Sejarah Armada TNI Angkatan Laut

Ilustrasi

Suluh Indonesia – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian armada adalah sekelompok kapal perang. Setiap angkatan laut negara manapun, harus mempunyai armada kapal perangnya termasuk TNI AL. Perkembangan armada milik TNI AL semakin berkembang secara signifikan, terutama dalam alutsista yang dimiliknya dari tahun ke tahun.

Sejarah perkembangan Komando Armada Republik Indonesia (Armada RI) tidak terlepas dari sejarah kelahiran TNI AL yang dirintis oleh para pejuang berjiwa maritim dengan terlebih dahulu bersatu dan berjuang dalam wadah Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) yang berdiri pada tanggal 10 September 1945. Walau masih berada dalam situasi dan kondisi serba terbatas, baik personel, material maupun keuangan, BKR Laut mampu menata organisasinya secara sederhana sekaligus merintis pembentukan satuan armada.

Unsur armada yang dimiliki BKR Laut saat itu hanya mengandalkan kapal-kapal angkut eks Jepang atau kapal nelayan yang digunakan untuk operasi laut. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan organisasi pertahanan RI, BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui Maklumat Nomor 2/X tanggal 5 Oktober 1945, sehingga nama BKR Laut juga berubah menjadi TKR Laut yang disyahkan pada tanggal 15 November 1945.

Sejak masa TKR Laut ini struktur organisasi mulai disusun sesuai kebutuhan matra laut, yakni dengan membentuk beberapa satuan seperti Pangkalan, Corps Armada, Corps Mariniers, Polisi Tentara Laut, dan Kesehatan. Pada tanggal 25 Januari 1946 TKR Laut berubah menjadi Tentara Republik Indonesia Laut (TRI Laut). Guna memantapkan jati dirinya sebagai elemen pertahanan negara di laut, TRI Laut bertransformasi lagi menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 19 Juli 1946 yang disyahkan bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi ALRI di Lawang.

Di kurun waktu ini ALRI juga melakukan pengadaan alutsista baru dari luar negeri, antara lain kapal cepat dan sebuah kapal patroli jenis coaster, yang dinamakan Gadjah Mada-408. Kapal Gadjah Mada selanjutnya menjadi bagian dari eskader Pangkalan III ALRI Cirebon, namun tenggelam dalam pertempuran laut dengan kapal perusak AL Belanda Hr.Ms. Kortenaer (JT-17) di Teluk Cirebon tanggal 5 Januari 1947.

Pada masa awal kelahiran Armada RI ini, bangsa Indonesia masih dihadapkan dengan problematika imperialisme, karena Belanda masih tetap menganggap Indonesia sebagai tanah jajahan. Oleh karena itu, konsentrasi seluruh rakyat Indonesia termasuk unsur Armada RI sebagai bagian integral dari ALRI selaku komponen utama pertahanan di laut, mengadakan perlawanan bersenjata untuk mengusir Kolonialis Belanda melalui Perang Kemerdekaan RI 1945-1949.

Baca juga Gelora Revolusi Rakyat Surabaya

Selama masa perang kemerdekaan ini, hanya dengan bermodalkan kapal-kapal kayu, ALRI menugaskan unsur Armada untuk melaksanakan ekspedisi lintas laut ke berbagai daerah di Indonesia, untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan sekaligus merintis pembentukan kekuatan perjuangan di daerah tersebut. Kisah para pejuang maritim yang tergabung dalam ekspedisi-ekspedisi lintas laut tak kalah heroiknya dibandingkan rekan-rekannya yang berjuang di palagan darat.

Mereka tak hanya berjuang mengatasi ganasnya kondisi samudra, melainkan juga harus menghadapi kapal-kapal perang AL Belanda yang modern dan menjaga dengan ketatnya wilayah perairan Indonesia. Sejumlah ekspedisi lintas laut berhasil mencapai daerah tujuan dengan selamat. Meskipun demikian, tak sedikit pula yang gagal, entah tertangkap patroli AL Belanda maupun gugur dalam kontak senjata. Salah satu ekspedisi lintas laut ke Bali, rombongan kapal nelayan yang mengangkut pasukan gabungan ALRI (Pasukan M) dan para pejuang asal Bali terlibat kontak senjata dengan dua kapal patroli Belanda pada tanggal 4 April 1946.

