Sejarah Kirab Malam Satu Suro Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Kawanan Kerbau Bule keturunan Kerbau Pusaka Keraton Kiai Slamet membuka jalan bagi rombongan Kirab Peringatan Malam 1 Suro Keraton Surakarta Hadiningrat di Jalan Mangkubumen Sasono Mulyo, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/10/2014). (Antara Foto/Maulana Surya)

Kirab malam Satu Suro adalah sebuah tradisi penting yang telah berlangsung selama ratusan tahun di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tradisi ini berawal dari kebiasaan Raja Pakubuwono X yang memerintah antara tahun 1893 hingga 1939.

Beliau rutin berkeliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat kliwon menurut penanggalan Jawa. Kebiasaan ini kemudian menjadi tradisi yang dilestarikan hingga kini, dimana makna dari kirab ini adalah sebagai permohonan keselamatan dan sarana introspeksi agar menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Kirab malam Satu Suro juga tidak bisa dipisahkan dari kehadiran kebo bule, atau kerbau bule, yang bernama Kyai Slamet. Nama ini berasal dari salah satu pusaka tombak milik Keraton Solo yang dibawa oleh Pakubuwono X saat berkeliling.

Kebo bule ini awalnya merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo, Kyai Hasan Besari Tegalsari, kepada Pakubuwono II. Kebo bule ini dipercaya membawa anugerah dan keselamatan, sehingga kehadirannya sangat dinantikan oleh masyarakat.

Pada saat kirab malam Satu Suro, ribuan orang memadati sepanjang rute kirab yang biasanya dimulai pada pukul 23.00 WIB. Rutenya meliputi berbagai jalan utama di Solo, dimulai dari Keraton Solo dan berakhir kembali di sana setelah melewati berbagai titik penting di kota.

Masyarakat sangat antusias mengikuti acara ini, bahkan banyak yang mencoba menyentuh kebo bule atau mengambil air jamasan serta kotoran kebo bule yang dipercaya membawa keberuntungan.

Para peserta kirab mengenakan pakaian hitam. Pria mengenakan busana adat Jawa atau busana Jawi jangkep, sedangkan wanita mengenakan kebaya hitam. Barisan depan kirab diisi oleh kebo bule dan pawangnya, diikuti oleh abdi dalem, putra-putri raja, dan kerabat Keraton Solo yang membawa sepuluh pusaka keraton.

Uniknya, selama prosesi kirab berlangsung, para peserta dilarang berbicara satu sama lain, yang disebut tapa bisu, sebagai bentuk perenungan diri atas apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir. [UN]