Segera Tata Perdagangan Kripto di Indonesia

Ilustrasi perdagangan kripto/Istimewa

Koran Sulindo – Thodex, platform jual beli kripto di Turki menjadi buah bibir komunitas kripto global pada April lalu. Perusahaan dengan volume transaksi harian mencapai  US$ 585,51 juta itu telah meresahkan para penggunanya karena mendadak ditutup sehingga proses transaksi tidak bisa dilakukan. Pengguna pun terancam kehilangan dana mereka. Kasus ini sedang dalam proses hukum. Kepolisian Turki telah menahan 62 orang terkait kasus ini, namun CEO Thodex,  Faruk Fatih Ozer belum diringkus karena sudah melarikan diri keluar negeri.

Kasus lain pada 2019 terjadi pada QuadrigaCX. Pengguna perusahaan jual beli kripto berbasis di Kanada ini  juga tidak bisa mengakses dana mereka lantaran pendiri perusahaan itu yang bernama Gerald Cotten meninggal dunia. Celakanya, hanya dia saja yang menyimpan kata kunci untuk mengakses cold storage yaitu tempat penyimpanan aset kripto yang tidak terhubung dengan internet untuk menghindari serangan perentas. Dus, aset kripto milik pengguna senilai US$ 190 juta tidak bisa diambil.

Masalah lain di dunia kripto adalah serangan peretas yang menyebabkan aset kripto yang tersimpan pada hot storage atau tempat penyimpanan aset kripto yang terhubung dengan internet, dicuri peretas. Mengutip data yang dirilis Finaria.it, jumlah kasus kehilangan kripto akibat kejahatan dunia maya pada 2020 mencapai US$ 1,9 miliar. Jumlah ini memang menurun dibandingkan 2019 yang nilainya mencapai US$ 4,5 miliar.

Di Indonesia memang sejauh ini belum ada kasus penggelapan aset kripto oleh pemilik exchange. Demikian juga kasus peretasan yang menyebabkan aset milik pengguna hilang dari wallet. Tetapi upaya mitigasi tetap harus dilakukan.

Kasus yang umum terjadi di Indonesia adalah penawaran yang mengatasnamakan aset kripto alias kripto bodong. Ada penumpang gelap yang melancarkan aksi penipuan dengan memanfaatkan popularitas kripto. Korban biasanya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang minim seputar kripto dan mekanisme perdagangannya. Untuk masalah ini memang hanya bisa diatasi dengan literasi dari para pelaku industri kripto dan juga dari pemerintah.

Tetapi di luar soal investasi bodong yang mengatasnamakan kripto itu, yang perlu dimitigasi oleh pemerintah adalah kasus-kasus seperti yang terjadi pada Thodex dan QuadrigaCX, serta peretasan exchange. Karena itulah, perdagangan kripto yang saat ini hanya melibatkan exchange dan pengguna (nasabah) harus ditata.

Yoyok Prasetyo, Pengamat Ekonomi dan Investasi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung sekaligus Dosen Luar Biasa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung mengatakan, investasi kripto harus didukung oleh regulasi yang jelas untuk melindungi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. “Adanya kasus yang mengatasnamakan investasi aset kripto yang berujung merugikan masyarakat, tentunya menjadi pekerjaan rumah dari pemerintah yang berfungsi sebagai regulator, untuk segera mengatur investasi yang sedang trend ini,” ujar Yoyok dalam keterangannya pada April 2021.

Regulasi ini penting. Karena merujuk data Badan Pengwas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah investor kripto di Indonesia yang aktif bertransaksi di perdagangan fisik aset kripto (exchange) mencapai 4,2 juta pelanggan, dengan nilai transaksi sekitar Rp 3 triliun per hari. Dari sisi supply, saat ini di Indonesia terdapat 229 aset kripto yang boleh diperdagangkan di 13 exchange atau pedagang fisik aset kripto. Sementara di seluruh dunia, terdapat 8.472 aset kripto yang beredar.

Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah menerbitkan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto. Peraturan tersebut diterbitkan dan mulai berlaku pada 17 Desember 2020.

Secara regulasi, mestinya perdagangan aset kripto ini melibatnya sejumlah pihak, tidak hanya pedagang fisik dan nasabah. Tetapi juga ada Bursa, Lembaga Kliring dan Lembaga Depositori. Namun, infrastruktur tersebut saat ini belum terbentuk.

Lembaga Kliring
Pada Oktober 2020, 6 pedagang fisik aset kripto (exchange) memang sudah membentuk PT Digital Future Exchange (DFX), sebagai bursa berjangka untuk perdagangan kripto. DFX ini juga didukung oleh PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) sebagai Lembaga Kliring. Namun, hingga kini belum beroperasi karena masih menunggu persetujuan dari  Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti).

“Adanya lembaga kliring dan penjaminan transaksi di ekosistem investasi aset kripto ini, tentunya akan memberikan rasa aman kepada masyarakat / investor, dan memberikan kepastian bahwa investasi yang dilakukan adalah legal. Terakhir Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif didalam negeri, sehingga masyarakat investor lebih memilih investasi didalam negeri dibandingkan luar negeri,” ujar Yoyok Prasetyo.

Fajar Wibhiyadi, Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) mengatakan pihaknya sudah siap 100% sebagai Lembaga Kliring, baik dari sisi permodalan maupun infratrukturnya. “Dengan hadirnya Bursa Kripto di Indonesia, tentunya ini merupakan hal posisif terkait ekosistem investasi, karena masyarakat atau investor akan memiliki banyak pilihan dalam menentukan arah investasinya. Namun demikian, sebagai Lembaga Kliring, KBI tentunya juga akan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait investasi ini, karena bagaimanapun sebuah investasi selalu memiliki risiko, dan terkait risiko ini masyarakat juga harus memahami dengan baik,” ujar Fajar. [Julian A]