Sebuah Ikhtiar Membendung Laju Ahok-Djarot

Para Cagub dan Wagub DKI Jakarta wefie bareng/Akun Twitter Sandiaga Uno @sandiuno

Koran Sulindo – Isu SARA kemungkinan besar tak laku dalam Pilkada DKI 2017. Dari segi elektabiltas dan program, calon petahanan menang langkah.

Halaman kantor PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro Jakarta, Selasa (20) malam itu dipenuhi orang. Selain puluhan wartawan, ada sekelompok orang memakai kaus bertulisan “Risma for DKI 1” bergantian melakukan orasi dan meminta Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini diusung sebagai calon Gubernur DKI pada 2017. “Tolak Ahok! Ahok tukang gusur! Ahok anti wong cilik!”

Namun sekitar pukul 20.30 WIB, demonstrasi itu pelan-pelan bubar dengan sendirinya setelah tahu televisi menyiarkan langsung pengumuman yang dibacakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di dalam gedung menyebut nama Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur yang diusung.

Nama Ahok memang memecah internal partai berlambang banteng yang muncul dari rahim reformasi itu. Ketua Umum PDIP megawati Soekarnoputri sampai harus menggunakan hak prerogatifnya ketika memutuskan nama petahana Gubernur DKI Jakarta itu yang dipilih, dan kembali disandingkan dengan Wagub Djarot Syaiful Hadi.

Setelah malam itu politik nasional seolah berpindah ke pertarungan pilkada Jakarta. Bukan hanya Megawati mantan presiden RI yang turun gunung, tapi juga Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.

Koalisi Cikeas yang terdiri atas Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan secara resmi mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni sebagai bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur. Pasangan yang mengejutkan ini mengusung slogan “Jakarta untuk Rakyat”.

Keempat parpol itu mengantongi 28 kursi di DPRD DKI. Sementara untuk mengusung pasangan calon, dibutuhkan minimal 22 kursi.

Sedangkan Koalisi partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur dan Sandiaga Uno sebagai calon wakil gubernur.

Kembali menengok Pemilu Presiden 2014, poros dalam Pilkada DKI mengingatkan kita pada koalisi-koalisi yang bertarung saat itu. Megawati, SBY dan Prabowo juga berada pada poros-poros yang berbeda.

Megawati pada Koalisi Indonesia Hebat yang kini menjadi koalisi partai pendukung pemerintah. Pada Pilpres 2014, mereka mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla yang kini menjabat Presiden dan Wakil Presiden.

Prabowo, memimpin poros lainnya, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) yang dulu mengusung dirinya bersama Hatta Rajasa. KMP yang pada awalnya terdiri dari enam partai, kini hanya menyisakan Gerindra dan PKS, berlanjut pada Pilkada DKI 2017.

Pilkada DKI yang berskala provinsi pun berubah menjadi titik krusial bagi partai politik untuk menentukan langkah. Statusnya sebagai ibu kota negara membuat Pilkada DKI menjadi pertarungan politik level nasional. Tujuan Pilkada tak lagi sekadar penguasaan wilayah ibukota namun, nampaknya, batu loncatan untuk pertarungan menuju Pemilu 2019.

Peta Calon Pemilih dan Isu

Beberapa penelitian di negara lain menunjukkan usia dan tingkat pendidikan pemilih merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam meraih pemilih.

Dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia yang dipublikasikan Bappenas (2013), jumlah penduduk DKI Jakarta 2017 diproyeksikan mencapai lebih dari 10,37 juta jiwa. Jumlah terbesar berada dalam kelompok umur 25 tahun-34 tahun. Kelompok umur ini akan menjadi salah satu penentu kemenangan calon gubernur di pilkada mendatang.

Hampir 8 juta penduduk diperkirakan menjadi calon pemilih. Sekitar 70% calon pemilih berstatus sudah/pernah menikah. Lebih dari 65% calon pemilih di DKI Jakarta berpendidikan SLTA ke atas dan hanya sekitar 16% yang berpendidikan SD ke bawah.

“Ini menunjukkan para calon pemilih di pilkada DKI Jakarta memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan menentukan pilihan berdasarkan kapasitas calon,” kata Kepala Lembaga Demografi FEB UI, Sonny Harry B Harmadi.

Sementara itu sebanyak 44% penduduk DKI Jakarta adalah pendatang dan tidak lahir di Jakarta. Pendatang terbesar berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan persentase mencapai sekitar 17% dari seluruh calon pemilih di Jakarta. Meskipun tidak ada penelitian khusus, fenomena itu dapat diduga menjadi salah satu sumber kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub 2012.

Pemilih yang rasional dengan pendidikan tinggi mempertimbangkan kapasitas kepemimpinan calon gubernur.

Lebih dari 50% calon pemilih aktif menggunakan internet dalam 3 bulan terakhir (Susenas 2015), dan hampir 95% di antaranya mengakses internet melalui telepon seluler.

Hampir setengah dari calon pemilih yang bekerja merupakan buruh atau pegawai. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa-jasa (sekitar 38%).

Pemilih pemula di Jakarta juga berjumlah besar, yaitu 13% dari calon pemilih. Popularitas saja tidak akan cukup menarik para pemilih pemula untuk memberikan suara.

Isu kampanye dapat menentukan kemenangan calon gubernur. Dalam masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, isu kampanye menjadi penting. Calon pemilih tidak lagi sekadar ingin mendengar pendidikan dan kesehatan, misalnya, akan menjadi program prioritas, namun bagaimana implementasi programnya.

Besarnya pemilih yang berasal dari kelompok usia produktif memberikan sinyal bagi para gubernur DKI mendatang mereka harus mampu mengusung isu-isu yang terkait penduduk usia produktif, seperti isu ekonomi, transportasi, lapangan kerja, dan upah minimum.

Isu-isu akan lebih seksi daripada isu SARA yang kemungkinan besar tidak akan laku lagi. Ahok dan Djarot lebih tinggi tingkat elektabilitasnya dalam berbagai survei belakangan ini, dan mereka juga sudah menang langkah sebagai petahana. Akan sangat berat tugas Agus-Sylviana dan Anies-Sandi menahan laju Ahok-Djarot. [Didit Sidarta]