Ada kisah dalam sejarah yang terlalu pedih untuk diulang, tapi terlalu penting untuk dilupakan. Salah satunya adalah apa yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, sebuah negeri kecil di jantung Afrika yang sempat tenggelam dalam lautan darah, ketika kebencian dan propaganda membutakan rasa kemanusiaan.
Dalam waktu yang begitu singkat, sekitar 100 hari, ratusan ribu nyawa melayang. Mereka bukan prajurit di medan perang, bukan pelaku kejahatan, bukan ancaman. Mereka adalah anak-anak, ibu, ayah, guru, petani, orang-orang biasa yang dibunuh hanya karena mereka terlahir sebagai Tutsi, Hutu moderat, atau Twa.
Bayangkan, tetangga yang dulu saling menyapa di pagi hari, esoknya saling membunuh. Bayangkan, tempat ibadah yang semula menjadi simbol perlindungan, berubah menjadi tempat pembantaian massal. Dan yang lebih memilukan: dunia melihatnya… namun nyaris tidak berbuat apa-apa.
Tragedi ini bukan hanya tentang kekerasan, tapi juga tentang diamnya dunia. Tentang bagaimana prasangka, ketidakadilan sejarah, dan politik identitas bisa menciptakan jurang kebencian yang tak terjembatani. Rwanda menunjukkan kepada kita bahwa genosida bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, dari bisikan yang menghasut, dari ketidakpedulian, dari retakan yang tidak pernah disembuhkan.
Namun, di balik tragedi itu, ada pula kisah keberanian. Ada orang-orang yang memilih menyelamatkan sesama, meski harus mempertaruhkan nyawanya sendiri. Ada negara yang perlahan bangkit, meski dibangun di atas puing trauma yang dalam.
Lewat tulisan ini, kita diajak bukan hanya untuk mengingat sejarah kelam itu, tetapi juga merenungi bagaimana kita, sebagai sesama manusia, harus belajar untuk lebih peka, lebih peduli, dan lebih berani bersuara saat ketidakadilan mulai menunjukkan wajahnya. Karena sejarah, kalau hanya dijadikan arsip tanpa makna, bisa dengan mudah terulang.
Latar Belakang Sejarah dan Etnis
Genosida Rwanda menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling mengerikan di abad ke-20. Mengutip berbagai sumber, dalam waktu singkat, hanya sekitar 100 hari dari 7 April hingga 19 Juli 1994, sekitar 800.000 jiwa tewas dibantai secara sistematis. Korban utamanya adalah etnis Tutsi, Hutu moderat, serta kelompok minoritas Twa. Kekejaman ini merupakan bagian kelam dari Perang Saudara Rwanda yang telah berkobar sejak 1990.
Akar dari genosida ini berasal dari konflik panjang antara dua kelompok etnis utama di Rwanda, yaitu Hutu dan Tutsi. Ketegangan keduanya diperparah oleh praktik kolonialisme Belgia yang lebih mengistimewakan etnis Tutsi selama masa penjajahan. Setelah Rwanda meraih kemerdekaannya, kekuasaan beralih ke tangan mayoritas Hutu. Sejak saat itu, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap Tutsi semakin merajalela.
Pada tahun 1990, kelompok pemberontak Rwandan Patriotic Front (RPF), yang didominasi oleh etnis Tutsi, menyerbu Rwanda dari Uganda dan memicu perang saudara. Upaya perdamaian sempat ditempuh melalui Perjanjian Arusha tahun 1993, namun semua harapan runtuh saat pesawat yang membawa Presiden Juvénal Habyarimana ditembak jatuh pada 6 April 1994. Insiden ini menjadi pemicu langsung genosida.
Segera setelah pembunuhan Presiden, kelompok ekstremis Hutu melancarkan pembantaian massal. Milisi seperti Interahamwe dan Impuzamugambi, didukung oleh militer serta kepolisian, melakukan serangan brutal terhadap etnis Tutsi dan Hutu yang menolak ikut serta dalam kekerasan.
Kekejaman dilakukan dengan alat sederhana seperti parang, pentungan, dan senapan. Identifikasi korban dilakukan melalui kartu identitas yang mencantumkan etnis. Tidak ada tempat yang aman, bahkan gereja dan sekolah yang menjadi tempat berlindung justru berubah menjadi lokasi pembantaian massal. Selain pembunuhan, kekerasan seksual juga terjadi secara meluas. Diperkirakan antara 250.000 hingga 500.000 perempuan Tutsi mengalami pemerkosaan selama periode ini.
Meskipun skala kekejaman begitu mencengangkan, reaksi dunia internasional sangat lamban. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dikritik tajam karena gagal memperkuat mandat misi penjaga perdamaian UNAMIR yang sudah berada di Rwanda. Negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belgia enggan bertindak cepat.
Prancis sempat meluncurkan Operasi Turquoise pada Juni 1994, yang diklaim sebagai misi kemanusiaan. Namun, operasi ini justru menuai kontroversi karena tidak berhasil menyelamatkan banyak korban, dan bahkan dituduh memberi perlindungan bagi pelaku genosida.
Akhir dari Genosida dan Dampaknya
Genosida berakhir ketika RPF kembali melancarkan serangan militer dan berhasil merebut ibu kota Kigali pada Juli 1994. Kemenangan ini mengakhiri kekuasaan rezim Hutu ekstremis, namun juga memicu eksodus besar-besaran. Sekitar dua juta warga Rwanda, mayoritas dari etnis Hutu, melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Zaire (kini Republik Demokratik Kongo), menciptakan krisis pengungsi dan memicu konflik regional lainnya.
Dampak jangka panjang dari genosida sangat memilukan. Sekitar 400.000 anak menjadi yatim piatu. Ribuan perempuan menjadi janda, banyak di antaranya mengidap HIV akibat kekerasan seksual. Hingga kini, Rwanda masih menghadapi trauma kolektif dari peristiwa ini.
Rwanda kini memperingati genosida setiap tahun sebagai bagian dari perjalanan penyembuhan nasional. Pemerintah menerapkan kebijakan untuk memberantas “ideologi genosida” dan “divisionisme,” serta membangun sistem keadilan yang inklusif melalui pengadilan komunitas Gacaca dan Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda (ICTR).
Dari reruntuhan tragedi, Rwanda perlahan bangkit dengan semangat rekonsiliasi dan pembangunan. Namun, luka sejarah ini tetap menjadi pengingat kuat akan pentingnya toleransi, keadilan, dan kewaspadaan dunia terhadap ancaman genosida. [UN]