berbau, tidak ada rasanya dan dapat menghasilkan makanan lebih enak dan lebih crispy (jika digoreng dengan teknik deep frying).
Dengan keunggulan dan karakteristik demikian, minyak goreng sawit dapat digunakan pada praktik memasak dari mulai menumis (shallow frying), menggoreng (frying) dan menggoreng pada suhu tinggi (deep frying).
Sedangkan minyak goreng kelapa tidak dapat dipakai pada suhu tinggi atau hanya bisa dipakai pada api sedang sekitar 185 derajat selsius karena akan menyala.
Kandungan vitamin A (beta carotene) yang sangat tinggi pada minyak sawit juga membuat minyak goreng sawit menjadi spesial.
Namun, karena preferensi konsumen Indonesia yang lebih dahulu mengenal minyak goreng dari kelapa yang jernih dan bening serta ketidaktahuan budaya minyak sawit merah dari bangsa Afrika lah yang membuat industri memproduksi minyak goreng sawit dengan warna jernih kuning keemasan.
Untuk meningkatkan preferensi konsumen Indonesia terhadap minyak goreng sawit pada masa itu hingga dibuat kampanye dan promosi minyak sawit sebagai golden oil yang berwarna jernih kuning keemasan.
Hal ini berimplikasi pada dihilangkannya kandungan beta carotene yang mengakibatkan pigmen warna orange kemerahan. [S21]