Sejarah dan Perkembangan KORPRI

Kegiatan Ziarah di TMP Kalibata. (sumber: korpri.go.id)

Sejak awal berdirinya, perjalanan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tidak terlepas dari dinamika politik yang memengaruhi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Dari masa Demokrasi Liberal hingga Orde Baru, pegawai negeri kerap kali menjadi korban perebutan kekuasaan politik yang mengganggu profesionalisme mereka.

Dalam upaya membenahi kondisi ini, penting untuk memahami bagaimana KORPRI hadir sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Pembentukan KORPRI pada 29 November 1971 menjadi titik balik dalam sejarah kepegawaian Indonesia, dengan tujuan untuk menjaga netralitas, integritas, dan loyalitas pegawai negeri terhadap negara, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Artikel ini akan membahas lebih jauh bagaimana KORPRI berkembang dan berperan penting dalam menciptakan birokrasi yang lebih profesional dan stabil di Indonesia.

Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) adalah organisasi yang mewadahi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia. Melansir laman resminya, KORPRI berdiri pada tanggal 29 November 1971 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 1971, KORPRI menjadi satu-satunya wadah bagi pegawai negeri di Indonesia. Setiap tahunnya, tanggal 29 November diperingati sebagai Hari Jadi KORPRI. Organisasi ini berfungsi untuk membina dan mengembangkan profesionalisme ASN, serta memperkuat peran mereka dalam mencapai tujuan negara.

Latar Belakang Berdirinya KORPRI

Sejarah panjang pembentukan KORPRI dimulai pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) yang ditandai dengan ketidakstabilan politik. Pada periode ini, terjadi banyak pergolakan politik yang agresif, dengan partai-partai politik (parpol) yang berusaha merekrut pegawai negeri untuk mendukung kepentingan mereka.

Pegawai negeri, terutama yang berada di posisi strategis, banyak yang masuk ke dalam partai untuk memperkuat karir birokrasi mereka. Sayangnya, pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak lagi didasarkan pada kecakapan, melainkan pada keanggotaan partai politik tertentu.

Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dalam birokrasi pemerintahan, dengan loyalitas ganda yang menjadi masalah besar, pegawai harus tunduk pada atasan partai dan atasan resmi di kantor.

Keadaan ini menciptakan ketidaknyamanan dalam administrasi pemerintahan. Kepentingan partai politik lebih diutamakan daripada kepentingan negara, dan pada akhirnya, kebocoran rahasia negara sering terjadi.

Pemerintah menyadari pentingnya pembenahan dalam pengelolaan pegawai negeri, yang kemudian mendorong lahirnya berbagai kebijakan, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang memisahkan pegawai pusat dan daerah.

Masa Demokrasi Terpimpin dan Ketergantungan Politik

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), situasi birokrasi pemerintahan kembali terpengaruh oleh politik. Kebijakan Presiden Soekarno yang mempromosikan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) turut membawa partai politik untuk menguasai birokrasi pemerintahan.

Pada masa ini, pegawai negeri yang bukan dari partai yang berkuasa sering kali digantikan oleh orang-orang yang mendukung ideologi Nasakom. Tak jarang, pegawai negeri baru yang diangkat berasal dari anggota partai politik yang berkuasa, meski tanpa memperhatikan kualifikasi kepegawaian.

Puncaknya, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI) mampu memperluas pengaruhnya dengan menempatkan kader-kadernya di berbagai posisi penting di pemerintahan dan lembaga negara.

PKI berhasil menyusup ke dalam berbagai organisasi serikat pekerja, serta menguasai sejumlah jabatan strategis, baik di dalam pemerintahan maupun di universitas dan lembaga-lembaga pendidikan.

Upaya Netralitas Pegawai Negeri

Menghadapi masalah ini, pemerintah mencoba mengatur pegawai negeri untuk tetap netral dari pengaruh politik melalui berbagai undang-undang. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 yang melarang pegawai negeri untuk menjadi anggota partai politik.

Meski demikian, pengaruh politik dalam birokrasi tetap berlangsung, dengan banyak pegawai yang secara formal melepaskan keanggotaan partainya tetapi tetap terlibat dalam kegiatan partai secara sembunyi-sembunyi.

Perubahan di Masa Orde Baru

Masa Orde Baru (1966-1998) menjadi titik balik bagi birokrasi pemerintahan Indonesia. Pemerintah yang baru bertekad untuk membenahi administrasi pemerintahan yang kacau dengan menata kembali sistem kepegawaian, serta menciptakan pegawai negeri yang profesional dan netral dari politik. Pemerintah memperkenalkan sistem karir dan prestasi kerja bagi PNS, serta memastikan bahwa pengangkatan jabatan dilakukan berdasarkan kompetensi dan prestasi, bukan afiliasi politik.

Pada tahun 1970, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 dikeluarkan, yang menegaskan bahwa penataan PNS tidak boleh didasarkan pada perbedaan agama, partai politik, ataupun golongan tertentu. PNS juga dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Peraturan ini bertujuan untuk menjaga agar birokrasi pemerintahan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik pihak tertentu.

Pembentukan KORPRI

Dengan latar belakang kebutuhan untuk memisahkan birokrasi dari politik, pada tahun 1971 lahirlah Keputusan Presiden RI Nomor 82 Tahun 1971 yang mendirikan KORPRI. Organisasi ini dibentuk untuk mengkoordinasikan dan membina seluruh pegawai negeri di luar kedinasan, serta untuk memperkuat integritas dan loyalitas ASN terhadap negara dan bangsa. Tujuan utama pembentukan KORPRI adalah untuk memelihara stabilitas politik dan sosial dalam negara serta menciptakan PNS yang profesional, bebas dari pengaruh partai politik.

KORPRI diharapkan menjadi wadah yang dapat menyatukan seluruh pegawai negeri, serta membina mereka agar lebih berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan politik kelompok tertentu.

Pembentukan KORPRI juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa pegawai negeri tetap menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, kompetensi, dan loyalitas kepada negara.

KORPRI merupakan tonggak penting dalam sejarah kepegawaian di Indonesia. Pembentukannya tidak lepas dari pengalaman panjang Indonesia menghadapi masalah politik dalam birokrasi, yang mengganggu profesionalisme dan kinerja pegawai negeri.

Dengan adanya KORPRI, pegawai negeri di Indonesia kini memiliki wadah yang jelas untuk berorganisasi, yang mengedepankan prinsip netralitas, profesionalisme, dan dedikasi terhadap negara. Seiring berjalannya waktu, KORPRI terus berperan dalam mengembangkan kualitas ASN, sehingga mereka dapat lebih optimal dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan demi kemajuan bangsa dan negara. [UN]