Sebanyak 37 Kali Tumpahan Minyak Mentah Terjadi di Perairan Indonesia antara 1998-2017

Ilustrasi/AFP

Koran Sulindo – Bencana tumpahan minyak mentah yang mencemari laut dan pesisir, seperti yang terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur, pekan lalu bukan hal yang pertama di Indonesia. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat selama periode antara 1998 hingga 2017, sudah ada 37 kasus tumpahan minyak mentah di perairan Indonesia.

Kasus-kasus tersebut, beberapa di antaranya terjadi di perairan Timor, Nusa Tenggara Timur yang diakibatkan ledakan ladang minyak di Blok Atlas Australia milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP). Sampai saat ini, kerugian ekologis akibat pencemaran ini belum terpulihkan.

Berdasarkan pasal 90 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah berwenang meminta ganti rugi pada pelaku pencemaran. Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 13 tahun 2011, nilai ganti rugi itu dihitung dari akumulasi biaya pemulihan lingkungan, kerugian ekosistem, serta kerugian masyarakat.

Menurut Kiara, UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, harus ditambahkan dalam kasus ini.

“Pemberian sanksi berat harus dilakukan karena para pelaku pencemaran laut dan pesisir karena telah terbukti merusak ekosistem dan menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut dan pesisir,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, pekan lalu, seperti dikutip mongabay.co.id.

Pencemaran yang terjadi di Teluk Balikpapan, menjadi catatan penting bagi negara untuk bersikap lebih tegas kepada para pelaku pencemaran. Tak hanya mengakibatkan kerusakan ekologi, pencemaran tumpahan minyak juga mengakibatkan korban jiwa manusia dan biota laut.

Dalam catatan Kiara, pencemaran laut juga terjadi di perairan Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat pada 2017. Di sana, laut dikotori tumpahan minyak sawit mentah sebanyak 50 ton milik PT Wira Inno Mas. Tumpahan sawit tersebut mengakibatkan hancurnya biota laut yang ada di perairan dangkal kawasan tersebut.

“Yang paling sedih, akibat tumpahan sawit itu, sebanyak 1.000 nelayan tradisional harus mengakhiri profesinya yang sudah digeluti sejak lama di kawasan perairan tersebut,” kata Susan.

Tongkang Pengangkut Batubara

Sementara itu, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Balikpapan Kementerian Perhubungan, Sanggam Marihot, mengatakan  di perairan yang sama, selain terjadi tumpahan minyak, juga di saat yang sama terjadi kebakaran tali Tongkang. Dua kejadian tersebut, terjadi di wilayah kerja Pelabuhan Semayang, Balikpapan.

Tongkang yang terbakar adalah kapal MV Ever Judger yang diketahui berbendera Panama. Kapal tersebut saat kebakaran diketahui membawa muatan batubara. Akibat kebakaran tali kapal, di lokasi saat itu timbul asap hitam yang tebal dan memenuhi kawasan udara perairan tersebut.

“Kapal tersebut memiliki berat 44.060 gros ton (GT) dan akan berlayar ke Lumut di Malaysia,” kata Sanggam.

Kemen LHK

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan hampir 18.300 galon minyak terkumpul dalam pembersihan Teluk Balikpapan, Selasa (3/4/2018) lalu.

“Kami perintahkan tim kami dan Pertamina fokus membersihkan tumpahan minyak di pemukiman, terutama karena baunya yang menyengat dan kemungkinan risiko lainnya, kata Menteri LHK Siti Nurbaya, seperti dikutip ecowatch.com.

Kemen LHK mencurigai, sejak awal, kapal tanker yang terbakar yang membawa muatan batubara, itu yang menabrak pipa Pertamina sehingga patah dan tergeser hingga 120 meter.

Ilustrasi: Data satelit tumpahan minyak/BNPB

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Gakkum KLHK) Rasio Ridho Sadi mengatakan tim KLHK yang didukung para penyelam, kesulitan mendapatkan visual atas pipa penyalur minyak mentah yang patah dari Terminal Lawe-lawe ke Kilang Pertamina Balikpapan.

“Kondisi di bawah laut itu pada kedalaman 25 meter cukup gelap,” kata Ridho Sadi, di Balikpapan, Jumat (6/4/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Sebelumnya pada Sabtu (31/3/2018) pipa patah di dasar laut pada kedalaman 25 meter itu, menyebabkan perairan Teluk Balikpapan dan sekitar Selat Makassar tercemar minyak mentah dan disusul kebakaran di tengah laut. Hingga Selasa (3/4) diketahui 5 orang tewas dari peristiwa kebakaran itu.

Tumpahan minyak menyebar hingga mencapai luasan setara 13.000 hektare di darat. Minyak juga mengotori jaring nelayan dan kapal-kapal mereka. Tumpahan minyak juga diyakini telah menyebabkan tewasnya pesut (Orcaella brevirostris), hewan langka mamalia laut di Teluk Balikpapan, Minggu (1/4/2018).

Karena visibilitas yang rendah itu, KLHK belum bisa memastikan penyebab pipa itu patah.

KLHK bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkapkan kasus ini.

Namun perhatian utama pada dampak yang terjadi pada lingkungan, dalam hal ini Teluk Balikpapan yang memiliki ekosistem pohon-pohon bakau atau hutan mangrove, dan padang lamun, serta terumbu karang.

“Kami juga tengah mengawasi Pertamina mengenai kepatuhan mereka atas prosedur dan aturan yang sudah ditetapkan mengenai operasional pengiriman minyak mentah,” kata Ridho. [DAS]