Pada kontak senjata tersebut para pejuang ALRI berhasil menenggelamkan sebuah kapal perang Belanda. Untuk melokalisir perlawanan bangsa Indonesia, Belanda semakin memperketat penjagaan wilayah perairan Indonesia dengan melaksanakan blokade. Kegiatan patroli diperkuat dan digelar secara rutin di titik-titik penghubung antar pulau laut sehingga para pejuang Indonesia sulit untuk menembusnya. Oleh karena itu, untuk beberapa saat ALRI tidak leluasa mengembangkan unsur armadanya, sehingga perjuangan akhirnya dipusatkan di daratan.

Oleh sebab itu, pada kurun waktu 1947 hingga 1948 sebutan “ALRI Gunung” melekat erat kepada para pejuang ALRI. Meskipun demikian, sebagian para pejuang ALRI dari unsur armada tetap melakukan berbagai cara menembus blokade. Kekuatan yang tergabung dalam Skuadron Penerobos Blokade (blockade runners) menunjukkan kiprahnya yang luar biasa dengan menembus blokade laut di perairan Selat Malaka, sehingga berhasil menyuplai sejumlah besar senjata bagi pejuang RI sekaligus mendukung perjuangan diplomasi Indonesia.

Salah satu kapal penerobos blokade ALRI yang legendaris adalah The Outlaw yang dikomandani Mayor Laut John Lie. Perang Kemerdekaan RI melawan Belanda akhirnya berakhir tahun 1949. Kerajaan Belanda memberikan pengakuan kedaulatan terhadap pihak RI pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Setelah ini, ALRI mulai berkonsentrasi pada penataan dan penyempurnaan organisasinya, termasuk struktur armadanya. Beberapa fasilitas pangkalan diserahkan, begitu juga kapal-kapal perangnya dihibahkan kepada Indonesia. Organisasi mulai dikembangkan, antara lain adanya struktur Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS), Komando Daerah Maritim Belawan (KDMB), Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD), Komando Daerah Maritim Makassar (KDMM), Komando Daerah Maritim Ambon (KDMA) dan Komando Daerah Maritim Riau (KDMR) yang berada strukturnya langsung di bawah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).

Baca juga Pertempuran Surabaya dan Dilema Tentara India

Berbekal beberapa alat utama sistem senjata (alutsista) hibah dari AL Kerajaan Belanda, dan pembelian baru, unsur Armada ALRI telah mampu menggelar sejumlah operasi tempur, yang meliputi operasi blokade laut, patroli keamanan laut, tempur laut, dan operasi pendaratan amfibi. Meskipun telah diperkuat beberapa alutsista yang cukup handal, namun ALRI belum membentuk sebuah Komando Armada, karena jumlah alutsista yang ada dianggap belum memadai. Unsur armada masih berada di bawah komando KDMS. Kendati demikian, rintisan untuk membentuk Komando Armada telah ada sejak awal tahun 1950-an.

ALRI berupaya mengorganisasikan kekuatan armadanya yang masih sangat terbatas dalam bentuk Flotila Penyapu Ranjau pada tanggal 21 Agustus 1952. Kemudian berdasarkan SK KSAL No. A.5/3/23 bulan Juli 1953 dibentuklah Eskader ALRI. Setahun kemudian, pada tahun 1954 terbentuk Flotila Penyapu Ranjau II. Guna meningkatkan dan melengkapi kemampuan tempurnya, maka sejak tahun 1954 ALRI mendatangkan sejumlah alutsista dari luar negeri.

Kebutuhan akan alutsista yang modern dan dalam jumlah besar semakin mendesak karena masa ini bangsa Indonesia juga dihadapkan kepada pemberontakan separatisme. Masalah besar lainnya adalah, Belanda masih belum mau mengembalikan Irian Barat ke pihak RI. Negara-negara Barat melakukan pemihakan kepada Belanda, sehingga mendorong pemerintah RI pada awal tahun 1950-an ini untuk membeli sejumlah alutsista kepada Uni Soviet dan negara-negara netral. Sejak tahun 1957, mulailah berdatangan sejumlah besar alutsista dan material tempur asal negeri Beruang Merah tersebut ke Indonesia.

