Ahmad Basarah

Koran Sulindo – Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah akhirnya dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana penghinaan dan penyebaran berita bohong.

Basarah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh pelapor bernama Anhar dengan Laporan Polisi (LP) LP/B/1571/XII/2018/BARESKRIM tertanggal 3 Desember 2018.

Anhar menganggap peryataan yang dilontarkan Basarah sangat keji atas dasar tak satu pun putusan pengadilan berkekuatan tetap yang menyebut Soeharto bersalah pada kasus tindak pidana korupsi.

“Kami betul-betul sangat terpukul dan sangat dirugikan mengingat Soeharto bagi kami adalah tokoh bangsa, adalah guru bangsa, adalah bapak pembangunan,” kata dia usai membuat laporan di Bareskrim, Senin (3/12).

Anhar melaporkan Basarah mengatasnamakan Forum Advokat Penegak Keadilan dan Soehartonesia.

Kuasa hukum Anhar, Djamaluddin Koedoeboen menyatakan kliennya membawa beberapa barang bukti sebagai penguat aporan mereka termasuk di antaranya salinan pernyataan yang diberitakan di beberapa media siber nasional.

“Barang bukti ucapan beliau melalui media yang memang itu kami bawa photocopy-nya dan diserahkan ke Bareskrim, photo copy dari kliping-klipingnya, sosmed,” kata Djamaluddin.

Peryataan Basarah, menurut Djamaluddin, masuk ke dalam kategori penghinaan terhadap Soeharto.

“Dia enggak membuktikan, ada enggak buktinya? Jangan-jangan muridnya, kalau pun ada ya orang-orang dia juga. Tapi saya yakin enggak ada,” kata dia.

Lebih lanjut Djamaluddin jutru menduga Basarah mempunyai motif tersembunyi dengan ucapannya karena selain menjadi wakil rakyat, Basarah juga merupakan angggota tim sukses salah satu kandidat Capres.

“Beliau notabenenya salah satu jurkam calon tertentu. Nah kita menduga ada motif apa di balik itu. tapi yang pasti karena kita negara hukum, kita masyarakat tahu hak hukum kita dijamin negara, ya kita melakukan langkah hukum ini,” kata Djamaluddin.

Sepertyi diketahui, Basarah menilai maraknya korupsi di Indonesia dimulai sejak era Presiden Soeharto. Ia kemudian menyebut Soeharto sebagai guru dari korupsi di Indonesia. “Jadi, guru dari korupsi di Indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo,” kata Basarah Rabu (28/11).

Direktur Ekskutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menjelaskan pernyataan Wasekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah yang menyebut Soeharto sebagai guru korupsi merupakan respons dari ucapan Prabowo Subianto yang menyebut korupsi di Indonesia sudah seperti kanker stadium empat.

“Pernyataan yang menyebut korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat terlalu hiperbola, bombastis tidak disertai fakta yang akurat dan terukur. Makna kanker stadium empat itu jika diibarat penyakit, sangat kecil kemungkinan bisa disembuhkan, berarti sama saja Prabowo ingin mengatakan korupsi di Indonesia sangat parah nyaris tidak tidak bisa diberantas,” kata Karyono kepada koransulindo.com, Senin (3/12).

Menurut Karyono, tujuan pernyataan Prabowo mudah ditebak yakni untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi sekaligus membangun gambaran negatif. Pernyataan Prabowo itu sama saja tidak menghargai kerja keras KPK yang gigih memberantas korupsi.

Mengetahui pernyataan Prabowo yang menyerang Jokowi seperti itu, maka Ahmad Basarah sebagai juru bicara Tim Koalisi Nasional pasangan Jokowi-Ma’ruf sudah semestinya menanggapi pernyataan Prabowo dengan cara membangun argumen yang membalikkan logika Prabowo dengan menyebut bahwa guru korupsi Indonesia itu adalah Soeharto mertuanya Prabowo.

Dalam perspektif psikologi politik, antara pernyataan Prabowo dan Basarah sama sama mengekspresikan perasaan dan pikiran yang didorong oleh naluri sebagai politisi.

“Dalam konteks ini, posisi Prabowo bisa dikatakan sebagai pihak pertama yang melempar isu, sedangkan Basarah berada pada posisi menahan serangan isu, lalu mencoba membalikkan serangan. Akibat umpan balik akhirnya menimbulkan efek serangan dari berbagai penjuru; mulai dari pihak keluarga Soeharto, elit partai pendukung Prabowo-Sandiaga,” kata Karyono.

Masih kata Karyono, terkait ancaman Partai Berkarya melalui sayap partai yang mengancam akan melaporkan Ahmad Basarah ke pihak berwajib, Karyono tidak yakin hal tersebut akan dilakukan oleh anak buah Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.

Karena yang terjadi, justru Karyono melihat bahwa  pernyataan Wasekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah yang menyebut Soeharto sebagai guru korupsi justru dimanfaatkan Partai Berkarya untuk mendompleng popularitas.

“Dalam konteks strategi politik, Partai Berkarya memang perlu memanfaatkan masalah ini untuk menaikkan popularitas dengan cara memelihara polemik ini dengan memainkan psikologi politik agar isu ini direspon dan menggelinding terus. Karenanya, belum tentu upaya membawa kasus ini ke ranah hukum dilakukan secara serius, meskipun Tomy Soeharto sudah angkat bicara,” kata Karyono.

Karyono menyebut secara prinsip sebenarnya sah-sah saja menjual nama Soeharto untuk meraup dukungan publik dalam kontestasi pemilu 2019.

“Kalau mau menjual Soeharto sebagai strategi marketing politik silakan saja, tetapi jangan sampai membangkitkan macan tidur. Karena sebagian besar masyarakat masih mengingat rekam jejak rezim Soeharto. Kekuatan silent majority ini sewaktu-waktu bisa terbangun kesadaran kolektif untuk melawan kebangkitan orde baru,” kata Karyono.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mempersilakan bila ada yang mau membawa masalah tersebut ranah hukum.

Menurutnya, hal tersebut justru bakal menjadi momentum untuk membuka kembali seluruh persoalan-persoalan terkait dengan keluarga Soeharto sekaligus kroni-kroninya.

Menurut Hasto, pada di era Soeharto kroni-kroni Soeharto betul-betul didukung oleh kekuasaan termasuk dengan diabuatnya aturan-aturan khusus untuk kepentingan mereka. “Lihat saja Yayasan Supersemar di situ. Jadi diaudit sekaligus semuanya, mempertanggungjawabkan itu ke rakyat,” kata Hasto.

Seperti diketaui TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Peyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme merupakan satu-satunya ketetapan MPR yang unik karena secara khusus menyebut nama Soeharto. Tap MPR bersifat konkrit individual dan satu-satunya satu-satunya TAP MPR yang menyebut nama orang.

Nama Soeharto disebut secara khusus pada Pasal 4 Tap MPR dengan redaksional berupa “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”[TGU]