Alutsista asal Uni Soviet yang pernah memperkuat jajaran ALRI, antara lain adalah 12 kapal selam Klas Whiskey, sebuah kapal perang jenis penjelajah Klas Sverdlov, tank amfibi PT-76 dan pesawat pengebom torpedo jarak menengah IL-28. Kemudian setelah kualitas unsur armada semakin canggih dan modern serta dan kuantitasnya semakin besar, akhirnya terbentuklah sebuah Komando Armada. Berdasarkan SK KSAL No. A. 4/2/10 tanggal 14 September 1959 ditetapkan berdirinya organisasi Komando Armada ALRI, yang diresmikan pembentukannya pada tanggal 5 Desember 1959 oleh KSAL Komodor Laut R.E. Martadinata.

Setelah Komando Armada terbentuk, maka disusunlah struktur organisasi satuan-satuan operasional di bawahnya yang tersusun dalam bentuk Flotila, Skuadron dan Divisi dengan mempertimbangkan jumlah kapal dan tipenya. Selanjutnya berdasarkan SK Menteri / Panglima Angkatan Laut (Men/Pangal) No. 5401.7 tanggal 18 Februari 1963 disebutkan bahwa Komando Armada (Koarma) merupakan salah satu Komando Operasional. Lalu berdasarkan SK Men/Pangal No. 5401.48 tanggal 1 Desember 1963 Koarma ditetapkan sebagai Komando Utama fungsional dan administratif yang berkedudukan langsung di bawah Deputy I Operasi Men/Pangal.

Pemimpin Koarma diganti sebutannya yaitu dari Komandan menjadi Panglima. Adapun tugas pokoknya adalah sebagai Komando Administratif dan mengkoordinasi komando satuan di bawahnya yaitu Komando Jenis (Kojen) yang terdiri atas : 1. Kojen Kapal Jelajah dan Pemburu (Kojenjelru). 2. Kojen Kapal Selam (Kojenkasel). 3. Kojen Kapal Amfibi (Kojenamfib). 4. Kojen Kapal Cepat (Kojenkat). 5. Kojen Kapal Ranjau (Kojenran). 6. Kojen Kapal Patroli (Kojentrol). 7. Kojen Kapal Bantu (Kojenbant). Selain Kojen juga dibentuk Pasukan Komando Armada (Paskoarma), Kesatuan Udara Armada (Kodarma), Komando Pendidikan dan Latihan Armada (Koplatarma) serta Komando Pendidikan dan Latihan Amfibi (Koplatamfib).

Guna meningkatkan efisiensi operasional unsur-unsurnya, pada tanggal 5 Desember 1966, ALRI melakukan reorganisasi Komando Armada ALRI menjadi dua Komando Utama, yaitu Komando Armada Samudera (Koarsam) dan Komando Armada Nusantara (Koartara). Koarsam merupakan kekuatan strategis yang berfungsi menunjang tugas pertahanan terhadap ancaman musuh dari luar. Sedangkan Koartara merupakan kekuatan kewilayahan yang bertugas mengatasi permaslahan di dalam negeri.

Seiring dengan dinamika nasional yang terjadi, maka ALRI pada tahun 1970 melalui Instruksi KSAL No. 5401.14 mengadakan konsolidasi serta reorganisasi atas Koarsam dan Koartara, yang divalidasi menjadi satu organisasi yaitu Komando Armada RI. Dalam pelaksanaan tugasnya, di bawah Komando Armada RI dibentuk Eskader Barat dan Eskader Timur. Selanjutnya, sebutan Kojen diganti menjadi Satuan, yaitu : 1. Satuan Kapal Eskorta (Satkor). 2. Satuan Kapal Selam (Satsel). 3. Satuan Kapal Amfibi (Satfib). 4. Satuan Kapal Cepat (Satkat). 5. Satuan Kapal Ranjau (Satran). 6. Satuan Kapal Patroli (Satrol). 7. Satuan Kapal Bantu (Satban). Di samping itu juga dibentuk Satuan Udara Armada, Satuan Marinir Armada dan Satuan Pasukan Katak. Satuan-satuan tersebut merupakan Komando Pelaksana Pembinaan. (Noor Yanto/Dispenal)

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 5 Desember 2016)